Selasa, 24 April 2012

Angka 13

Setelah entah berapa kali menumpang pesawat, saya baru menyadari kalau ternyata pihak maskapai tidak memiliki kursi dengan nomor 13! Padahal saya ingin sekali duduk di nomor 13 tersebut.
Tidak hanya pesawat, di hotel-hotel besar, bahkan gedung-gedung besar juga meniadakan lantai 13  mereka. Waaah… apakah mereka terkena Triskaidekaphobia, ketakutan pada angka 13 sedemikian besar?
Angka 13 bagi banyak pihak dianggap sebagai angka sial. Pembawa keburukan yang saya sendiri tidak percaya.
Kalau dikaitkan dengan kepercayaan. Angka 13 dalam Islam terkait dengan panduan tata cara sholat, perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam Kristen, angka 13 dilambangkan sebagai Yesus dengan ke 12 muridnya hingga bilangan 13 batu permata yang ada di salib Cruix Gemmata. Dan di dalam agama apapun saya rasa pasti ada ajaran yang mengatakan kalau setiap hari itu adalah hari yang baik dan setiap angka adalah angka yang tercipta dengan baik pula.

Saya sendiri lahir pada tanggal 4, yang untuk masyarakat Tionghoa dan Jepang adalah angka sial. Angka 4 disebut juga dengan shi = mati. Namun saya tidak merasa buruk sama sekali. 


Senin, 23 April 2012

Indian Tale: The Story of Rice Grains on the Chessboard

About 1260 AD, Ibn Khallikan, a Kurdish historian living in the Abbasid Empire (modern Iraq, wrote an encyclopedia with biographies of many famous men (though no women). One of the biographies includes a story about chaturanga (which later known as chess) and the meaning of "exponential growth." The story takes place in India, because Ibn Khallikan knew that chess was a game that came from India.
According to this story, King Shihram was a tyrant who loved to play games. But he had gotten bored of the games that were present at the time and wanted a new game that was much more challenging. King Shihran like to oppressed his subjects. One of his subjects, a wise man, a poor mathematician named Sissa ibn Dahir. After months of struggling with all kinds of ideas the mathematician came up with the game of Chaturanga. The game had two armies each lead by a King who commanded the army to defeat the other by capturing the enemy King. It was played on a simple 8x8 square board. King Shihram was so pleased that he ordered that the game of chess should be preserved in the temples, and said that it was the best thing he knew of to train generals in the art of war, a glory to religion and the world, and the foundation of all justice.
Then King Shihram asked Sissa ben Dahir what reward he wanted. Sissa answered that he didn't want any reward, but the king insisted. Finally Sissa said that he would take this reward "I would like one grain of rice for the first square of the board, two grains for the second, four grains for the third and so on doubled for each of the 64 squares of the game board" said the mathematician. "Is that all?" asked the King, "Why don't you ask for gold or silver coins instead of rice grains". "The rice should be sufficient for me." replied the mathematician.
"What a dummy!" thought the king. "That's a tiny reward; I would have given him much more." He ordered his slaves to bring out the chessboard and they started putting on the rice. Everything went well for a while, but the king was surprised to see that by the time they got halfway through the chessboard the 32nd square required more than four billion grains of rice, or about 100,000 kilos of rice. Now Sissa didn't seem so stupid anymore. Even so, King Shihram was willing to pay up.
But as the slaves began on the second half of the chessboard, King Shihram gradually realized that he couldn't pay that much rice -. In fact the whole kingdoms supply of rice was exhausted before the 30th square was reached. "You have provided me with such a great game and yet I cannot fulfill your simple wish. You are indeed a genius." said the King and offered to make the mathematician his top most advisor instead.
To finish the chessboard you would need as much rice as six times the weight of all the living things on Earth.

Japanese Tale: The Crane Wife

image taken from Google


Long ago, a poor man found an injured crane and nursed it back to health. Not long after the crane took wing again, a beautiful young woman appeared at the man’s door,
‘Who are you?’ asked the man.
‘please accept me, I am your wife now.’ and she became his wife.
The woman wove beautiful cloth, which the man sold in the village, and they prospered. She asked only that he never watch her as she wove, and he agreed. Again and again she wove, and the man kept his promise never to watch her at work, and they were happy together.
But one night, curiosity got the better of the man, and he opened the door to take a peek. To his surprise, he saw a crane at the loom! The crane was woving her feather into a beautiful cloth. And she looked very tired, but kept woving.

The crane knew that she was peeked up, betrayed, she came out of the room and found the man.
‘My husband, I’m sorry for not telling you all this time who I am, because you have known me, I’m afraid we cannot be together anymore. Please accept this half-made cloth that I made.’ The crane-wife flew away. The man was sad and left alone with no livelihood, because he failed to keep his promise.

South Africa Tale: Mosquito and the Ear

One day, Mosquito asked Ear to marry him. The ear who heard this was shocked then  she fell on the floor laughing. Ear thought Mosquito looked like a skeleton and insinuated that he would not live much longer. Mosquito was humiliated. 

Image taken from Google
To this day, any time Mosquito passes by, he tells Ear that he is still alive.

Simpanan Waktu

Sang Raja Jin tergeletak di tempat tidur Di. Novel sufi Irving Karchmar itu baru saja selesai dibacanya. Sementara 'Tonight, Not Again' mengalun dari mulut Jason Mraz di notebooknya yang terbuka. Deadline untuk menyelesaikan naskah buku terbarunya tinggal dua bulan lagi namun ia merasa buntu sekali. Di luar hujan gerimis. Entah kenapa ia ingin keluar berhujan-hujanan. Ia ambil mantelnya dan keluar walau tak tahu harus kemana. 


Di memanggil sebagian kenangan yang di otaknya, dari dua bulan lalu.
“Dari dulu aku tak pernah meminta padamu sebelumnya. Karena aku tahu siapa diriku, aku tahu siapa dirimu. Aku tahu posisi kita di mana walau aku tak tahu bagaimana kelanjutannya. Tapi kini aku meminta hal yang sangat sederhana darimu. Yang kita berdua tahu kalau itu sangat mungkin diwujudkan. Tidak materi, tidak puisi. Sedikit keistimewaan yang seharusnya bisa menyatakan kalau kau memang ada perhatian padaku. Sedikit perhatian dari semua perhatian yang seharusnya bisa kuminta darimu. Tapi tidak! Namun mengapa sedikit perhatian itu masih tidak bisa? Apakah itu masih terlalu berat?”
“Kau tahu posisiku  dan kita tidak bisa bersama selamanya.” Mo memegang bahu Di.
Di menghela nafas, “Ya, lagi-lagi jawaban mengambang.” lalu berbalik dan pergi tak melihat ke belakang lagi.
“Di ayolah…, aku punya istri dan keluarga.”
Di tersenyum, ia mengiyakan.
“Dan kau punya dia juga.” lalu pergi. Seminggu sebelum itu ia melihat sendiri Mo dengan pacarnya yang lain itu. Berciuman dalam klab malam. Dan mereka bertengkar hebat setelahnya. Mo meninggalkannya.
“Di!” Mo memanggil tapi Di terus berjalan. Ia menaikkan kerah mantelnya berharap kerah itu akan menutupi seluruh wajahnya, bahkan kalau perlu seluruh tubuhnya. Waktu itu hujan gerimis, dingin, sama seperti saat ini.

Dan semua yang tertahan keluar sudah, perlahan-perlahan. Namun ia berusaha untuk tidak terisak. Tak banyak orang yang berjalan di trotoar,  “Syukurlah” pikirnya.

Di
Dan aku mencoba mengerti, sangat mengerti malah. Akulah yang bersalah dalam keluargamu. Namun aku cinta, karenanya aku harus menekan rasa dan maklum. Hingga kemudian, sesuatu terbuka. Bagai kotak pandora yang menyimpan jahat dan murka. Mo, kau bersama yang lain yang bukan istrimu dan aku. Kau punya seseorang yang lain.
Di mencoba menghempang kenyataan yang ada namun itu semakin memojokkan.  
Percintaan itu memuakkan, dan kini aku terjebak dalam ruang tunggunya yang lowong dan lapang. Dua lelaki yang saling mencintai. Terasa aneh?  Tidak bagiku. Cinta tidak aneh, ia hanya  cinta. Sesederhana itu dan begitulah seharusnya.
Aku mencintainya, sangat.
Tapi tak dipungkiri kalau aku juga membencinya. Namun semakin aku membencinya, semakin dalam sayangku padanya. Sekuat apapun aku menentangnya. Ia selalu ada lagi, lagi dan lagi. Aku malah mendoakannya setiap malam sejajar dengan doa pada keluargaku sendiri.  Dan kini, biarlah aku lupa. Lupa dengan semua tentangnya walau entah kapan aku bisa.
***

Di
Ok, saatnya belanja bulanan. Malam ini aku akan mengajak Udin menemaniku. Heh, lucu saja kalau mengingat nama panggilannya Udin, walaupun nama sebenarnya jauh dari Udin itu. Ilham Nugraha namanya, lihat kan? Jauh dari udin-udinan. Ilham telah menjadi temanku sekitar… 17 tahun. Aku bercerita apa saja padanya, teman, kerjaan, keluarga, sampai kekasih. Walaupun untuk yang terakhir ini ada banyak batasan yang tidak mau kutahu ia tahu.
“Di, kamu masih lama kan?”
“Memang kenapa?”
“Sebentar ya, aku mau lihat-lihat kamera di bagian elektronik di atas.”
“Lha… sama aja kenapa sih? Toh waktu kita juga masih banyak.”
“Halah sebentar aja kok, kamunya juga paling masih lama di sini. Gampanglah aku nyari kamu nanti.”
Aku melihatnya sebentar, tak setuju.
“Hmm ya udahlah. Kalo kamu gak ada lima belas menit lagi, aku tinggal.”
“Lontong! Tinggal sana sendiri.” katanya, lalu ia pergi.
Aku melanjutkan pencarianku, kali ini bagian makanan ringan!Pilihanku jatuh antara keripik kentang dan kacang, keripik kentang dan kacang, keripik kentang dan ka… Ada sesuatu yang tidak mengenakkan, seperti sesuatu yang menguntit. Dari sebelah kiri.
Di memalingkan wajahnya ke arah kiri, dan…
‘Hallo Di.’
Berdirilah ia di sana, tampang yang tak akan pernah kulupakan.
Tak ada yang bisa Di lakukan, ia tercekat. Kaki-kakinya seperti tertanam dalam lantai tak tergerakkan. Darahnya turun ke arah kaki dan mengumpul di sana. Semua diam, semua hening. Waktu berhenti. Hanya dua yang bergerak kini, Mo dan detak jantung Di.
Karena aku bisa mendengarnya berbunyi. Bahkan seluruh lantai ini bisa mendengar detak jantungku.

Mo, hanya dua meter ia di hadapannya. Ia mencoba tersenyum tapi kaku. Dan semua hal yang pernah terikat erat seperti terlepas dari simpulnya. Kulitnya memanggil rasa, matanya mencecap selera. Di bisa merasakan bagaimana kulit wajahnya di tangannya dulu, bagaimana tiap helaian rambutnya tersisir jarinya, ia suka diperlakukan begitu, bagaimana hidung dan lidahku melesap ke pipi dan telinganya. Lama… aku terdiam, dia juga.
‘Hi.’ Katanya lagi.
‘Hi.’ Balas Di, cuma itu. Lalu ia berjalan mendekat ke arah Di, mengambil bungkus keripik kentang yang ada di tangan Di dan meletakkannya di keranjangnya. Di menyumpah diri sendiri dalam hati. Mengapa tidak ada orang lain di gang ini selain kami?

Mo
Aku melihatnya. Untuk pertama kali dalam bertahun ini aku melihatnya lagi. Bermainkah pandanganku? Tidak! Ini nyata. Aku memang berharap bertemu dia di kota ini suatu hari namun tidak menyangka Tuhan mengabulkannya. Dia di sana. Dengan… entah siapa. Sudahlah. Dia di sana, tersenyum dengan tarikan bibir yang takkan pernah kulupa. Gerakan kepala dan permainan tangan yang sangat dirinya.  Namun kakiku tetap terpaku di tempatnya. Tak ada kesempatanku bahkan hanya untuk menyapa. Ia telah berdua dan tak seharusnya ku ada. Melihatnya saja aku sudah bersyukur kalau ia baik saja, walau hati perih. Lalu aku melihat temannya pergi, menjauh. Kini hanya akulah tantangan satu-satunya. Ya aku sendiri yang tak berani mendekatinya. Hingga entah bagaimana aku hanya membiarkan pikiranku membawa kakiku mendekatinya. Cukup dekat hingga aku lewat di belakangnya, dan ia masih memakai parfum yang sama, tapi ia tidak menyadariku ada. Ia masih asyik dengan belanjaannya. Sampai aku merasa, sudah matikah aku hingga ia tidak melihatku. Lalu ia berhenti, menyadari. Dan sesuatu dalam diriku mendorong untuk menyapa. Sekedar hallo tak apalah.

“Hallo Di.” di sanalah, pandangan kami lalu bertemu. Ciut sudah diriku. Apakah ia marah? Sedih? Senang? Ah tak mungkin senang. Terkejut? Ya pastinya terkejut. Dan benar ia hanya mematung saja. Aku mengulang kembali sapaanku.

“Hallo Di.”
“Hi.” dan semuanya seperti runtuh di hadapanku.
“Apa kabar?” pertanyaan klise.
“Baik saja.” jawaban standar.
“Belanja ya?” pertanyaan bodoh.
“Ya, seperti yang kau lihat.” I don’t care, should I.  
“Kamu gimana kabarnya?” Damn! Kenapa harus nanya?
“Ya, baik. Baik.” Mo tersenyum, Di juga. Keduanya senyum yang dipaksa.
“Di, kamu sendirian?”
“Aaa… gak, sama Udin,” matanya melacak keberadaan udin, “tadi dia ada di… oh ya dia ke atas sebentar.”
Mo mengangguk. Di tak mau memulai percakapan. Sepertinya begitu lebih baik.

“Engg… Aku kemari, ke kota ini maksudnya, karena ada kerja. Trus aku jalan-jalan ke sini. Dan… aku liat kamu, dan kamu masih menggetarkan hatiku, ya udah aku datangi.” Di masih dengan ekspresinya. Alis terangkat sebelah dengan sedikit saja senyum, hanya tarikan kecil di sudut bibir.  Dan ia merasa sudah saatnya pergi. Tak baik untuk perasaannya.
“Mo… aku mau nyu…”
“Aku nginap di hotel Garuda.” Mo memotong, takut tak ada momen yang tertinggal lagi. “Aku berharap kamu bisa datang dan kita bisa bicara. Besok.”

Di tercekat. Ia tak menyangka undangan ini.
“ Besok malam, kamu datang atau tidak aku akan tetap menunggu. Kamar 320. Dan aku berharap kamu benar datang.” Lanjut Mo. Di tak menjawab. Pandangannya serasa kosong. Ia terpaku di sana selama beberapa detik untuk kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Mo. Mo tampak kecewa namun ia masih menyimpan asa untuk esok dan bertekad menunggu. 
Hati Di serasa meleleh perlahan. Tubuhnya seperti melorot tanpa tulang. Seperti suntikan beberapa jarum kecil di otaknya dan ia masih saja seperti tak percaya apa yang baru dialaminya barusan. Bergegas ia berpegangan pada eskalator naik dan tak berani melihat kembali ke belakang. Ia berharap berjumpa Udin segera.

Di
Hari ini theme songnya adalah Spending My Time miliknya Roxette. Entah kenapa sedari ia bangun tidur pagi tadi lagu itu teus menerus berulang di otaknya bahkan kini di saat ia sedang menuju hotel tempat Mo menginap. Kamar 320. Ada rasa tidak yakin ketika aku menaiki lift ke lantai 3. Bahkan aku masih menunggu dan memencet tombol ‘buka’ lift tersebut. Untungnya tak ada orang lain yang akan naik lift ini.

Di menyusuri lorong sambil mencari nomor 320 dengan panduan urutan kamar. 315, 316, … 319… 320. Dan hatiku berdegup semakin kencang. Di mengetuk pintu kamar itu, berat sekali, rasanya pengetuk pintu itu terbuat dari logam angkasa luar yang terpatri di sana. 2 detik, 3 detik,… sesuatu bersuara dari dalam sebelum pintu kamar itu terbuka dan… di sanalah dirimu, membuka pintu dengan wajah yang tak ku lihat selama beberapa tahun ini. Mereka berpandangan dalam beberapa detik, 1 atau dua sepertinya, namun rasanya seperti selamanya.
‘Hey… silahkan masuk.’ Kata Mo, mencoba tersenyum walau Mo sendiri tahu kalau itu sangat-sangat dipaksakan. Di juga begitu. Sebagian darinya ingin agar tidak melanggar batas pintu dan tetap ada di luar. Sebagian yang lain ingin semua rasa terutarakan. Dan ia menang, menyuruh Di untuk melangkah masuk ke dalam kamar membuat yang lainnya terlambat untuk ditarik kembali. Kamar itu kamar standar, Queen-size-bed,  lampu meja berbentuk guci dengan ukiran art nuvo. Tak ada cermin di kamar, hotel ini sangat mengandalkan feng shui sepertinya. Cermin besar di kamar tidur sebaiknya di tiadakan karena bisa menimbulkan ketidakharmonisan pasangan. Jendela yang besar memenuhi satu sisi dinding kamar yang menghadap ke arah pemandangan kota malam hari. Mo sepertinya sengaja membuka semua tirainya agar pemandangan indah itu bisa terlihat.
Di tak tahu harus berbuat apa, karenanya Di langsung mengambil tempat dekat dengan jendela besar itu, berdiri membelakangi pemandangan kota dan memandang Mo, tidak, ia mengalihkan wajahnya ke arah lain sehingga mata mereka tak harus bertubrukan.
‘Silahkan duduk,’ Mo menyuruh Di duduk di ranjang sementara dirinya sendiri mengambil kursi yang ada di dekatnya.  Suasana masih kaku.
“Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Langsung saja Mo. Apa yang akan kita bicarakan sekarang?”
“Aku kangen kamu.” Tapi Di tak bergeming.
“Terlambat kan untuk itu. Tak ada kangen-kangen dan semacamnya. Kau tau itu, aku tau itu.”
“Maafkan aku Di.” Di langsung menatap Mo begitu mendengar kata ‘maaf’. Ekspresi tak percaya.
“Kemana saja kau selama ini?” nada datar. Ia lekat memandang.
“Kemana saja selama ini? Kemana kau selama aku berusaha memahami setiap inginmu?” matanya masih menatap Mo. Mo mengalihkan pandangannya.
“Aku rela meleburkan diri dengan semua maumu, semua egomu. Aku bahkan menekan perasaaanku dengan semua kebohonganmu yang kau kira aku tak tau! AKU TIDAK BODOH!”
“Aku tak pernah menganggapmu bodoh!”
“Lalu apa yang kau lakukan?” Di memotong cepat. “Aku merelakan banyak hal untukmu, terlampau banyak. Apa yang kudapat? Tak ada! Kau tak pernah menganggapku ada!”
“Bukan begitu!”
“Lalu apa!” nadanya telah meninggi. “dan selingkuhanmu itu. Kau anggap aku apa! BATU! Dan kau lebih memilih dia!”
“Aku mencintaimu.” PRAANG! Sebuah gelas terlempar ke dinding. Di mencampaknya spontan. Pecahannya berserakan di lantai kamar.
“Aku bersalah karena masuk dalam hidupmu dan istrimu. Tapi salahku jugakah bila kau kemudian menjalin cinta dengan yang lain lagi sementara kau bilang mencintaiku? Ya, seperti yang kau bilang padaku barusan.”
“Maafkan aku Di! Jangan membawa istriku, dia tidak tahu mengenai ini.” lalu hening beberapa saat.
“Di, aku bersalah, aku pantas menerima amarahmu. Tapi dia, yang kau benci, hanya pelampiasan saja, tak lebih.”
“Hah! Bohong yang lain.”
“Itu benar, dan aku juga sudah tidak bersamanya.”
“Dan aku sebagai pihak yang tak punya rasa.”
“Itu sebuah kesalahan!”
“Kau tau aku tak suka namun kau masih bersama si bangsat itu!” terucap sudah.
“Itu sebuah kesalahan dan sudah berakhir sekarang!”
“Tapi terlambat! Aku telanjur luka.” Matanya berkaca. “dan ini bukan soal dia saja, tiap aku mencoba mundur mengalah untuk kita akan suatu masalah kau selalu maju untuk melukai setelahnya. Selalu begitu.” Lalu hening.
“Bertahun aku mencoba menyusun hati dan berhasil. Aku sudah mundur dari hidupmu, dan tiba-tiba kau datang lagi. Kau membuka lagi semuanya.”
“Aku mencoba menyingkirkanmu dari pikiranku tapi tak bisa. Aku terlampau jatuh ke dalammu. Aku mencintaimu.”
“Terlampau banyak cinta dalam hatimu hingga aku tak pernah punya tempat. Dan kau terlalu gampang untuk itu.”
Di berjalan ke arah jendela besar dan memandang ke luar. Tak bisa lagi ia menahan rasa. Terlalu sakit, terlalu rindu.  Lalu ia membalikkan badan namun menunduk dan terduduk menyandar dinding. Kakinya terlipat ke atas.
Mo juga duduk di sebelahnya. Ia mengangkat tangannya ingin menyentuh pundak Di. Sesuatu menghentikannya. Rasa tak berani menghalanginya menyentuh Di. Tapi ia merasakan hal yang sama. Tak ada air mata memang di wajah kecuali di hatinya. Perlukah?
Keduanya hanya terdiam kini, terduduk menyender dinding dalam ruang cahaya temaram.

Spending my time, watching the days go by
Feeling so small, I stare at the wall
Hoping that you are missing me too

Di menutup matanya dan menghelas nafas, Spending My Time masih mengalun di otaknya.

I'm spending my time, watching the sun go down
I fall asleep to the sound of "tears of a clown"
A prayer gone blind
 
Dua jiwa yang tak bisa lagi menyatu. Seperti terbatasi oleh sebuah pintu luka yang tergembok, dengan kunci yang hilang entah kemana.

Selasa, 10 April 2012

Jalan-jalan kota


Yesterday, I walked around the city, through the Balai Kota street, zero kilometer of the city, through the Merdeka Field (it was called the Esplanade) in the shady of Trembesi tree. Watching the main Post Office, the Neo Classic-colonialist concept building which faced the Nien Huys fountain.
Too bad, it was off at the time.

 


The I walked to the Hanging Bridge (Titi Gantung). It wasn't hanging after all, it is a connecting bridge that runs through the railway. 

Titi Gantung



from this Hanging Bridge, we can see the big beautiful Buddhist Vihara, I wanna go there but not sure whether I allowed to enter it. 


Then I walked to the Kesawan area which is not far away from there. I walked to an antique-chinese-house. The Tjong A Fie's Mansion. 


Tjong A Fie (1860-1921) also known as Tjong Fung Nam was a big business man, a banker, and a Major. A socialite closed to the Royal family of Sultan Deli, Makmun Al Rasyid and the Dutch Government’s officers in Medan at his time. In 1911, Tjong A Fie was inaugurated as Tionghoa Captain (Majoor der Chineezen) as a leader of the Tionghoa community di Medan replacing his brother Tjong Yong Hian. Tjong A Fie died in Medan on February 4th, 1921. 





His mansion is a very well-known tourism spot in Medan, which took place in Jl. Jend. Ahmad Yani No. 105. This area also called as Kesawan.  The mansion of the late Major Tjong A Fie was built in 1895, in an area around 8,000 m² of land, the building consist of two storeys holding over 35 rooms.
He lived there with his third wife  Lim Koei Yap from Timbang, Langkat, Binjai.






It was a very awesome visit I had there.

“There on the earth where I stand, I hold the sky. Success and glory consist not in what I have gotten but in what I have given” 
- Mr. and Mrs. Tjong A Fie -

Aaaaah... Whatta beautiful day. (n_n)