Rabu, 27 November 2013

Mentawai, last mission.



Hari ini, Selasa, 22 Oktober 2013. Adalah hari di mana saya akan berangkat ke Pulau Mentawai. Terus terang saya tidak menyukainya, seperti yang sudah-sudah, yang ada dalam bayangan saya adalah perjalanan menaiki kapal fery yang harus ditempuh dalam cuaca buruk yang pastinya akan membuat saya  menumpahkan seluruh isi perut seperti adalah beberapa perjalanan saya sebelumnya ke sana. Kali ini saya akan menuju ke Desa Sikakap, Kecamatan Pagai Utara. Itu adalah Ibukota Kecamatannya. Perjalan ini adalah perjalanan kelima saya ke Kepulauan Mentawai, perjalanan kedua ke Sikakap dan perjalanan dinas terakhir saya di BPBD Provinsi Sumatera Barat.
Mas Kus, Bang Ade dan Hendra
Misi kali ini adalah mendampingi teman-teman dari UNDP, mas Kusnadi Doni dan Hendra, yang kantor mereka berada di lantai tiga di kantor BPBD Provinsi Sumatera Barat untuk mengikuti lokakarya yang diadakan berkenaan dengan Sistem Pengelolaan air bersih dan pengenalan lebih dalam tentang Komite Pengguna dan Pemakai Air Bersih (KP2AB) yang ada di masyarakat sana. Pihak UNDP mengirimkan 2 anggota (mas Kusnadi Doni

Situasi di atas KMP Gambolo

dan Hendra) sementara BPBD provinsi juga mengirimkan 2 orang anggotanya, saya dan bang Ade Imansyah. Sehingga kami semua berjumlah 4 orang. Saya sudah mengantisipasi perjalanan ini dengan membawa 7 buah baju, 2 buah celana panjang dan 2 buah celana pendek sajadah dan selebihnya baju dalam dan perlengkapan mandi, jadi ransel besar saya penuh. Mengapa? Karena hal ini untuk mengantisipasi bahwa perjalanan ini akan lama, tidak 3 hari (istilahnya putar kepala, sampai esok pagi dan kembali lagi pada sore harinya), tidak 5 hari atau 7 hari tetapi 11 hari pulang balik. Hal ini dikarenakan satu dari dua unit fery (KMP Ambu-ambu) yang ada itu sedang diservis, naik dok di Jakarta sudah selama sebulan ini. Dan masih belum dapat diketahui kapan akan kembali ke pelabuhan Bungus untuk membawa penumpang. Alamaaak… Alhasil, semua perjalanan yang menggunakan fery diambil alih oleh KMP Gambolo Perjalanan dimulai dan berangkat dari kantor BPBD Provinsi Sumatera Barat pada pukul 15:00 WIB menuju pelabuhan Bungus. Mobil berhenti di pelabuhan Bungus pada pukul 16:00 WIB yang langsung dilanjutkan dengan membeli tiket fery seharga Rp 80.000 untuk kelas ekonomi. Mengapa kelas ekonomi? Karena kami sudah menyewa kamar ABK untuk tempat tidur kami nanti malamnya. Sewa kamar atau tempat tidur ABK bisa beragam, harus pintar-pintar mendekati ABK yang bertanggungjawab untuk masalah sewa-menyewa tersebut. Kalau sudah dekat maka harga bisa sekitar Rp 150.000 per tempat tidur atau Rp 500 – 700 ribu perkamar. Sementara harga bisa naik tinggi kalau yang naik itu adalah wisatawan asing. Terkadang wisatawan asing tersebut yang membanderol harga dengan sangat tinggi duluan untuk menghempang penumpang lain mendapatkan kamar untuk beristirahat. Mereka berani mengeluarkan duit hingga Rp 1 – 2 juta per kamar.

KMP Gambolo terlihat sedikit lebih kecil dari KMP Ambu-ambu yang sedang naik dok namun geladak paling atasnya memiliki tempat berteduh yang lebih baik daripada KMP Ambu-ambu karena memiliki atap terpal.
Peluit kapal sudah dibunyikan sebanyak tiga kali dalam jarak waktu 15 menit masing-masingnya dan kami berangkatlah. Saya tentu saja sudah menenggak antimo sebelumnya, mengikuti jejak mas Kus yang menneggak bukan satu tetapi dua dengan alasan biar dia teler saja di tempat tidur hahaha... Setelah selama setengah jam saya ada di geladak atas sayapun kembali ke kamar untuk, tentu saja… tidur, menghindari kalau-kalau akan keluarnya semua isi perut saya kalau gelombang tinggi, untungnya, pada hari itu laut tenang bagaikan danau.
Ini senja waktu kami berangkat ke sana, jingga tembaga!
Keesokan harinya kapal merapat ke dermaga Sikakap pada pukul 06:30 WIB dan kami langsung menuju ke penginapan yang bernama Wisma Bagindo dengan masing-masing menumpang ojek seharga Rp 10 .000. Pada hari ini kami free karena acara baru dimulai esok hari, namun komunikasi dengan pihak luar melalui telepon tidak bisa dilakukan karena sinyal telekomunikasi telepon genggam mati di daerah inji sudah sebulan lamanya. Aiiih…. L
* * *
Lokakarya di mulai pada hari ini, 24 Oktober 2013, bertempat di salah satu gedung Dinas Perikanan Sikakap yang langsung menghadap ke laut biru. Lumayan membuat mata segar namun panasnya ampun-ampunan. Di sini, ternyata pembicara yang akan saya perkenalkan ternyata adalah teman lama, satu aliansi saya dulu sewaktu saya masih bekerja di pulau Simeulue. Nazar, dulunya bekerja di German Agro Action yang kantor mereka berseberangan jalan dengan kantor saya Concern Worldwide. Jadi… ya ini adalah reunian. J
Lokakarya, yang diisi dengan peserta dari kalangan masyarakat pemakai air bersih, hari pertama ini berjalan sangat baik. Ada juga game interaktif yang membuat peserta tidak bosan dan giat bertanya. Dijelaskan pula mengenai teknik pemipaan air dan bagaimana menjaga kelestarian sumber air bersih yang ada di alam agar dapat dipakai sampai kapanpun. Nazar mengambil alih 90% acara yang membuat andil saya otomatis hanya ada di memperkenalkan dirinya awal acara dan menutupnya di akhir acara. Namun semua terasa puas.
Hari kedua juga berjalan dengan baik, hanya setengah hari lalu selesai dan berhubung itu hari Jum’at maka bagi yang muslim dilanjutkan dengan sholat Jum’at di satu-satunya mesjid raya yang lumayan besar dan menampung banyak jamaah, mengingat Islam bukanlah mayoritas agama yang dianut di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Seperti yang saya katakan di atas, saya sudah mengantisipasi kepergian kali ini akan berhari-hari, dan beginilah, setelah kembali ke wisma maka yang dilakukan adalah bengong.

Hup!



Tidak banyak hal yang bisa dilihat di Sikakap, namun jika bisa meminjam atau menyewa boat atau perahu maka kita bisa memancing, menikmati pantai yang putih atau nyemplung di laut. Berkenaan dengan nyemplung di laut. Sebenarnya hal itu tidak usah dilakukan jauh-jauh karena bisa dilakukan di dalam Wisma Bagindo sendiri.


Mmmmmmuach!! 

Gazebo Wisma Bagindo
Umumnya penginapan yang ada di sini memang berhadapan langsung dengan laut, tetapi hanya di Wisma Bagindo inilah yang langsung bisa nyemplung dari gazebo yang dibangun tepat di atas laut, dengan enaknya tanpa harus terganggu dengan tambak ikan atau tambatan perahu-perahu. Hendra, salah seorang teman dari UNDP pada sore itu langsung nyebur ke dalam hijaunya lautan yang dipenuhi banyaknya ikan kecil dan ikan hias.
Seperti itulah, setiap hari di sini kita bisa menikmati banyaknya ikan yang bersliweran di seputaran gazebo Wisma Bagindo. Ada bermacam kerapu yang berenang di antara karang-karang solid yang menjadi rumah mereka, ikan singa dengan sirip yang melambai-lambai bahkan ada ikan kuda laut yang… baru kali ini saya lihat berenang dengan tenangnya dengan posisi kepala ada di bawah dan buntut di atas, bukan itu saja, ukurannya juga sekitar 50-an cm. Dalam pikiran saya selama ini kuda laut itu hanyalah ikan kecil yang berenang anggun di antara rumput-rumput laut. Saya gak salah kan.  :P
Suatu sore, Yogi, pemilik Wisma Bagindo tempat kami menginap, mendatangi saya yang sedang leyeh-leyeh di gazebo tersebut.

Ini nih si Kuda Laut nungging

“Gak mancing bang?” tanyanya sambil melihat beberapa alat pancing yang memang tergelak di meja di gazebo tersebut.
“Lagi malas.” Jawab saya seenaknya.
“Mancinglah. Kalau jam segini biasanya biasanya jamnya ikan lapar.” Lalu dia mengambil mata kail miliknya dari dalam dan mulai bekerja. Sisa roti yang dimakannya diambil sedikit dan dikepalkan menjadi umpan dan terjun bebaslah pancing sederhana itu, tak sampai semenit Yogi sudah menarik kembali kailnya ke atas dengan sebuah ikan kuning di ujungnya.
“Gampang kan, kalau tau selanya sih mudah hehehe… Cuma pakai mata (pancing ukuran) 20 dan roti sudah bisa mancing.” Heh! Seru juga. Sayapun tergerak untuk memancing. “Kalau mata yang ini nyangkut, beli aja bang di warung depan musholla, di sana ada jual kok.” Yogi terus pergi sambil tersenyum.
Dan saya juga mulai bergerak, membeli beberapa mata pancing ukuran 20, seribu perak dapat lima buah mata dan lanjut membeli roti sebagai umpan lalu kembali ke wisma dan duduk di atas gazebo dengan peralatan perang yang lengkap. Kail dipasang, umpan juga ditancapkan, dan menyelamlah kail saya, dan benar, tak lama, benar-benar tak lama ikan sudah saya dapatkan. Dalam satu jam saya sudah mendapatkan sepuluh ikan yang akhirnya saya lepaskan kembali. J
Setelahnya, kami mulai menyempatkan untuk memancing kembali. Ada stu kejadian yang buat saya mengagumkan. Salah seorang temannya Yogi datang pada saat itu dan melihat ada banyaknya ikan kecil yang berkumpul di seputaran gazebo (saya lupa nama ikannya), membuat ia tergerak untuk memancing. Dengan apa? Nah itu dia. Pemuda itu lalu membuat pancungan dengan mata kail nomor 50 atau 60 lalu membuat ikatan bukan satu tetapi 3 ikatan pancingan jadi satu sehingga membentuk kait jangkar. Setelah jadi ia lalu melemparkannya ke arah ribuan ikan kecil yang berkerumun, menunggu, dan… menarik sekuatnya hingga mengenai salah satu ikan tersebut dan menjadikan ikan tangkapan itu sebagai umpan. Jenius! Ikan yang terluka itu masih hidup walau tak lama sehingga harus cepat dikaitkan ke mata pancing biasa dan menjadi umpan hidup untuk ikan besar seperti gabu. Walau ia tidak mendapatkan ikan besar namun apa yang te;ah dilakukannya menjadikan inspirasi bagi kami bagaimana untuk mendapatkan umpan untuk memancing haha… dan kamipun lalu mulai meniru apa yang dikerjakannya memancing dengan menggunakan ikan kecil sebagai umpan yang dipancing dengan kaitan 3 mata kail. Tapi bagi saya, seberapa kuatnya saya mencoba untuk menarik kail tiga mata pancing itu seltelah dilepas ke laut, tetap tidak bisa sekeras pemuda tersebut, ternyata tidak semudah yang dibayangkan dan berat jenis air menambah level kesulitan tersebut. Tapi tidak dengan hendra, beberapa kali ia bisa menangkap ikan-ikan kecil tersebut walau dengan bersusah payah. :D, yah setidaknya bisa memancing walaupun tidak mendapatkan hasil ikan besar.
Mulai entah hari ke berapa saya selalu menyempatkan bangun pagi, biasanya sih setelah sholat subuh saya tidur lagi, :P. tapi tidak di mulai entah hari ke berapa itu, saya keluar, duduk di pinggiran gazebo lengkap dengan kamera di tangan dan menatap ke timur. Biru sudah menampakkan kuasanya sejak pukul 05:30 untuk kemudian membiarkan jingga mengambil alih perannya dan akhirnya, mata sang hari itupun muncullah pada pukul 06:03 WIB. Dia dan hari segera bermula setelahnya.


Hari itu tanggal 29 Oktober, hari Selasa. Yogi meminjam kamera saya, katanya untuk meliput pertandingan bola. Ya, hari ini ada pertandingan bola antara Sikakap toimur dan Sikakap tengah. Ia mengundang kami untuk ikut meyaksikan pada pukul 16:00 WIB sore. Saya ingin melihatnya namun cuaca tidak mendukung, mas Kusnadi setuju dengan saya untuk melihat tetapi berdua tentu akan asik kalau tidak dengan yang 2 orang lagi. Hujan ternyata tidak berlangsung lama dan saya dengan mas Kus memutuskan untk tetap ikut menonton bola di seberang, kami kembali mengajak hendra dan bang Ade dan akhirnya mereka setuju, yeeey! Untuk menyeberang itu kita cukup menyewa perahu dan membayar sebesar Rp 3.000/orang atau Rp 20.000 per/perahu. Pangkalan perahu untuk menyeberang terletak di gang-gang kecil di antara rumah openduduk tak jauh dari wisma. Kami harus menunggu beberapa saat untuk mendapat tumpangan karena banyak yang akan menyeberang. Pada kenyataannya perahu itu, sama halnya dengan bis kota atau angkot lainnya, menaikkan penumpang melebihi jumlah seharusnya. Perjalanan ke seberang kurang lebih lima menit dengan perahu dan disambut oleh dermaga kecil di antara deretan bakau. Entah mengapa, saya suka sekali dengan pohon-pohon bakau. Batang yang alot dan akar yang menghunjam keras ke tanah serasi dengan dedaunnya yang kecil. Biawak, burung, keong, ikan kecil dan biota lainnya menjadikan bakau habitat sempurna mereka.

Pertandingan bola itu dilaksanakan di lapangan sebuah sekolah yang ternyata itu adalah satu-satunya lapangan yang ada. Pemainnya bergelut di antara ketatnya lawan dan beceknya lapangan sehabis hujan. Dan mendung masih menyisakan sedikit biru langit senja. Persatuan Olah Raga Sikakap Timur (Porstim) menang 2-1 dari lawannya. Yogi sebagai manajer klub tentu berbangga hati.
Tanggal 31 Oktober, hari ini pukul 05:30 WIB pagi peluit KMP Gambolo telah terdengar. Hendra yang selama ini gelisah menunggu kapan akan kembali ke Padang dapat menenangkan hati dan perasaannya sekarang. 
KMP Gambolo merapat, hari ini kami akan kembali ke Padang, senangnya.
Pada pukul 15:30 WIB kami sudah bersiap membereskan barang-barang. Dengan diantar salah seorang operator boat BPBD, bang Hen, kamipun menuju KMP Gambolo menggunakan boat. Kapal akan berangkat pada pukul 17:00 WIB dan orang-orang ternyata susah banyak yang naik. Setelah selesai dengan administrasi tiket dan kamar. Mas Kus turun lagi ke bawah dan berbincang-bincang dengan temannya. Saya dan Hendra bersantai di geladak atas. Pukul 17:00, peluit berbunyi 3 kali pertanda berangkat. KMP Gambolo berjalan meninggalkan Sikakap menuju Padang. Dan tak lupa saya sudah menelan jatah antimo saya. 


Hey you!


Senin, 03 Juni 2013

Bali, My First



Bulan Mei 2013 adalah bulan di mana saya dan teman saya Debby Hermawani janjian untuk pelesiran, pilihannya adalah Jogja atau Bali. Bulan Mei dipilih karena cuma itulah waktu yang bisa mempertemukan, haiiishh… mempertemukan bahasanya hehehe… waktu kita untuk ngumpul berdua. Jatuhnya adalah tanggal 24 – 27.
Perjalanan saya berawal dari Padang, dengan nmaik pesawat Lion Air pagi jam 08:00 WIB berangkat ke Jakarta yang lalu disambung ke Ngurah Rai dengan pesawat dari maskapai yang sama. Alhasil sampai di sana sekitar pukul 14:00 WITA. Ema, itu nama panggilan teman saya Debby, sudah lebih dahulu tiba di sana tak berapa lama sebelum saya, mungkin 15 menitan lebih awal. Ia berangkat dari Surabaya, karenanya tak susahlah baginya untuk mengatur jadwal penerbangan apa karena jarak yang tak begitu jauh.
Begitu sampai, mungkin ia mendengar pesawat saya tiba dari pemberitahuan, ia langsung menelepon saya dan mengomel kalau saya telepon genggam saya belum aktif karena ia sudah mencoba menelepon berkali-kali. Saya bukan orang yang langsung menghidupkan telepon genggam langsung begitu pesawat mendarat. Dan berjumpalah kami di sana. Sudah bertahun lalu semenjak kuliah dulu. Ia masih subur namun lincah. :P dan ini adalah perjalanan kami berdua pertama kali menginjak Bali. Setelah melihat-lihat situasi bandara sebentar kami baru menyadari kalau belum makan siang. Sebagai muslim, tentu ada rasa was-was mengenai apa yang hendak dimakan karena saya tidak melihat restoran yang benar-benar dipastikan halal di area bandara (agak katrok ya, biarlah hehehe…) namun ada restoran ayam taliwang yang saya lupa apa amanya tapi harganya memang maharani untuk kantong karena memang diciptakan untuk standar bandara jadinya yang dipilih adalah restoran cepat saji dengan menu ayam goreng dan nasi.  Setelahnya kami hendak menuju hotel yang ada di Kuta. Rencana awal sih mau naek ojek karena katanya tidak jauh kan, namun setelah dipikir-pikirkami memilih si taksi burung biru yang ada di sana. Karena belum tahu bagaimana aturan mainnya maka kami mencoba memberhentikan salah satu taksi burung biru itu di dropping area, si bapak supir antara mau dan tidak berhenti, begitupun dengan kami. hingga alkhirnya ia menurunkan kacanya dan berseru agak keras “Cepat masuk!” dan masuklah kami dengan tergesa-gesa.
“Maaf mas, di sini taksi B**u B**r kan gak boleh masuk bandara, dan gak boleh ambil penumpang, jadi siapa yang mau, kalau lihat ada yang kosong langsung naik aja, jangan pake nanya-nanya. Kalau ketahuan sama taksi lain atau pihak bandara bisa bahaya. Taksinya bisa dipecahin kacanya, sementara sopirnya bisa bonyok dihajar sopir-sopir taksi yang lain.” Oooh begitu… kami hanya bisa minta maaf dan mengangguk-angguk saja karena tidak mengerti. Dan pertanyaan berikutnya sudah bisa ditebak
“Baru sekali ke Bali ya.”
“Iya pak, makanya kami gak tau.”
Rencana saya sih, hari pertama begitu nyampe maunya langsung ke Uluwatu lihat tari Kecak, ternyata hal itu gak bakalan kesampaian, karena transportasi dan jarak yang jauh, jadinya ya udah. Begitu nyampe di penginapan langsung susun acara untuk jalan-jalan sekitar Kuta.
* * *

Waktu itu saya dan Ema menginap di Segara Sadhu Inn di Poppies II. Seperti yang diketahui, Poppies adalah nama jalan kecil yang terkenal banyak memiliki hotel-hotel dengan harga miring namun bukan hotel murahan. Segara Sadhu Inn menetapkan rate kamar kami seharga Rp 350.000/malam. Setelah mandi dan dan mengganti pakaian kami berencana untuk jalan-jalan di Kuta yang berjarak hanya 2 menit berjalan kaki dari hotel. Sore itu sedikit mendung, namun orang-orang tetap ramai bersantai di pantai sana. Dan selain berjalan tentu saja, sesi foto hehehe… otomatis satu hari dan malam itu kami gunakan berjalan-jalan dan untuk mengenal Kuta dan seputarannya.






* * *

Esok paginya, saya sudah bangun jam 06:00 WITA dan bersiap untuk jadwal “kemana lagi hari ini”. Seperti yang sudah dijanjikan sama pihak hotel, mobil sewaan akan stand by pada pukul 09:00 WITA. Oh ya, mengenai sewa menyewa, bagi yang ingin menyewa kendaraan, mobil yang disediakan ada beragam, molai dari mobil yang kecil sejenis city car sampai yang MPV seperti APV. Harganya berkisar antara Rp 300.000 – Rp 500.000 untuk 12 jam pemakaian. Bahkan kalau ada koneksi seperti saudara ataua keluarga atau teman yang telah menetap di Bali, mungkin mereka bisa mendapatkan mobil seharga Rp 450.000 untuk 24 jam. Sedangkan untuk sewa motor seitar Rp 50.000 untuk 24 jam, tapi ini disarankan untuk yang sudah mengenal jalan-jalan di bali atau yang memang ingin tersesat dan berpetualang dengan bebas, semua terserah keinginan masing-masing. 
Supir yang akan mengantarkan kami berjalan-jalan adalah Pak Agung. Sebenarnya yang paling ingin saya lihat adalah candi Gunung Kawi, karena saya melihat candi tersebut dalam salah satu lokasi set film The Fall. Pak Agung kemudin menyarankan kalau kita mengambil jalur searah saja hingga Gunung Kawi menjadi persinggahan akhirnya. Kami sepakat, jadi hari ini kami akan mengambil rute satu jalur saja, jadi persinggahan. Jadi kami pergi dari Kuta yang lalu menyinggahi pantai Sanur. Terlalu banyak orang di pantai ini, dan batu-batu besar. Sesak, saya merasa lebih nyaman Kuta dan pantainya. Setelahnya adalah monkey forest di Padangtegal. I’m so exited. Katanya monyet-monyet di sini galak-galak dan usil maka kami menjaga erat-erat properti kami seperti tas dan kamera. Tujuan utama saya ke sini itu bukanlah monyetnya sebenarnya tetapi pura yang ada di dalamnya, Pura Dalem Agung. Memasuki areal monkey forest kita diharuskan membeli tiket dahulu, kalau tidak salah Rp 20.000 atau Rp 30.000/orang. Begitu masuk dua ekor makhluk berekor panjang itu sudah menunggu dengan tiduran dan mencari kutu di tengah jalan. Ema, sudah bergidik khawatir kalau dua makhluk itu akan berdiri dan melompat ke arahnya, saya? Ngeri-ngeri sedap juga hahahaha… Tak jauh dari sana terlihat seorang pecalang yang menjaga agar monyet-monyet itu tetap tertib, ia juga melemparkan beberapa ubi rambat sebagai sebagai makanan monyet-monyet tersebut.
“Tak apa-apa, asal tidak diganggu, dan jangan menatap matanya.” Berjalan saja seperti biasa.” Kata-kata bapak pecalang itu menenangkan hati, sedikit. Dan kami langsung mengambil pose untuk berfoto bersama. Jalan masuk ke dalam terbagi dua jalan yang satu terus sedangkan yang lainnya belok kiri ke arah entah yang jelas hutan. Lami mengambil jalan setapak yang sebelah kiri. Dan saya langsung jatuh cinta. Suasananya sangat magis eksotis menurut saya. Pohon-pohon besar dengan akar yang menyembul, jalan setapak, hijaunya lumut dan tanah basah, tangga batu yang mengarah ke sisi lain hutan dan tentu saja… puluhan mata yang bersembunyi di antara lebatnya dedaun di atas. 


Makhluk-makhluk itu bahkan bergelayutan dari satu cabang ke cabang lainnya. Mengikuti jalan setapak lalu kita akan bertemu dengan beberapa kios souvenir yang menjajakan. Dagangannya tak jauh-jauh dari dagangan kios souvenir lainnya, udeng, ukiran, kain, kipas dan lainnya. Namun ada gantungan dan gantungan kunci yang berbentuk monyet yang dapat disambung-sambung sehingga membentuk kumpulan monyet yang menanjat. Ema membeli 5 ukiran monyet itu seharga Rp 3.000/buah. Masih mengikuti jalan setapak kini kita akan bertemu dengan Pura Dalem Agung. Dikelilingi oleh pohon-pohon beringin dan pohon besar lainnya suasana semakin mistis dan saya menyukainya. Untuk memasuki pura ini kita terlebih dahulu harus memakai kain penutup aurat (khususnya kaki) berwarna hijau dengan selendang kuning yang disampirkan di pinggang. Di dalam pura ada ruang sembahyang utama yang terlarang dimasuki sembarang orang kecuali untuk beribadah. Ada juga ukiran naga dari batu di bawahnya. Pengunjung hanya diperbolehkan di areal dalam pura dan tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke tangga areal sembahyang utama. Ya, saya rasa hal itu harus tetap dihormati kan demi kekhusukan ibadah. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku untuk monyet-monyet yang ada di sini, mereka dengan asyik berlompatan dan menjelajah ke sana kemari di putaran pura. Ini surga mereka. Bahkan botol air mineral Ema disandera olehnya dan kami yang semula menyangka ia tidak dapat membuka tutupnya ternyata terkecoh. Ia bisa membukanya! 

 
Di sisi lain hutan ada kolam kecil dengan ukiran naga dan harimau di tepinya. Monyet-monyet biasa mandi di sana. Pemandangan ini tentu saja santapan empuk para wisatawan untuk menyaksikan dan mengambil gambar monyet-monyet yang berlompatan di dahan dan bergelut dengan sesama. Jalan-jalan setapak yang ada mengarahkan kita ke pura yang satu lagi yang berada semakin ke dalam yang dihiasi dengan kolam ikan koi dan sungai kecil yang deras jernih.


Pada akhirnya saya menyadari tempat yang dapat dijelajahi di monkey forest ini adalah sebagian areal yang jalannya berputar-putar di situ-situ saja. Mungkin yang membuatnya terpencil adalah area yang dibatasi pagar dari pinggir jurang dan lingkungan luar, dan sungai kecil yang deras dan jernih itu juga pemutus akses ke hutan sebenarnya di seberang sungai. Kalau saja akses di sungai tersebut terbuka begitupun juga jalan-jalan setapaknya bukan tidak mungkin orang-orang bisa tersesat di dalamnya, karena keseluruhan luas areal ini adalah 27 hektar.

Lepas dari monkey forest kami menuju Ubud, dayangnya tidak dapat menikmati Museum Antonio Blanco karena harus mengejar perjalanan menuju Gianyar. Kami hanya berhenti sebentar di pemandangan sawah Ubud yang fenomenal itu (yang pada saat itu baru saja panen sehingga sawahnya gundul dan sebagian sudah menguning) dan singgah di sebuah restoran yang menghadap ke pemandangan sawah untuk makan siang karena hari sudah hampir jam 13:00 WITA ternyata.  

Setelah itu kami langsung menuju Gianyar, rencana semula sih bisa mendapatkan Tirta Empul beserta istana presiden, tapi akhirnya berbelok dahulu ke Candi Gunung Kawi dan jika ada waktu maka akan mampir ke Tirta Empul (harapannya sih masih ada waktu itu). masuk ke Candi Gunung Kawi kita akan berhadapan dulu dengan deretan kios souvenir yang ada, dan saya menyempatkan membeli sehelai kain batik bali seharga Rp 60.000 dari seorang ibu (murah atau kemahalan sih?) dan sepasang cincin seharga Rp 5.000. Harga tiket masuk ke Candi Gunung Kawi adalah Rp 15.000/orang dan tentu saja karena ini adalah areal suci maka kita akan disuruh memakai kain penutup beserta selendangnya. Setelah itu kita bebas masuk. Candi Gunung Kawi terletak di bawah lembah bukit. Untuk mencapainya kita harus menuruni ratusan tangga batu yang beberapa cukup curam. Di kiri kana tangga terdapat puluhan kios-kios souvenir. Sekitar 100 - 200 meter dari arah candi tidak terdapat lagi kios-kios tetapi tangga yang semakin menuju ke bawah. Akhirnya!! Saya menyambangi Candi Gunung Kawi. Candi yang semula hanya saya lihat di film The Fall akhirnya ada di depan mata saya. Candi ini ditatah langsung dari bukit batu yang tingginya sekitar 10 meter. Dalam film The Fall pelataran candi dijadikan pagelaran artistik tari kecak sembari adegan film tetap berlangsung, semua penari terbalut lumpur yang menambah kemagisannya. Beberapa sesaji diletakkan di tangga candi ini sementara di depannya, di bawah pelataran terdapat kolam ikan yang sepertinya juga tempat menyucikan diri. Dari sisi kanan candi terdapat pura yang pada saat itu sedang dipenuhi umat Hindu bersembahyang, karena itu juga kami menahan diri untuk tidak berjalan ke pura dan menahan suara agar tidak menimbulkan gaduh. Namun gaduh datang dari langit, hujan turun dengan derasnya dan saya dan Ema berteduh agar tidak kebasahan dan untuk melindungi kamera saya juga tentunya. Sejarak 50 meter di depan, candi lain yang berukuran lebih kecil berdiri dalam posisi yang sama, ditatah langsung dari bukit batu. Hujan seperti malu-malu, terkadang deras, terkadang gerimis. Dan kami memutuskan untuk bergerak saja daripada ia semakin lebat dan meninggalkan sifat gerimisnya. 




Dan ternyata benar. Hujan semakin lebat dan kami masih ada di setengah perjalanan menuju ke atas. Sampai di barisan kios-kios souvenir kami meutuskan untuk beristirahat di salah satunya. Hari sudah sore dan beberapa kios sudah memutuskan untuk mengakhiri jualannya untuk hari itu.
Sementara di kios tempat kami berhenti, sepasang suami istri itu masih saja mengurus dagangan mereka. Sang bapak sedang membuat gajah-gajahan dari kayu sementara sang ibu membereskan dagangan sambil membantu si bapak. Aaahhh… Kesempatan yang langka bisa melihat langsung proses pengukiran karya seni itu.

Dan waktu berteduh itu ternyata berlangsung hingga sejam lamanya hingga akhirnya kami memutuskan untuk menembus hujan yang mulai reda. Naik ke atas dan menuju mobil di parkiran. Waktu telah sore, dan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan ke Tirta Empul pupus sudah. Next time I will.
* * *

Hari ini perjalanan kami kami akan dimulai pada pukul 08:00 WITA, setelah sarapan di kamar, saat itu saya memilih nasi goreng dan Ema memilih mi goreng, kami langsung berangkat. Pagi ini menuju Tanah Lot, GWK, dan Uluwatu. Namun kami menyinggahi beberapa tempat dahulu seperti Krisna. Krisna adalah pusat berbelanja yang ada di Bali khususnya souvenir. Mau souvenir apa saja ada mulai dari makanan sampai ukiran, celana pantai hingga kipas untuk santai, sabun mandi hingga sandal anyaman tali. Apa saja. Saya membeli beberapa potong baju untuk keponakan dan souvenir kecil untuk kakak saya. Sementara Ema, baju, makanan dan entah apa lagi. entah berapa lama kami ada di sana, mungkin sejam. Oh iya, setiap pengunjung yang masuk ke dalam akan diberi nomor peklanggan yang nantinya akan dijadikan nomor undian yang dimasukkan ke dalam kotaknya pada akhir kunjungan dan diundi secara berkala seminggu atau dua minggu sekali, hadiah utamanya: Mobil!
Selepas itu kami langsung menuju ke Tanah Lot.  Matahari sudah tinggi, sekitar pukul 10:00-an WITA kami sudah sampai di sana. HTM untuk Tanah Lot itu sekitar Rp 15.000 dengan tarif parkir yang… saya lupa. Tarif parkir di Bali untuk daerah wisata itu dimulai dari Rp 2.000 – Rp 10.000. selesai dengan maslah tiket, kami lalu menuju parkiran yang di belakang sehingga berjalan agak jauh. Pak Agung sopir kami sepertinya sopir yang ingin enak sendiri. Ia tidak mau bersusah payah mengantarkan kami ke tempat terdekat dan meminta kami berjalan sendiri ke dalam. Ema sedikit kurang senang dengan pelayanannya. Amazing! Saya jatuh cinta pada tempat ini. Walaupun panasnya ampun-ampunan dan ombak sedang tingi-tinginya sehingga kami tidak dapat menyeberang ke puranya. Tapi saya puas. Beserta ribuan pengunjung lainnya dari berbagai belahan dunia seperti yang sudah-sudah, setiap orang mengambil momennya masing-masing untuk berfoto dan berfoto lagi.


Selepas dari sana kami menuju ke jalan keluar yang kiri-kanannya dipenuhi toko cinderamata. Kali ini saya mencoba mencari pesanan abang saya yaitu bandana namun tak juga saya temukan. Yah sudahlah. Sedangkan Ema tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dengan membuat tattoo temporer kecil di atas mata kakinya seharga Rp 30.000. hari sudah siang dan perut keroncongan, ternyata di parkiran ada beberapa penjual masakan yang cocok buat kaum muslim, maka ke sanalah kami menuju untuk mengisi perut dan sholat.

* * *

GWK! Itulah rute selanjutnya. Hanya kira-kira sejam dari Tanah Lot sudah sampailah kami di GWK, daerah Bukit Ungasan. Cuaca masih saja tak menentu, setelah panas membara kini mendung mengambang. Ketika di pintu masuk, kemegahan GWK sudah terasa, areal dan jalan masuk yang panjang dengan taman yang teduh. HTM untuk GWK ini adalah Rp 40.000. ketika kita membayar tiket masih belum keliatan wah-nya tempat ini, begitu keluar dari tempat tiket kita disuguhkan dengan plaza selebar kira-kira 10 meter dan memanjang sejauh kira-kira 100 meter. Di depan terdapat deretan toko cinderamata, di tengah ada kolam air mancur kecil dan di ujung plaza ada sebuah patung Garuda Wisnu Kencana berukuran 2 x 2 meter yang diukir dengan sangat detil. Daerah ini dinamakan Street Theatre. Ini adalah titik di mana pengunjung akan bermula dan berakhir. Di sebelah toko-toko cinderamata ada beberapa gerbang batu yang menuju ke arah plaza yang lebih lebar dan … itu memukau saya. 

Deretan bukit kapur yang dipapas kotak-kotak memenuhi  pemandangan. Inilah Garuda Plaza yang menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar pilar berukir batu kapur yang mencakup lebih dari 4000 meter persegi luas ruang terbuka. Lotus Pond adalah nama yang diberikan untuk areal ini. Jadi mungkin anggapannya bukit-bukit kapur itu akan berperan sebagai bunga-bunga lotusnya. di Lotus pond inilah sering diadakan perhelatan besar tingkat nasional dan internasional. GWK adalah hasil karya pematung terkenal asal Bali I Nyoman Nuarta. Pembangunan terhenti sejak Indonesia mengalamai krisis moneter di tahun 1998 seiring dengan melambungnya dolar dan bahan baku. Namun proyek ini perlahan-lahan mulai dilanjutkan kembali karena I Nyoma Nuarta merasa proyek ini harus selesai apapun kendalanya. Patung seberat 4.000 ton dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Sehingga akan menjadi patung terbesar di dunia nantinya. Patung ini diharapkan sebagai satu kesatuan pandang yang kalau selesai dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Dimaksudkan sebagai simbol penyelamatan lingkungan dan dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton, dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter.  Karena belum selesai maka patung-patung ini masih terpisah-pisah menunggu bagian yang lain diselesaikan. Dan bagian patung Dewa Wisnu ini, pusar ke atas adalah bagian yang tertinggi di GWK, dinamakan Wisnu Plaza. Selain Wisnu Plaza ada juga Indraloka Garden di mana kita dapat melihat pemandangan Bali di bawah dari sini, juga ada Amphitheatre, tempat di luar ruangan untuk pertunjukan khusus dengan akustik yang dirancang dengan baik. Setiap sore Anda bisa menonton tari Kecak yang terkenal dan gratis yaitu sekitar pukul 18.30 s/d 19.30 WITA. Dan Tirta Agung.







* * *

Langit bukanlah mendung, tapi sudah menangis. Cukup deras hujan siang tu tapi acara harus tetap berjalan. Rute selanjutnya adalah Uluwatu. Saya ingin menikmati Pura ujung dunia, istilah saya, itu dan tarian kecaknya. Tapi hujan begini apakah kami dapat menikmati kecak beserta pemandangan matahari terbenamnya? Di jalan kami juga dihadang macat karena ada perbaikan jalan yang cukup menyita waktu hningga akhirnya kami sampai di sana sekitar pukul 16:00 WITA dan benar, mendung masih belum pergi. HTM untuk masuk ke kawasan pura Uluwatuitu Rp 15.000 dengan tarif parkir Rp 5.000 dan tari menonton tari Kecak itu Rp 70.000. dari info yang didapat adalah pertunjukan tri kecaka akan diadakan namun masih menunggu momen yang pas maksudnya adalah, jika hujan berhenti maka akan diadakan di outdoor seperti biasa dengan pemandangan laut dan matahari terbenam, tetapi jika tidak maka diadakan di indoor dengan keterbatasan sarana dan pemandangannya. Saya hingga menit-menit terakhir berharap ujan berhenti, tapi ternyata hujan masih betah. Akhirnya tari Kecak diadakan indoor di sebuah gedung denagn panggung sederhana dan tempat-tempat duduk tambahan ples monyet-monyet yangbersliweran di tiang-tiang gedung sambil sesekali menjatuhkan sisa makanan mereka seperti kulit pisang. Sayang sekali. Namun saya tetap tekun mengikuti karena saya penasaran seperti apa tari Kecak itu, pertunjukan dimulai dengan pengidupan obor dan pemberkatannya yang lalu diikuti dengan deretan penari pria bertelanjang dada dan pemberkatan lagi hingga akhirnya saya menontonnya tanpa bersuara sedikitpun.



Saya takjub! Ini pertunjukan tari yang paling menggetarkan yang pernah saya lihat. Di akhir acara saya tak henti-henti bertepuk tangan memberikan aplaus pada setiap penarinya. Dan ini sangat menghibur. Biarlah saya tak dapat merasakan bagaimana melihat Kecak dengan pemandanagn matahari terbenam yang luar biasa tapi ini sudah mengobati rindu saya, mungkin lain kali saya dapat menyaksikannya dengan cuaca yang cerah.
Kembali ke Kuta hari sudah gelap, namun kami meminta Pak Agung untuk menurunkan kami di Joger, ada yang akan dibeli di sana. Joger adalah toko cinderamata yang sangat terkenal di Bali. Ada beragam kaos yang lucu dan unik di sana, yah mungkin itunadalah daya tarik utamanya, kaos. Namun selain itu Joger juga menjual barang cideramata lainnya. Toko ini buka dari jam 08:00 WITA sampai jam 21:00 WITA.
Hari ini, ditutup dengan hujan dan kelelahan yang sangat namun kami puas.
* * *
Esok adalah hari kepulangan kami kembali ke tempat masing-masing, namun Ema ingin pagi hari kami untuk bangun cepat dan berjalan-jalan di pantai.
* * *
Kuta di pagi hari adalah Kuta yang ramai, seakan tak pernah tidur. Jam 06:00 WITA orang-orang sudah bersibuk ria, yang saya maksud bukan penduduk setempat tetapi wisatawan. Hingga pagi itu kami leyeh-leyeh di pantai saya di sana sudah banyak yang berolahraga pagi, belajar surfing, berjalan-jalan, berenang dan lainnya. Untungnya cuaca hari ini cerah sehingga dapat melihat pemandangan lepas di pantai hingga gunung Batur Agung di sisi sebelah kanan.
Aaaah… tak terasa beberapa jam lagi kami akan meninggalkan Bali. Impiannya sih suatu saat akan kembali lagi ke sini dan mengunjungi tempat-tempat yang belum sempat dikunjungi, serta ketika ada yang bertanya “Sudah berapa kali ke Bali?” maka saya dapat menjawabnya “Ini sudah yang ke… kalinya.” :P
Aaamiin.