Rabu, 30 Maret 2011

INSULASI KONSTELASI

Ada rasa resah menyepah di hari yang basah
Perlahan menitik juga ragu untuk ditilik
Berlomba saling mendahului tanpa titah tanpa arah
Melompati satu bintik buram ke lain bintik

Saat itu, terasa ada banyak rasa yang bergejolak hebat (walau terasa penat dan pepat)
Pada tangan kirimu amarah yang tersembur dan tangan kananmu sebuah sangkur
Kini, di hamparan padang penuh semanggi berdaun empat
Aku tersungkur di kaki seekor centaur

- Q -
30 March 2011

Rabu, 23 Maret 2011

Habiskan Makanmu!!

Beberapa hari ini statusku berkisar di antara menghargai, mencoba menghargai diri sendiri maupun menghargai orang lain. Walapun kuakui itu adalah salah satu hal yang paling berat yang harus dilakukan. Berusaha menghargai perasaan orang lain dan tidak menyakitinya, dan aku terlalu sering berlaku demikian. Menyakiti sahabat, teman, bahkan orang-orang yang kusayangi. Walau mungkin kesalahan tidak ada pada diri sendiri atau malah menjadi korban yang disakiti dan berusaha membela diri, namun tetap saja pembenaran dari diri sendiri seringkali tidak diterima oleh orang lain apapun alasannya. Mengesalkankah? Yah, tapi itulah kenyataan.

Dan kali ini aku akan berbagi cerita yang masih ada hubungannya dengan menghargai.

Aku suka makan. Dan siapapun yang dekat denganku pasti akan setuju kalau selera makanku parah. Aku makan banyak, bisa dua atau tiga porsi dari porsi seharusnya. Bahkan seringkali keluarga atau temanku dengan senang hati membagi makanan mereka denganku bila mereka tahu kalau mereka tidak bisa menghabiskannya sendirian. Dan perutku akan dengan senang hati pula menerimanya.
Namun tentu saja perutku bukan tandingan bagi perut juara makan Guinness Book of Record dari Jepang yang sanggup menghabiskan puluhan hotdog atau makanan lainnya dalam waktu yang singkat. Perutku tidak sekaret itu.
Lucunya, badanku masih segitu-gitu juga. Kalaupun bertambah maka itu hanya sebagai pelengkap penderita yang menambah sedikit inci dari keseluruhan bobot tubuh. Mungkin benar kata orang-orang kalau semua makan yang masuk ke perutku itu akan diserap oleh rambutku.

Kembali ke makanan, siapapun tahu kalau dalam makan ada etika yang harus ditaati. Jangan dulu berbicara mengenai table manner ala barat dengan segala sendok, garpu, atau pisau yang berjejer rapi di sisi piring dan mangkuk. Ketentuan mengambil sendok dan pisau yang berbeda bentuk, berurutan dari sisi terluar terus ke dalam mulai dari sendok sup, appetizer, main course, sampai ke dessert. Atau garpu yang berbeda untuk salad dan hidangan lainnya. Atau apakah anda seorang Traditional English atau Traditional America dalam memegang sendok dan garpu? Sungguh, kalau dipikir aku tidak mau terlibat dalam semua kerumitan itu. Bagiku makan dengan sebuah sendok (dan mungkin sebuah garpu) sudah cukup rumit karena praktisnya aku akan sangat senang makan dengan menggunakan tangan langsung menyentuh makanan, setelah cuci tangan tentunya. Karena makan dengan tidak terburu, tidak disambil dengan suara, dan tidak dengan mulut penuh total sudahlah cukup.

Sepuluh tahun yang lalu aku berkenalan dengan seseorang yang mengubah cara pandangku tentang makanan hingga sekarang. Ia adalah seorang pelaku seni yang sering memperkenalkan nama Indonesia ke luar negeri sebagai duta kesenian. Singkatnya, pada suatu malam kami makan bersama. Bukan di tempat yang mewah, hanya jejeran warung di suatu kawasan pusat jajanan yang sudah sangat terkenal di Medan. Aku ingat sekali kalau aku memesan sepiring sate dan ia juga memesan yang sama. Kami lalu bercerita berbagi pengalaman hingga lima belas menit kemudian aku merasa sudah cukup dengan sate di hadapanku. Aku berhenti makan dengan menyisakan dua tusuk sate dan beberapa potongan ketupat di dalamnya. Dan itu adalah seporsi sate yang enak. Percayalah!
Pada saat aku meletakkan sendok, yang kupikirkan adalah aku harus berhenti makan sate itu, karena di dalam diriku aku merasa kalau aku harus menjaga imej di hadapannya, aku tidak boleh terlihat begitu menginginkan makanan itu seperti aku tidak pernah memakannya sebelumnya. Dan aku juga merasa sedikit angkuh, merasa kalau dengan berhenti makan dan menyisakannya sedikit, maka orang di hadapanku akan menyangkaku berlaku layaknya anggota kerajaan, keraton, atau paling tidak orang kaya (karena stereotype orang kaya yang kutahu saat itu dari banyaknya sinetron tak bermutu di Indonesia adalah menyisakan makanan di piring mereka). Hahahaha… pemikiran yang bodoh kan?

Aku tidak menyangka ia akan menampilkan ekspresi terkejut, namun aku salah. Ia menatapku dan bertanya ‘Mengapa tidak dihabiskan makanannya?’ dan aku hanya menjawab ‘Sudah cukup, kenyang.’ Aku berbohong. Dan aku juga tidak dalam posisi sedang diet saat itu. Dia diam, namun kemudian tersenyum. Lalu berkata, ‘Kamu tahu, dulu aku juga seperti kamu. Tidak mau menghabiskan makanan. Dengan banyak alasan di dalamnya.’ Lalu ia bercerita tentang pengalamannya sewaktu pergi ke Swedia atau Finlandia (aku lupa tepatnya). Ia tinggal dengan keluarga angkatnya di sana yang menerimanya dengan sangat baik. Keluarganya itu bahkan yang bersusah payah menyiapkan sahur dan bukaan ketika ia berpuasa, walaupun mereka berbeda keyakinan. Suatu hari, ia dan keluarganya makan di sebuah restoran dan ia tidak menghabiskan makannnya. Ia terdiam ketika ayah angkatnya bertanya mengapa ia tidak menghabiskan makannya? Lalu ayah angkatnya berkata lagi ‘Kau tahu, kalau di sini kita tidak menghabiskan makanan kita bisa kena denda. Mengapa? Karena kita dianggap tidak menghargai. Tidak menghargai yang memasak makanan tersebut, tidak menghargai yang membawa makanan tersebut ke hadapan kita, tidak menghargai tempat di mana kita makan. Dan terutama tidak menghargai makanan itu sendiri. Atau kalau kau merasa repot untuk menghabiskannya, maka pesanlah dalam porsi yang sedikit.’

Cerita tentang teguran ayah angkatnya pada dirinya membuatku merasa tertampar keras. Aku malu sekali. Ia sangat-sangat benar tentang ‘sikap tidak menghargai’ itu. Bila kita menyia-nyiakan makanan berarti kita tidak menghargai orang telah bersusah payah memasaknya untuk kita, menghidangkannya untuk kita, menghargai tempat di mana kita makan, menghargai makanan itu, dan yang paling penting adalah kita tidak menghargai Sang Pencipta yang telah memberikan kita nikmat makan itu sendiri. Terima kasih untuk temanku itu, karena sejak saat itu sampai kini aku selalu berusaha untuk menghabiskan makanan yang ada dihadapanku dan menyebarkan cerita ini ke teman-temanku. Dan aku tidak ragu untuk menegur bila melihat mereka menyia-nyiakan makanan mereka.

Aku ingat kalau Nabi Muhammad juga melarang kita untuk menyia-nyiakan makanan. Masih banyak orang yang tidak seberuntung kita yang bisa makan dengan tenang. Bahkan kalau diperlukan kita harus mencucup sisa makanan yang menempel di jari kita sendiri, hanya untuk mempertegas maksud perkataannya itu. ‘Karena kita tidak bakal tahu darimana berkah Yang Maha Pemberi itu berasal.’
Bisa saja berkah itu malah ada pada sebutir nasi yang tertinggal di piring kita.

- Q -
March 23, 2011

Kamis, 03 Maret 2011

Aku dan Kunta

Kucing. Felis silvestris, hewan ini bukan makhluk asing dalam hidup dan keluargaku. Seingatku, sejak aku berumur dua tahun kami sudah memiliki kucing yang bernama madu. Menurutku, kucing-betina-gendut-belang-tiga-berekor-panjang itu adalah kucing paling jutek sedunia. Ia kerap marah bila didekati dan dipegang bahkan oleh kami majikannya. Tapi pengecualian kalau sedang makan dan dikasih makan. Egois kan!

Selanjutnya ada seekor kucing jantan hitam berekor pajang yang kami namai Pak Keling. Hitam kelatnya semakin sempurna bila ditimpa sinar matahari. Ia juga seekor kucing jagoan yang suka berantam dengan kucing jantan lainnya yang ada di lingkungan kami. Lalu ada si Belang, kucing betina belang tiga lainnya yang berekor pendek, sampai di sini aku lupa bagaimana hubungan kekerabatan dalam keluarga kucing ini. Apakah mereka adalah pribadi tersendiri ataukah induk dan anak satu sama lain? Yang jelas seingatku si Belang lebih muda dari pada si Madu. Baiklah, tinggalkan saja hubungan yang ribet dari mereka, seperti halnya status dalam facebook, sepertinya hubungan yang cocok bagi mereka adalah it’s complicated. Tentu saja perjalanan piara-urus kucing ini belum berhenti pada Madu-Pak Keling-Belang saja. Yang jelas mereka kemudian beranak-pinak membentuk klan sendiri sampai entah berapa generasi. Aku pernah menghitung kalau jumlah dari kucing-kucing itu pernah mencapai 11-15 ekor mulai dari yang tua sampai anak-anaknya yang baru lahir. Dan semuanya menjadi sangat seru kala saat makan tiba, siang atau malam. Begitu mendengar bunyi piring beradu maka mereka semua akan mendekat layaknya tentara di barak yang mendengar tanda saat makan. Namun bedanya, ini jauh lebih riuh bercampur iri untuk mendapatkan jatah lebih dahulu dan lebih banyak. Raungan, cakaran dan gigit-gigitan menghiasi saat–saat makan. Padahal untuk tiap tumpukan nasi yang dicampur ikan dan lain-lainnya itu (kalau tidak mau disebut campuran minyak jelantah juga) mewakili satu ekor kucing yang kurang lebih besar tumpukannya itu sama satu sama lain. Saking banyaknya, kerap tetangga selalu menganggap kucing-kucing liar lain yang beredar di jalanan termasuk ke dalam klan Madu-Pak Keling-Belang juga. Bahkan mereka tanpa ragu menempatkan kucing-kucing tak bertuan itu (atau sebenarnya bertuan tapi mereka tak mau merawatnya) ke rumah kami agar bisa mendapat santunan kasih sayang juga seperti penghuni legal lainnya. Duh... ampun.

Trio Madu-Pak Keling-Belang sendiri mati karena usia tua. Maaf kalau aku tidak mencatat usia terakhir mereka karena satu dan lain hal. Setelah fase kasihan mengasihani, lalu muncullah fase kebosanan. Di fase ini mulailah kami merasakan kebosanan dari memelihara banyak piaraan. Alhamdulillah akhirnya kucing-kucing itu berkurang juga dan habis sendiri karena sebab seperti ajal di usia tua, hilang tak tahu rimba setelah berkelahi (merajuk mungkin), tidak pulang-pulang, atau karena penyakit.

Mengenai tidak pulang seperti bang Toyib ini juga ada cerita tersendiri, kalau dikatakan kucing adalah salah satu pencium jejak yang terbaik walau dari gerakan jauh lebih cepat anjing) aku setuju. Pernah mendengar cerita tentang kucing yang terpisah dari majikannya sampai melewati beberapa Negara Bagian Amerika namun kembali bertemu setelah dua tahun terpisah? Nah cerita itu juga terjadi pada tetanggaku dan aku sendiri. Ceritanya, tetanggaku sudah jenuh pada kucing itu dan membuangnya di di daerah Sei Semayang (kira-kira 40-an km dari tempatku di Medan) namun seminggu kemudian, kucing itu kembali lagi ke depan pintunya. Begitupun dengan salah satu kucingku yang hilang. Walaupun sudah di cari kemana-mana tetap tidak ketemu. Pagi hari seminggu kemudian ia sudah muncul kembali di belakang rumahku dengan tampang kusut dan kurus. Stress mungkin ya karena backpacker sendirian.

Kembali ke fase kebosanan. Sempat terpikir untuk tidak memelihara kucing lagi menghinggapi keluagaku (atau lebih tepatnya ibuku, yang lebih telaten mengurusi mereka hahaha...). Pada waktu sepi kucing di rumahku itulah, entah kenapa muncullah teman kecilku yang juga tetanggaku membawa kucing kecil berwarna kuning yang jorok-dekil-jelek ke rumahku. Ia bahkan membersihkan matanya yang belekan dan menganggap kucing itu cantik (ya ampuuun). Dan aku benci tampang kucing kecil kurus hampir mati itu, namun temanku memaksa ibuku untuk memeliharanya. Ibuku menolak, namun aku juga sedikit kasihan padanya. Walaupun begitu, kucing itu tetap tinggal di sekitar rumahku. Dasar jiwa pengiba, ibuku tetap juga memberinya makan, dan kakakku membersihkannya secara teratur. Akhirnya setelah beberapa lama kucing itupun resmi jadi akar penghuni baru rumahku. Badannya juga mulai berisi walaupun muka tirusnya masih kelihatan. Karena warnanya, abangku memberinya nama Kunta, terdengar seperti nama berbau Jepang walaupun sebenarnya adalah (...ah aku malu menyebutnya). Dan akhirnya ia benar kucing yang cantik. Gendut, bulunya halus berwarna kuning kejinggaan dengan bulu putih di perutnya. Ekornya podol (super pendek) yang membuatnya semakin menggemaskan (kalau menurut salah satu sumber di internet, kucing dengan ekor podol adalah kucing keturunan kucing Jepang, jadi, nama Kunta cocok untuknya kan). Lebih aneh lagi, aku yang tak suka padanya malah kemudian menjadi yang paling dekat dengannya. Kunta adalah kucing betina paling berani yang pernah kumiliki. Ia seperti anjing penjaga rumah yang akan marah bila ada kucing asing yang masuk berkunjung ke dalam rumah, bahkan untuk mengintip saja tidak boleh. Ia tidak segan untuk mengejar kucing jantan hingga lari terbirit-birit dan kembali ke rumah setelah berhasil mengusirnya. Kunta kucing yang pendiam. Ia jarang bersuara bahkan pada saat makan dibagikan. Aku suka memberinya makan ikan yang kugigit di satu ujungnya dan ia akan mengigit ujung lainnya. Kedengarannya seperti berciuman tidak langsung tapi aku tegaskan itu tidak berciuman. Percayalah!
Kunta selalu tidur di kamar, tepatnya di bawah kaki. Dan kalau ia tidur ia selalu mengambil posisi miring ke kanan bukan ke kiri. Mungkin ia merasa tidak nyaman dengan posisi kiri, entahlah. Pengecualian hanya terjadi ketika ia hamil. Walaupun aku suka jahat dengan memindahkannya ke sisi lain kalau tubuhnya mulai mengenai kakiku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau ia kena tamparan kakiku yang suka tidur asal. Satu hal lain yang kuingat adalah, kalau aku sedang berjalan pada pagi hari, maka ia akan mengikuti, kalau perlu berlari mengikuti langkah kaki majikannya yang entah berapa bedanya dalam hitungan dunia kucing.

Hampir dua tahun lalu. Kunta sakit setelah bertarung dengan kucing lain. Kuku kucing lawannya mengenai muka hampir pada matanya. Ia menjadi sangat kurus karena tidak mau atau tidak bisa makan, walaupun di suap. Kalaupun mau, maka itu sangat sedikit. Aku merasa kalau ia makan karena hanya ingin menyenangkan hati kami saja. Seakan mengatakan ‘lihat, aku makan, aku tak apa-apa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.’ Lalu ia hilang, hilang entah kemana. Aku menganggap ia sudah mati. Kucing selalu tahu kalau ajal mereka akan tiba. Tepat pada pagi hari 1 Syawal 1430 Hijriah, ia kembali setelah tiga hari, dan sudah sangat dekat dengan kematian. Pagi itu, ia hanya terbaring tak berdaya lagi, ia tahu kalau aku ada di sampingnya. Mungkin ia memaksakan diri untuk kembali karena ingin berpamitan, padaku, pada keluargaku. Aku memegang tangannya dan ia menggerakkan tangannya sekali dengan pelan seakan melambai. Lalu kemudian diam... Kunta pergi untuk selamanya setelah 18 belas tahun bersama. Lebaran Idul Fitri tahun ini berarti dua tahun kepergiannya. I will remember you Kunta.

- Q -
March 3, 2011

Rabu, 02 Maret 2011

Ini Komikku, Komikmu Apa?

Sangat sulit untuk menentukan komik pertama di dunia. Kalau hanya mau merujuk pada gambar-gambar berseri dan berwarna, maka gambar yang menempel pada Goa Lascaux-lah yang dapat disebut sebagai komik pertama di dunia. Gambar yang berisi kumpulan binatang seperti banteng bison, dan kerbau ini telah ada kurang lebih sejak 17.000 tahun lalu. Selanjutnya ada relief pada dinding piramida di Mesir yang diperkirakan dibuat pada tahun 1300 SM. Gambar yang melekat pada makam raja-raja Mesir tersebut menjadi bukti bahwa pada masa itu manusia sudah mengenal cara berkomunikasi nonverbal. Lalu ada gambar berupa beberapa sosok manusia tengah menggiring kuda yang tertera pada guci dan amphora kuno buatan Ergotimos dan Kleitias dari Yunani yang kira-kira dibuat pada 579 SM. Kalau soal ini, Indonesia juga memilikinya. Seperti gambar babi hutan yang ditemukan di dalam Goa Leang-leng di Sulawesi Selatan atau relief-relief yang yang ditemukan pada candi Candi Borobudur dan Prambanan, yang menggambarkan kehidupan spiritual dan kebudayaan masyarakat kita pada abad pertengahan.

Menurut Roger Sabin, penulis dunia komik yang juga pengajar di sebuah universitas ternama di Inggris, komik cetak pertama yang pernah ada adalah komik yang berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot” karya Francis Barlow, dibuat pada tahun 1682. Tapi pernyatan ini tidak berlangsung lama karena lalu dibantah oleh Eddie Campbell, seorang komikus dan kartunis asal Skotlandia. Menurut Campbell, hasil karya Francis Barlow itu adalah gambar kartun, sama halnya dengan komik karya Rowlandson tahun 1782 yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi. Karya para kartunis itu lebih tepat disebut sebagai gambar yang dinarasikan.

Lalu, di Eropa, pada tahun 1873, seorang komikus berkebangsaan Swiss, Rudolphe Topffer, menyelesaikan pembuatan komiknya yang berjudul ‘The Adventures of Obadiah Oldbuck’. Ia lalu mengklaim komik itu sebagai komik pertama di Eropa, bahkan dunia.
Tapi, Pada tahun 1884, sebuah komik karya Ally Sloper berjudul “Half Holiday” dipublikasikan dan dianggap sebagai komik strip majalah yang paling pertama di dunia. Selanjutnya, pada tahun 1895 lahir terobosan baru di dunia komik, yakni munculnya komik berseri dengan tokoh tetap. Dibuat oleh R.F. Outcault, komik yang berjudul “Hogan`s Alley” itu menjadi sangat populer sehingga meningkatkan pendapatan bagi pemilik koran yang memuatnya. Bahkan “Hogan`s Alley” digadang-gadangkan menjadi penanda awal bangkitnya komik di Amerika.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1896, Richard Felton Outcault meluncurkan buku yang kemudian dianggap sebagai buku komik pertama di dunia. Dalam buku berjudul “The Yellow Kid” itu, Outcault menerapkan inovasi baru yang belum pernah dilakukan oleh komikus pada zaman itu. “The Yellow Kid” kemudian dianggap sebagai titik tolak komik modern dunia, yang kemudian diikuti oleh masa keemasan komik pada tahun 1930-an. Pada masa itu, bermunculanlah karakter komik yang kemudian menjadi legenda sampai sekarang, seperti Flash Gordon (saya masih ingat bagaimana film-nya diputar di TVRI pada waktu saya kecil), Dick Tracy, Tarzan, Superman, hingga Batman dan Captain Marvel.
Sementara di Indonesia, R.A. Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai karirnya dengan mengambil figurin Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh komikus lainnya,diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan Flash Gordon. R.A. Kosasih dengan pintarnya mengambil setting masa dan latar belakang kebudayaan Jawa dalam karya-karyanya. Sementara di Sumatera, khususnya di Medan muncul nama-nama seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn. Perkembangan komik Indonesia sendiri kini berkembang pesat. Sampai sekarang saya masih mengikuti ceritanya Dwi Koendoro di kompas Minggu sampai cerita Beni dan Mice.

Saya sangat menyukai komik dan buku cerita. Buku cerita yang saya baca kali pertama adalah cerita silat Kho Ping Ho yang saya ambil dari koleksi pustaka pribadi ayah saya. Saya masih bisa mengingat bagaimana perasaan ketika membaca komik silat itu, adrenalin yang ikut terpacu seakan saya ikut berada di dalamnya, bagaimana para tokohnya menggunakan inkang dan ginkang, desiran pedang, kebutan senjata dan tongkat, aliran silat Butong Pay, Siaw Lim Pay dan Kunlun Pay, dan menjadi mengerti sedikit sejarah negeri China dan kekaisarannya. Bahkan masih mengingat bagaimana seorang selir cantik bernama Yang Guifei turut berperan dalam pemerintahan karena kaisar yang sangat mencintainya. Kho Ping Ho menggambarkan cerita silat dalam setiap karyanya dengan detil dan mengagumkan tanpa meninggalkan unsur asik di dalamnya, referensinya yang kaya sangat membantu pembaca untuk mengetahui situasi negeri Tirai Bambu pada masa lalu, (padahal ia sama sekali belum pernah mengunjungi negeri leluhurnya itu lho).

Kemudian saya juga diperkenalkan dengan komik negeri barat Donal Bebek dan Bobo yang merupakan adaptasi dari Belanda. Celotehan ramai dari Donal yang acap kali sial dan bertentangan dengan sepupunya, Untung, serta Paman Gober yang selalu menyuruhnya ini itu membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Mengapa bisa ada bebek yang sangat-sangat kaya dan pelit bahkan kepada keponakannya sendiri? Dan Gober beserta partner setianya, keping keberuntungan, kerap menjadi incaran Mimi Hitam yang selalu menjalankan rencananya dari pondoknya di bibir gunung berapi Vesuvius, Italia. Dan Bobo sendiri bagi saya dulu adalah majalah anak-anak yang penuh dengan ilmu dan cerita yang menambah wawasan. Saya tidak suka pada cerita Oki dan Nirmala, apalagi cerita paman janggut, namun cerita itulah sebenarnya yang tak ketinggalan saya baca setiap edisinya. Kini komik Donal Bebek sudah beranak-pinak menjadi banyak, ada cerita tersendiri tentang Paman Gober, Miki bahkan Pluto yang selalu berpetualang. Sedangkan Bobo? Mengapa saya merasa ada yang hilang kalau setiap kali saya melihat majalah ini kini? Saya merasa kalau Bobo yang ada kini bukanlah Bobo yang saya lihat dan ingin saya lihat seperti dulu lagi. atau kini saya yang memang tidak mengikuti jalan pikiran anak-anak sekarang? . Sedangkan untuk kakak-kakak perempuan saya dulu juga ada komik remaja yang berjudul ‘Nina’. Komik lepas ini bercerita tentang banyak hal melalui permasalahan tokohnya, mulai dari cinta, keluarga, sampai hal mistis hiiiy… Saya juga mengikuti cerita komik sisipan dalam majalah-majalah atau surat kabar seperti cerita Roel Djikstra (kalau tidak salah penulisannya) pada Hai atau cerita tantang seorang putri jagoan berambut cepak pada salah satu koran lokal di Medan.

Dan cerita seperti Asterix juga Tintin wartawan berjambul itu juga menghiasi pikiran saya. Saya tak akan lupa dengan sosok mungil cerdas itu - dengan anjingnya yang setia, Snowy, serta kapten Haddock yang selalu mengeluarkan sumpah serapah cacing bulukan dan babonnya ke orang-orang yang menjahilinya - berkeliling dunia bahkan ke luar angkasa untuk menyingkap misteri dan berpetualang membuka imajinasi. Dan saya merasa negeri saya sangat dihargai ketika pada salah satu edisi komik itu mengambil lokasi di Jakarta dan sebuah daerah terpencil di daerah Indonesia Timur, Indonesia - aslinya disebut Sondonesia - I love Tintin.

Di awal 90-an, saya mulai menyukai komik lain. Tenyata cerita silat selalu mengusik pikiran saya. Saya mulai menyukai cerita komik dengan Tony Wong sebagai illustrator atau penulis ceritanya. Cerita jagoan Sembilan Benua dalam Tapak Sakti atau Tiger Wong memenuhi laci saya di rumah. Komik-komik itulah yang menjadi pemicu keinginan saya untuk dapat mengunjungi negeri China satu hari nanti, sebagai pelampiasan atas pertanyaan, bagaimana sih sebenarnya negeri para jagoan kung fu tersebut?

Secara pribadi, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada komikus dan penulis manga Jepang seperti Takeshi Maekawa untuk Kung fu Boy-nya – say sering deg-degan bila Chinmi bertarung menggunakan kungfu kuil Dairin-nya dengan lawan yang berbadan jauh lebih besar darinya -, Momoko Sakura untuk Chibi Maruko Chan-nya dan tentu saja Fujiko F. Fujio. Fujiko F. Fujio menurut saya adalah seorang jenius yang memiliki banyak ide untuk dituangkan dalam kertas. Setiap saya membaca serial Doraemon saya selalu tersnyum sendiri atau bahkan ngakak di tempat, dan sering saya melakukannya pada saat saya sedang membaca komik itu sambil berdiri di rak buku salah satu toko buku besar ternama, tanpa peduli pada orang lain yang ada di sekeliling saya. Saya merasa terbebaskan dengannya. Kalau saya punya teman seperti Doraemon, ia sudah pasti saya kuras habis-habisan.

Jadi, itu adalah komik saya. Komikmu apa? 