Jangan pernah kau tanya kenapa aku lebih memilih ada di jalanan daripada di rumah. Jalanan lebih menjanjikan kesenangan padaku. Jalan lebih bersahabat dari sahabat padaku. Jalan lebih mengertiku dari yang lain. Jalanan lebih ada untukku ketimbang yang lainnya. Ini aku, teman-teman memanggilku Bulung, dan kurasa aku lebih suka nama itu daripada nama asliku sendiri. Sudah dua tahun ini aku ada di jalanan. Kami semua selalu bersama-sama, makan, tidur, bahkan kalau bisa berak dan kencing pun sama.
Sudah enam bulan ini pula kami tinggal di gedung kosong bekas toko. Gedung tingkat dua yang menunggu diruntuhkan sejak kebakaran setahun lalu. Bukan karena aku tak punya rumah. Kadang aku pulang ke rumah, menengok emak. Kadang tiga minggu sekali, kadang sebulan, kadang tiga bukan tak pulang. Aku juga kadang memang kangen sama emak, tapi untuk apa aku pulang kalau yang kulihat juga sama. Keluargaku orang susah, emak susah. Cari makan saja sulit. Untuk apa aku ke rumah kalau menambah-nambah susah emak?
Teman-temanku juga ceritanya sama. Pulang ke rumah cuma untuk mendapat marah, bertengkar, di suruh ini disuruh itu. Dan satu lagi, mereka juga bukan orang kaya. Mereka juga susah kayak aku. Makanya mereka juga pergi dari rumah. Pergi ke jalanan. Cari makan di jalanan. Cari hidup di jalan. Saat orang tua kami tak lagi peduli maka yang mengerti kami adalah jalanan dan teman-teman. Yang mengerti kami adalah debu dan dingin malam. Aku senang hidup begini, bukan karena aku tak punya mimpi. Dulu aku juga pernah sekolah tapi putus karena emak tak ada biaya. Mau mengharap kemana? Emak orangtuaku satu-satunya. Bapak sudah meninggal 3 tahun lalu ditabrak truk. Sementara kakakku Mita sudah punya keluarga sendiri dan beranak dua. Hidupnyapun sama susahnya dengan emak. Di bawahku masih ada Didi, adikku. Sekarang dialah satu-satunya anak yang masih tinggal sama emak, sebentar lagipun kurasa dia sudah mencari teman-temannya sendiri di jalanan. Aku tak mau tinggal sama emak lagi. Aku sudah besar, tahun ini 12 tahun. Aku sudah bisa mencari makan sendiri. Kaadan sewaktu pulang aku kasih sedikit uang yang kudapat selama ini. Emak gak pernah berkata apa-apa kalau aku kasih dia uang, tapi dia selalu menatapku lekat-lekat lalu memelukku. Kalau memelukku kadang dia menangis. Kadang aku menangis. Kalau sudah begitu biasanya aku cepat-cepat menghapus air mata terus lari keluar rumah, kembali mencari teman-temanku. Kadang memang iri kulihat teman-temanku yang masih sekolah. Tapi mereka mampu. Di sini, aku bebas kemana aja tak ada yang larang. Tak ada PR untuk dikerjakan di rumah. Tak ada Matematika sama Bahasa Indonesia yang bikin pusing kepala. Kalau aku jenuh, tinggal patungan sama kawan beli lem kambing terus ngelem bersama-sama. Kalau sudah ngelem aku melayang. Ringan, tenang kurasa.
Kalau sudah pagi meminta-minta pada setiap kendaraan yang ada. Tampang orang-orang yang melihat kami sebenarnya lebih kepada tampang muak daripada kasihan, tapi mau dibilang apa lagi? Kalau sudah siang sedikit kami lalu pergi mengambil goni plastik dan menentengnya di punggung. Mencari-cari kaleng, besi tua, barang-barang plastik, botol kecap atau minuman keras, sendal rusak, apa saja yang bisa dijual. Tak sudah menjual barang-barang itu semua. Selalu ada yang menampungnya. Aku tak keberatan kalau harus merogoh ke dalam tempat sampah orang untuk barang-barang iru. Walau kadang harus diusir dimaki pemilik rumah karena membuat sampahnya berantakan lagi. biasanya kalau sudah begitu tinggal lari. Kadang memang kami dapat susahnya. Kalau sudah razia waduh hilanglah semua. Digaruk sama-sama Wak Pen atau Bu Min pengemis yang sering mangkal sama-sama kami di jalan. Trus naik truk beramai-ramai sambil dipelototi sama Satpol PP. Dimarahi, dinasehati kepala ditoyor atau dipukuli kayaknya udah biasa sama kami. Setiba di panti nanti dimarahi lagi,
‘Ini lagi ini lagi, wajah kalian saja yang mampir ke mari! Sampai hapal aku sama kalian.’ Begitulah kalau pak Jarwo sudah menempatkan kami dalam ruang binaan. Biasanya setelah itu satu dua tamparan di mukaku akan kudapat. Lalu tinggal dua hari di sana terus di lepas. Mana mau mereka menahan kami, tak cukup duit mereka untuk memberi kami semua makan.
Di jalanan yang kuanggap orangtua hanyalah mbak Jenny, waria yang sering mangkal di perempatan Sudirman kalau malam. Hanya dialah yang mengerti diriku dan sampai saat ini ia tidak pernah melakukan hal yang buruk padaku. Ia betul-betul menganggapku sebagai adiknya. Ia sering memberikanku makanan dan uang, walaupun tak banyak. Ia juga sering menasehatiku untuk tidak hidup lagi di jalanan. ‘Terlalu keras untukmu.’ katanya. Ia memang terlampau baik padaku. Dan aku juga tak suka bila ada lelaki yang jahat samanya. Pernah sekali dua kali ada lelaki yang bertingkah dengan mbak Jenny setelah ngewek, sudah gak bayar, malah mukul lagi. sudahlah, habis ia kubuat. Kukumpulkan teman-temanku lalu menghajarnya beramai-ramai dan mengambil duitnya. Untungnya selama itu pula tak ada yang melaporkannya ke Anak-anak Pramuka - sebutan kami untuk polisi -, kalau itu terjadi bukan tak mungkin masalahnya jadi tambah panjang.
Aku menghargai mbak Jenny karena kebaikannya padaku, entah apa yang dilihatnya pada diriku, namun itu mungkin hanya kepadaku seorang. Karena kutahu ia pernah membawa Ipung ke dalam kamarnya. Dan tak berapa lama Ipung keluar dari sana dengan membawa beberapa lembar uang di dalam sakunya. Namun memang Ipung lebih tua dari kami semua dan ia juga berbadan besar tinggi. Kulit hitamnya mengkilat kalau ditimpa sinar matahari. Walau masih anak kampung namun aku tahu kalau Ipung juga bertampang manis. Yah, hitam manis sebutannya. Ipung seperti tidak cocok berada di antara anak-anak jalanan lainnya. Kurasa kalau ia ikut kontes menyanyi ia akan diterima sebagai peserta, toh ia punya suara yang bagus. Aku pernah ikut dengannya ketika ia mengamen.
Ada bang Raja. Duda lapuk itu dianggap bos oleh semua anak jalanan, walapun tak ada yang suka kalau ia menjadi bos. Katanya dia sudah dua kali kawin, dua kali pulalah istrinya kabur karena tak tahan dengannya. Ia tak beranak, paling banter bininya bunting terus keguguran. Mungkin itu kutukan dirinya. Mau tak mau kami semua harus turut pada katanya. Ia biasa main kartu atau dam batu di lapo. Kalau sudah datang gilanya atau kalah berjudi maka itu artinya kiamat bagi kami. Tak satupun anak yang mau bertemu dengannya, semua lebih baik menghindar dan bahkan kena razia daripada kena olehnya. Apeslah kalau ada yang kepergok oleh matanya. Selain dimintai setoran hari itu ia juga akan dibawa kemana yang ia mau, bisa ke semak, gedung kosong yang mau runtuh, atau ke kuburan Cina. Di sana anak itu akan merasakan sakitnya ‘tusukan’ bang Raja. Ia tak peduli saat kau meringis menahan sakit perlakuannya. Ia juga tak peduli bila kita menangis sampai kuku rusak mencengkram tanah dan dinding menahan kuatnya ia bergoyang maju mundur di belakangmu sambil bernafas menderu.
‘Besok-besok kalau kau ulangi lagi, kau tau akibatnya.’ Lalu ia menaikkan celananya dan membiarkanmu begitu saja. Dan selepasnya kau akan terseok berjalan pulang, berasa panas dingin seakan demam. Kurasa tak ada satupun anak dari kami yang belum pernah merasakannya, tak satupun. Oya, mungkin hanya Ipung yang tidak merasakannya. Mungkin karena Ipung berbadan besar dan setinggi dirinya makanya si Raja kampret itu menjadi segan. Entahlah, aku tak tau pasti. Tapi lain cerita kalau ia menggandeng cewek-cewek yang sering mangkal di pinggir jalan. Apalagi kalau kartunya bagus, itu artinya kami aman. Dulu, beberapa anak ada yang nekad mengikuti dia kemanapun pergi sama cewek itu sewaktu habis berjudi dan mabuk, selesai ngewek biasanya si cewek langsung pergi dan tinggal bang Raja sendiri yang tergeletak tak sadar diri. Ia sudah tak awas lagi, kesempatan buat kawan-kawanku untuk merogoh kantong-kantongnya. Bagus kalau ketemu duit walaupun goceng atau cebanan. Sekali dua kali itu berhasil. Tapi kemudian tak ada lagi yang berani, ceritanya pernah sewaktu Ajad temanku mengikuti dia yang mau dan mau ngewek, sewaktu cewek itu pergi, ia berniat untuk merampok bang raja, sialnya bang Raja sadar lagi dan habislah Ajad kena bogem, bukan itu saja, Ajad juga kena jatah dari Bang Raja. Karena itu sekarang tak ada lagi yang mau nekad merampok bang Raja. Cari mati! Selama aku mengenal bang Raja, belum sekalipun kulihat dia berbuat baik samaku atau sama anak yang lain. Selalu takut yang kami rasa, tak ada yang lain. Jangan tanyakan rasa benciku atau benci teman-temanku yang lain padanya, bahkan hanya mendengar namanya saja membuatku harus meludah ke tanah tiga kali untuk mengutuk sosoknya. Ia seperti borok bernanah yang siap menjalar membesar perlahan di lututmu yang akan meninggalkan bekas menghitam selamanya di sana. Tak peduli berapa kali kau gosok bekas itu dengan batu apung atau yang lainnya dia akan tetap ada.
Hari ini apesku. Setoranku kurang sama bang Raja, walau sudah ditambah dengan uang Mamad tetap saja kurang lima ribu perak. Sore itu kami menghadap dengan perasaan yang selalu sama, takut. Teman-temanku bilang kalau sebaiknya aku bilang saja ke bang Raja kalau besok jumlahnya dilipatgandakan biar setoran hari ini tertutupi, namun siapa yang tahu pikiran bang Raja? Aku hanya bisa berharap, semoga saja.
Ternyata ia tidak berkata apa-apa. Ia cuma bilang ‘Hmm…’ lalu menghardik kami untuk pergi. Aku senang bukan kepalang, aku berjanji padanya untuk menutupi kekurangan setoran hari ini esok hari. Aku berjanji padanya.
Malam ini hujan gerimis, dan kami semua kelaparan. Akulah yang bertugas membeli makan hari ini, entah kenapa aku merasa aneh malam ini, karenanya aku meminta Bobong untuk menemaniku. Dingin dan basah tak begitu terasa kalau berdua kan? Belum sampai di warung tiba-tiba tanganku dicengkram, lalu ditarik paksa. Bobong lari ketakutan duluan, aku tak sempat berpikir panjang.
‘Kemari kau!’ suara itu, suara bang Raja. Mati aku! Ternyata ia menyimpan dendamnya untuk malam ini. Aku masih ditarik tak berdaya, pipiku sudah sakit duluan ditampar tadi. Lalu kami masuk ke dalam sebuah rumah kosong, tak ada pintu, tak ada jendela, namun bang Raja tak peduli semua itu, kurasa walau seratus orang melihat dirinyapun ia masih akan melaksanakan niatannya padaku. Celanaku sudah dipelorotinya dan ia juga sudah siap. Ketika ia melakukannya, rasa itu masih sakit seperti saat pertama ia melakukannya.
‘Sudah kubilang jangan macam-macam samaku, kau tak mau dengar. Kau rasakan sekarang.’ Katanya sambil terus mendorong kuat tubuhnya di belakangku. Air mataku keluar menahan sakitnya. Hingga tiba-tiba ia terhenti berbarengan dengan suara yang menghantam sesuatu dua kali. Bang raja berteriak tertahan lalu suara berdebum. Sosoknya jatuh di belakangku, entah apa yang terjadi. Tempat itu gelap namun aku tahu ia terkapar di bawah sana. Kejadiannya cepat sekali.
‘Pulanglah Bulung, anggap ini tak pernah terjadi! Suara itu? aku tak mau berpikir panjang, aku naikkan celanaku dan lari, masih bisa kulihat sosok itu menghantam tubuh bang Raja sekali lagi dengan pemukulnya. Aku berlari cepat sekali, ada ribuan hal dalam otakku yang menari-nari, gerimis bersatu dengan peluh dan air yang keluar dari mataku. Di tengah jalan aku berjumpa dengan Bobong dan yang lainnya. Mereka ingin menolongku. ‘Ini sudah cukup!’ kata mereka. Namun aku menarik mereka kembali pulang. Dan kami terus berlari.
Esoknya, semua orang heboh dengan sosok bang Raja yang sudah menjadi mayat di rumah kosong itu, tengkoraknya retak dengan darah di mana-mana. Aku dan teman-teman diam saja dan memperhatikan dari kejauhan. Tak satupun dari kami yang berbicara namun ada rasa terpuaskan bila ia sudah menjemput ajalnya. Ia pantas mendapatkan itu, sungguh sangat pantas. Pikir kami semua, dan kamipun tak ingin tersenyum untuk itu. Dendam terselesaikan. Bahkan saat mayat itu dibawa Anak-anak Pramuka kami masih memperhatikannya. Di kejauhan, di bawah pohon Seri, di antara kerumunan orang, aku melihat sosok yang kuyakini itu suaranya semalam. Ipung.
- Q -
24 April 2011