Perempuan itu masih terpaku memandangi punggung lelaki yang pergi meninggalkannya.
Sungguhankah ini? Satu sisi dalam pikirannya masih sempat memunculkan ide konyol dengan menyuruh tangannya untuk mencubit pipinya. Namun pikiran itu terabaikan dengan sendirinya. Di dalam taksi ia masih nencoba menahan laju air matanya agar tidak jatuh lagi. Ia tahu beberapa kali supir tanksi di depannya melihat ke spion mengawasi dirinya. Mungkin bertanya-tanya apakah hari yang dilalui perempuan ini sama buruknya dengan hari yang dilaluinya? Hanya saja aku tidak menangis sepertinya. Pun Dewi tidak mengacuhkan itu. Sepanjang perjalanan ia hanya menunduk, dan memandangi setengah hati miliknya. Setengah hati yang kini ia miliki kembali. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya terlalu tinggi, seperti ada perasaan malu, tertampar, dan marah dan jutaan mata yang mengarah padanya di dalam taksi ini.
Malam itu tak lain yang dilakukannya adalah menangis. Dan bertanya-tanya mengapa ia tega melakukan hal itu padaku? Tidakkah ia merasakan sakitnya perasaanku? Sudah tiga kali ia mencoba menelepon lelaki itu untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, namun nomor itu selalu tidak dapat dihubungi.
Seminggu berlalu dan masih belum ada jawaban. Perempuan itu berencana pergi ke rumah kekasihnya (atau haruskah ia menyebutnya mantan?) dan berusaha menemuinya. Namun ia tidak mendapati siapapun di sana.
Lelaki itu hanya tinggal berdua dengan adiknya. Dan ia sudah memberikan pesan pada adiknya untuk tidak menerima alasan kedatangan kekasihnya (atau haruskah ia menyebutnya mantan?) secara apapun.
‘Tidakkah menurutmu ia perlu mengetahui yang sebenarnya?’adiknya bertanya.
‘Tidak. Itu akan semakin melukai hatinya?’
‘Darimana kau tahu? Hatinya sudah terluka sekarang. Dan ia kekasihmu. Ia berhak tahu Bowo.’lelaki itu diam saja.
‘Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Dan ini juga tidak mudah untukku. Aku saudaramu. Apakah kau pikir akan mudah bagiku menyangkal pikiranku yang terus menghitung jalannya hari kalau kau akan semakin dekat untuk meninggalkanku selamanya?’
Lelaki itu masih diam.
‘Atau aku yang akan memberitahunya.’
‘Jangan! Aku akan memberitahunya.’
‘Maka lakukan itu segera. Sudah beberapa kali ia datang ke sini dan bertanya tentangmu namun kau selalu tidak ada. Jangan kau kira akan mudah bagiku untuk selalu berbohong tentangmu sambil melihat ke dalam matanya.’
‘Dan tetaplah seperti itu. Kumohon...?’ ia menatap lekat adiknya. Tak ada lagi keceriaan dalam matanya. Adiknya hanya menatapnya. Namun tiba-tiba adiknya menubruknya dan memeluknya erat seperti tak ingin melepasnya lagi. ‘Kau saudaraku. Aku tak ingin kehilanganmu.’lelaki itu tidak membalas pelukan adiknya. Ia hanya menatap kosong ke depan. Hatinya yang semula retak kini mulai berkeping berderak dan jatuh.
Perempuan itu masih mencoba menerima kenyataan kalau kekasihnya sudah meninggalkannya. Namun setiap kali hujan ia selalu teringat sore jahanam itu. sudah tiga bulan berlalu kini dan sudah entah berapa kali ia mencoba menahan dirinya agar tidak meajatuhkan airmatanya di depan orang banyak. Terkadang itu berhasil namun terkadang tidak. Kalau sudah begitu, ia akan mencoba mencari cara untuk menyendiri.
Telepon selularnya berbunyi, sebuah panggilan masuk dari Massa, adik Bowo.
‘Bisakah kita bertemu? Aku ingin bicara.’tanya Massa dari seberang,
‘Mengenai?’
‘Kau sudah tahu mengenai siapa.’Dewi terdiam sesaat.
‘Baiklah, jam enam sore nanti kita bisa bertemu. Aku beritahu nanti tempatnya.’dan telepon ditutup.
Dan sore itu, semua terungkap sudah.
‘Bowo bilang ia akan memberitahukanmu tentang ini semua namun aku meragukannya. Aku nmerasakan sakit yang sama seperti yang kau rasakan. Kuharap kau tahu akan hal itu.’Dewi sedari tadi tak berhenti menangis. Ia tidak peduli bila orang lain melihat ke arahnya. Hatinya masih sakit namun setidaknya ia mengetahui kebenarannya kini dan bebannya sedikit terlepaskan.
‘Mengapa ia tidak memberitahukanku yang sebenarnya?’
‘Mengapa? Ia tidak sanggup untuk itu padamu. Maksimal 6 bulan kehidupan sudah menghancurkannya dan ia tidak akan mau menyeretmu ke dalamnya.’
‘Tapi aku mencintainya.’
‘Kita mencintainya.’
‘Aku ingin bertemu dengannya. Kumohon...’
‘Entahlah, aku tidak yakin akan hal itu. Akhir-akhir ini serangan dalam kepalanya semakin sering datang. ’Dewi menatap tajam pada Massa, lalu mereka terdiam dalam kebisingan sore.
Seminggu setelah itu sebuah pesan pendek muncul di teleponnya.
Aku akan datang ke rumahmu jam delapan nanti malam, bersiaplah. Pesan dari Bowo. Perempuan itu sumringah, dan ia pasti akan menunggu kekasihnya.
Lelaki itu benar datang ke rumahnya. Mereka lalu pergi bersama berdua. Tak banyak bicara dalam perjalanan itu. Diam sudah bercerita akan perasaan masing-masing.
‘Massa sudah menceritakan padaku kalau ia bercerita padamu. Maafkan aku yang...’
‘Sst... tak perlu. Tak usah kita ingat yang itu.’perempuan itu menyandarkan kepalanya ke dada lelaki itu.
‘Bowo, aku masih membawa separuh hatiku. Bisakah kita menukarnya kembali?’
‘Jangan, kumohon. Kalau kau meiliki hatiku kembali, kau tidak akan pernah pergi dariku. Aku ingin kau tetap melanjutkan hidupmu setelahku. Dan berjanjilah padaku kau kan seperti itu.’
‘Aku tidak mau yang lain. Aku mau dirimu.’
‘Kita berdua sadar hal itu tak mungkin terjadi. Berjanjilah padaku. Berjanjilah padaku.’mereka lalu perpelukan erat.
…
‘Dewi! Bowo di rumah sakit sekarang, serangannya datang lagi. Datanglah, aku menunggumu di sini.’suara Massa yang panik membuat Dewi juga panik. Ia sesegera mungkin ingin berada di sana. Di dekat kekasihnya.
Sesampainya di sana ia melihat Massa. Kamar kekasihnya tidak boleh dimasuki siapapun kecuali dokter. Dalam hati mereka berdua kini mengucapkan hal yang sama. Ini tidak boleh terjadi. Mengapa harus seperti ini? Namun itu hanya penyangkalan. Dan mereka tahu itu semua tidak ada gunanya.
Seseorang keluar dari kamar itu. Ia dokter. Dan ia mengatakan ia tidak tahu kapan namun sewaktu-waktu dari sekarang lelaki yang terbaring itu dapat pergi meninggalkan mereka. Dan ia membiarkan keduanya masuk.
Lelaki itu terbaring di sana. Tak ada energi darinya namun ia terlihat damai. Keduanya mendekat dan mengecup keningnya bergantian dan mengucapkan kata-kata keihklasan. Dokter itu benar, dua jam setelah itu mereka melihatnya pergi.
Hujan datang lagi sore ini. Perempuan itu melihat ke arah jam, hanya butuh sedikit waktu lagi untuknya menyelesaikan kerjaannya dan setelahnya ia dapat pulang. Ia tak lagi menangis kini. Ia tahu kekasihnya (atau haruskah ia menyebutnya mantan?) tidak menginginkan hal itu. Bibirnya tersenyum. Ia tahu, ia akan mendapat cinta lagi untuknya nanti.
- Q –
Finished on 27 October 2010
Kamis, 28 Oktober 2010
Senin, 25 Oktober 2010
Lelaki yang Membunuh Cinta dengan Cinta saat Hujan Reda dan karena Cintanya Dia Terluka
Hujan sore itu cukup deras namun lelaki itu tidak bergerak. Dia hanya diam saja. Diam dan duduk menunggu di anak tangga di luar sebuah plaza. Orang-orang yang menunggu hujan reda dan yang berlalu lalang hanya melihat padanya dan terkadang mereka berbisik tentang keadaannya. Dia pasti gila. Itu yang ada dalam pikiran mereka. Dua tiga kali anak-anak penjaja sewa payung datang padanya dan menawarkan jasa mereka namun ia hanya diam saja tanpa mempedulikan mereka. Wajahnya menatap kosong ke depan seperti tanpa ekspresi. Hingga akhirnya anak-anak itu pergi meninggalkannya sendiri seperti sebelumnya dan berpikiran sama seperti orang kebanyakan lainnya. Dia pasti telah gila. Badannya sudah kuyub membuat t-shirt biru, bertuliskan ‘the circle of my heart’di dada, yang dikenakannya semakin biru karena hujan, sementara kemeja serta sebuah tas sandang yang sebelumnya dikenakannya terletak pada anak tangga yang lebih tinggi darinya dan sedikit terlindung dari hujan walau tak luput dari basah. Awan masih menumpahkan airnya ke bumi, namun ia tetap tak mau beranjak seperti pantatnya telah terpaku di sana, wajahnya telah pucat dan bibirnya telah bergetar menahan dingin. Pada tangan kirinya ia menggenggam sesuatu, sebuah benda yang terbungkus sebuah kertas coklat dengan lapisan plastik.
Perempuan itu melihat ke arah jam, hanya butuh sedikit waktu lagi untuknya menyelesaikan kerjaannya dan setelahnya ia dapat pulang. Dalam pikirannya ia sudah membayangkan kalau nanti malam ia akan bersama dengan kekasihnya ke suatu tempat dan menikmati malam bersama, tentu saja ia berharap hujan akan reda dan malam akan cerah berbintang setelahnya.
Lelaki itu masih menunggu di tangga. Ia mnenengadah ke langit dan melihat awan sudah mulai terang namun hujan masih deras mengucur. Ia melihat ke depan dan seakan berharap sesuatu muncul di hadapannya. Ia melihat ke arah jam tangannya. Seharusnya ini sudah waktunya. Bibirnya masih gemetar.
Pekerjaannya sudah selesai. Perempuan itu masih menunggu di depan gedung tempatnya bekerja. Ia berencana akan naik di taksi dari depan plaza di dekat gedungnya seperti yang selalu dilakukannya. Hujan sudah reda, sepertinya ia akan keluar. Ia menunggu lima menit lagi.
Hujan telah reda. Lelaki itu masih menunggu. Seharusnya sekarang pikirnya. Berbasah-basahan dengan memakai baju ternyata lebih dingin dari tidak memakai baju sama sekali.
Perempuan itu telah keluar dari gedungnya. Ia hanya perlu berjalan melewati dua gedung hingga ke depan sebuah plaza. Karena banyak taksi yang mangkal di sana.
Lelaki itu menajamkan pandangan ke depan. Apa yang ditunggunya selama ini telah datang. Ia mengambil kemeja dan tasnya dan lalu turun dari tangga, bermaksud untuk ke seberang jalan.
Perempuan itu tak percaya pada pandangannya. Kekasihnya ada di seberang jalan dan menuju ke arahnya. Apa yang ia lakukan di sini? Bajunya basah dan sudah berapa lama ia ada di sana?
Lelaki itu telah sampai di depan kekasihnya. Mereka berhadapan kini.
‘Bowo. Apa yang kamu lakukan di sini?’ tanyanya sambil tersenyum tak percaya
‘Aku menunggumu tentunya.’
Menungguku?
‘Untuk apa? Ada apa?
‘Bisa kita bicara di suatu tempat?’
Ada apa ini? Lelakinya lalu membawanya hingga di bawah sebuah pohon Mahoni. Daun-daunnya yang masih basah tergoyang angin hingga meneteskan titik-titik air ke badan mereka. Menciptakan efek hujan kecil untuk mereka.
‘Bowo ada apa?’
Lelaki itu diam sesaat. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam bungkusan coklat.
Perempuan itu menyambut dan membukanya.
‘Ini... setengah hatiku? Mengapa?’
‘Aku tidak bisa membawanya lagi bersamaku.’
‘Mengapa?’wajahnya penuh kecemasan kini
‘Apakah kau masih menyimpan setengah hatiku?’
‘Ya, dan selalu.’tangannya menggenggam erat tasnya seakan ia tidak mau lelaki itu merampasnya.
‘Boleh kuminta kembali?’
‘Bowo! Ada apa ini?’
‘Aku tidak lagi mencintaimu lagi Dewi. Aku mencintai yang lain.’
‘Bowo!’spontan suaranya menjadi serak dan saraf-sarafnya langsung mengirim rangsangan ke otak untuk menciptakan rasa sedih marah, kecewa, dan semua penyesalan secara bersamaan.
‘Aku serius dewi. Aku tidak lagi mencintaimu. Asku bertemu perempuan ini tiga bulan yang lalu dan aku... aku sepertinya mencintai dia. Tidak mencintaimu lagi.’
Perempuan itu mulai menangis kini. Namun air dari dedaunan diatas juga menitik di wajahnya. Tak ada beda kini antara air mata dan hujan.
‘Boleh kuminta setengah hatiku kembali? Aku mengembalikan setengah hatimu ini.’lelaki itu kembali meminta, namun nadanya lebih seperti memohon.
Dalam tangis perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah bungkusan yang kurang lebih sama. Ia menyerahkannya pada lelaki di hadapannya dan mengambil punyanya dengan sangat pelan.
‘Tapi mengapa?’
‘Tidak ada. Tidak ada alasan dalam mencintai kan?’perempuan itu masih menangis.
‘Sudahlah. Kau akan mendapatkan yang lain yanglebih baik dariku. Tangannya menyentuh bahu perepmpuan itu. Namun tidak dingin, tapi hangat dirasakan.
‘Aku pergi dulu.’ Ia ingin mengecup kening perempuan itu namun kontak fisik akan semakin menambah kedekatan dan rasa. Berpidah adalah berpisah tanpa ada rasa lain selain berpisah. Lelaki itu berjalan berbalik arah menjauhi perempuan yang masih diam terpaku dan menangis. Ia menggenggam setengah hati di tangannnya dengan keras dan ia merasakan sakitnya. Lelaki itu tahu kalau ia telah menyakiti perempuan itu. Namun ia akan tetap menyimpan tiga hal untuknya sendiri. Bahwa ia juga sakit meninggalkan dan menyadari kalau ia sangat mencintai perempuan itu. Bahwa tidak ada cinta dan perempuan lain di hatinya. Bahwa hidupnya tinggal 6 bulan lagi karena kanker otak yang selama ini dirahasiakannya dari kekasihnya.
Cerita ini terinspirasi dari judul lagu ‘The Boy Who Murdered Love’ dinyanyikan oleh Diana Vickers.
- Q -
Finished on 25 October 2010
Perempuan itu melihat ke arah jam, hanya butuh sedikit waktu lagi untuknya menyelesaikan kerjaannya dan setelahnya ia dapat pulang. Dalam pikirannya ia sudah membayangkan kalau nanti malam ia akan bersama dengan kekasihnya ke suatu tempat dan menikmati malam bersama, tentu saja ia berharap hujan akan reda dan malam akan cerah berbintang setelahnya.
Lelaki itu masih menunggu di tangga. Ia mnenengadah ke langit dan melihat awan sudah mulai terang namun hujan masih deras mengucur. Ia melihat ke depan dan seakan berharap sesuatu muncul di hadapannya. Ia melihat ke arah jam tangannya. Seharusnya ini sudah waktunya. Bibirnya masih gemetar.
Pekerjaannya sudah selesai. Perempuan itu masih menunggu di depan gedung tempatnya bekerja. Ia berencana akan naik di taksi dari depan plaza di dekat gedungnya seperti yang selalu dilakukannya. Hujan sudah reda, sepertinya ia akan keluar. Ia menunggu lima menit lagi.
Hujan telah reda. Lelaki itu masih menunggu. Seharusnya sekarang pikirnya. Berbasah-basahan dengan memakai baju ternyata lebih dingin dari tidak memakai baju sama sekali.
Perempuan itu telah keluar dari gedungnya. Ia hanya perlu berjalan melewati dua gedung hingga ke depan sebuah plaza. Karena banyak taksi yang mangkal di sana.
Lelaki itu menajamkan pandangan ke depan. Apa yang ditunggunya selama ini telah datang. Ia mengambil kemeja dan tasnya dan lalu turun dari tangga, bermaksud untuk ke seberang jalan.
Perempuan itu tak percaya pada pandangannya. Kekasihnya ada di seberang jalan dan menuju ke arahnya. Apa yang ia lakukan di sini? Bajunya basah dan sudah berapa lama ia ada di sana?
Lelaki itu telah sampai di depan kekasihnya. Mereka berhadapan kini.
‘Bowo. Apa yang kamu lakukan di sini?’ tanyanya sambil tersenyum tak percaya
‘Aku menunggumu tentunya.’
Menungguku?
‘Untuk apa? Ada apa?
‘Bisa kita bicara di suatu tempat?’
Ada apa ini? Lelakinya lalu membawanya hingga di bawah sebuah pohon Mahoni. Daun-daunnya yang masih basah tergoyang angin hingga meneteskan titik-titik air ke badan mereka. Menciptakan efek hujan kecil untuk mereka.
‘Bowo ada apa?’
Lelaki itu diam sesaat. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam bungkusan coklat.
Perempuan itu menyambut dan membukanya.
‘Ini... setengah hatiku? Mengapa?’
‘Aku tidak bisa membawanya lagi bersamaku.’
‘Mengapa?’wajahnya penuh kecemasan kini
‘Apakah kau masih menyimpan setengah hatiku?’
‘Ya, dan selalu.’tangannya menggenggam erat tasnya seakan ia tidak mau lelaki itu merampasnya.
‘Boleh kuminta kembali?’
‘Bowo! Ada apa ini?’
‘Aku tidak lagi mencintaimu lagi Dewi. Aku mencintai yang lain.’
‘Bowo!’spontan suaranya menjadi serak dan saraf-sarafnya langsung mengirim rangsangan ke otak untuk menciptakan rasa sedih marah, kecewa, dan semua penyesalan secara bersamaan.
‘Aku serius dewi. Aku tidak lagi mencintaimu. Asku bertemu perempuan ini tiga bulan yang lalu dan aku... aku sepertinya mencintai dia. Tidak mencintaimu lagi.’
Perempuan itu mulai menangis kini. Namun air dari dedaunan diatas juga menitik di wajahnya. Tak ada beda kini antara air mata dan hujan.
‘Boleh kuminta setengah hatiku kembali? Aku mengembalikan setengah hatimu ini.’lelaki itu kembali meminta, namun nadanya lebih seperti memohon.
Dalam tangis perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah bungkusan yang kurang lebih sama. Ia menyerahkannya pada lelaki di hadapannya dan mengambil punyanya dengan sangat pelan.
‘Tapi mengapa?’
‘Tidak ada. Tidak ada alasan dalam mencintai kan?’perempuan itu masih menangis.
‘Sudahlah. Kau akan mendapatkan yang lain yanglebih baik dariku. Tangannya menyentuh bahu perepmpuan itu. Namun tidak dingin, tapi hangat dirasakan.
‘Aku pergi dulu.’ Ia ingin mengecup kening perempuan itu namun kontak fisik akan semakin menambah kedekatan dan rasa. Berpidah adalah berpisah tanpa ada rasa lain selain berpisah. Lelaki itu berjalan berbalik arah menjauhi perempuan yang masih diam terpaku dan menangis. Ia menggenggam setengah hati di tangannnya dengan keras dan ia merasakan sakitnya. Lelaki itu tahu kalau ia telah menyakiti perempuan itu. Namun ia akan tetap menyimpan tiga hal untuknya sendiri. Bahwa ia juga sakit meninggalkan dan menyadari kalau ia sangat mencintai perempuan itu. Bahwa tidak ada cinta dan perempuan lain di hatinya. Bahwa hidupnya tinggal 6 bulan lagi karena kanker otak yang selama ini dirahasiakannya dari kekasihnya.
Cerita ini terinspirasi dari judul lagu ‘The Boy Who Murdered Love’ dinyanyikan oleh Diana Vickers.
- Q -
Finished on 25 October 2010
Langganan:
Postingan (Atom)