Hujan sore itu cukup deras namun lelaki itu tidak bergerak. Dia hanya diam saja. Diam dan duduk menunggu di anak tangga di luar sebuah plaza. Orang-orang yang menunggu hujan reda dan yang berlalu lalang hanya melihat padanya dan terkadang mereka berbisik tentang keadaannya. Dia pasti gila. Itu yang ada dalam pikiran mereka. Dua tiga kali anak-anak penjaja sewa payung datang padanya dan menawarkan jasa mereka namun ia hanya diam saja tanpa mempedulikan mereka. Wajahnya menatap kosong ke depan seperti tanpa ekspresi. Hingga akhirnya anak-anak itu pergi meninggalkannya sendiri seperti sebelumnya dan berpikiran sama seperti orang kebanyakan lainnya. Dia pasti telah gila. Badannya sudah kuyub membuat t-shirt biru, bertuliskan ‘the circle of my heart’di dada, yang dikenakannya semakin biru karena hujan, sementara kemeja serta sebuah tas sandang yang sebelumnya dikenakannya terletak pada anak tangga yang lebih tinggi darinya dan sedikit terlindung dari hujan walau tak luput dari basah. Awan masih menumpahkan airnya ke bumi, namun ia tetap tak mau beranjak seperti pantatnya telah terpaku di sana, wajahnya telah pucat dan bibirnya telah bergetar menahan dingin. Pada tangan kirinya ia menggenggam sesuatu, sebuah benda yang terbungkus sebuah kertas coklat dengan lapisan plastik.
Perempuan itu melihat ke arah jam, hanya butuh sedikit waktu lagi untuknya menyelesaikan kerjaannya dan setelahnya ia dapat pulang. Dalam pikirannya ia sudah membayangkan kalau nanti malam ia akan bersama dengan kekasihnya ke suatu tempat dan menikmati malam bersama, tentu saja ia berharap hujan akan reda dan malam akan cerah berbintang setelahnya.
Lelaki itu masih menunggu di tangga. Ia mnenengadah ke langit dan melihat awan sudah mulai terang namun hujan masih deras mengucur. Ia melihat ke depan dan seakan berharap sesuatu muncul di hadapannya. Ia melihat ke arah jam tangannya. Seharusnya ini sudah waktunya. Bibirnya masih gemetar.
Pekerjaannya sudah selesai. Perempuan itu masih menunggu di depan gedung tempatnya bekerja. Ia berencana akan naik di taksi dari depan plaza di dekat gedungnya seperti yang selalu dilakukannya. Hujan sudah reda, sepertinya ia akan keluar. Ia menunggu lima menit lagi.
Hujan telah reda. Lelaki itu masih menunggu. Seharusnya sekarang pikirnya. Berbasah-basahan dengan memakai baju ternyata lebih dingin dari tidak memakai baju sama sekali.
Perempuan itu telah keluar dari gedungnya. Ia hanya perlu berjalan melewati dua gedung hingga ke depan sebuah plaza. Karena banyak taksi yang mangkal di sana.
Lelaki itu menajamkan pandangan ke depan. Apa yang ditunggunya selama ini telah datang. Ia mengambil kemeja dan tasnya dan lalu turun dari tangga, bermaksud untuk ke seberang jalan.
Perempuan itu tak percaya pada pandangannya. Kekasihnya ada di seberang jalan dan menuju ke arahnya. Apa yang ia lakukan di sini? Bajunya basah dan sudah berapa lama ia ada di sana?
Lelaki itu telah sampai di depan kekasihnya. Mereka berhadapan kini.
‘Bowo. Apa yang kamu lakukan di sini?’ tanyanya sambil tersenyum tak percaya
‘Aku menunggumu tentunya.’
Menungguku?
‘Untuk apa? Ada apa?
‘Bisa kita bicara di suatu tempat?’
Ada apa ini? Lelakinya lalu membawanya hingga di bawah sebuah pohon Mahoni. Daun-daunnya yang masih basah tergoyang angin hingga meneteskan titik-titik air ke badan mereka. Menciptakan efek hujan kecil untuk mereka.
‘Bowo ada apa?’
Lelaki itu diam sesaat. Ia mengulurkan tangannya yang menggenggam bungkusan coklat.
Perempuan itu menyambut dan membukanya.
‘Ini... setengah hatiku? Mengapa?’
‘Aku tidak bisa membawanya lagi bersamaku.’
‘Mengapa?’wajahnya penuh kecemasan kini
‘Apakah kau masih menyimpan setengah hatiku?’
‘Ya, dan selalu.’tangannya menggenggam erat tasnya seakan ia tidak mau lelaki itu merampasnya.
‘Boleh kuminta kembali?’
‘Bowo! Ada apa ini?’
‘Aku tidak lagi mencintaimu lagi Dewi. Aku mencintai yang lain.’
‘Bowo!’spontan suaranya menjadi serak dan saraf-sarafnya langsung mengirim rangsangan ke otak untuk menciptakan rasa sedih marah, kecewa, dan semua penyesalan secara bersamaan.
‘Aku serius dewi. Aku tidak lagi mencintaimu. Asku bertemu perempuan ini tiga bulan yang lalu dan aku... aku sepertinya mencintai dia. Tidak mencintaimu lagi.’
Perempuan itu mulai menangis kini. Namun air dari dedaunan diatas juga menitik di wajahnya. Tak ada beda kini antara air mata dan hujan.
‘Boleh kuminta setengah hatiku kembali? Aku mengembalikan setengah hatimu ini.’lelaki itu kembali meminta, namun nadanya lebih seperti memohon.
Dalam tangis perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah bungkusan yang kurang lebih sama. Ia menyerahkannya pada lelaki di hadapannya dan mengambil punyanya dengan sangat pelan.
‘Tapi mengapa?’
‘Tidak ada. Tidak ada alasan dalam mencintai kan?’perempuan itu masih menangis.
‘Sudahlah. Kau akan mendapatkan yang lain yanglebih baik dariku. Tangannya menyentuh bahu perepmpuan itu. Namun tidak dingin, tapi hangat dirasakan.
‘Aku pergi dulu.’ Ia ingin mengecup kening perempuan itu namun kontak fisik akan semakin menambah kedekatan dan rasa. Berpidah adalah berpisah tanpa ada rasa lain selain berpisah. Lelaki itu berjalan berbalik arah menjauhi perempuan yang masih diam terpaku dan menangis. Ia menggenggam setengah hati di tangannnya dengan keras dan ia merasakan sakitnya. Lelaki itu tahu kalau ia telah menyakiti perempuan itu. Namun ia akan tetap menyimpan tiga hal untuknya sendiri. Bahwa ia juga sakit meninggalkan dan menyadari kalau ia sangat mencintai perempuan itu. Bahwa tidak ada cinta dan perempuan lain di hatinya. Bahwa hidupnya tinggal 6 bulan lagi karena kanker otak yang selama ini dirahasiakannya dari kekasihnya.
Cerita ini terinspirasi dari judul lagu ‘The Boy Who Murdered Love’ dinyanyikan oleh Diana Vickers.
- Q -
Finished on 25 October 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar