Pada malam saya akan berangkat ke Mentawai menggunakan Fery KM Ambu-Ambu saya sudah merasakan ada sesuatu yang akan terjadi. Mengapa? Karena ketua rombongan saya yang sudah beberapa kali bolak-balik Padang-Mentawai terus saja berjalan melintasi dermaga untuk memasuki kapal padahal saat itu pintu kapal masih tutup. Dan benar saja, kami masuk ke dalam kapal melalui jendela besar di dinding kapal yang ternyata di dalamnya Ya Allah... tempat yang seharusnya hanya diisi dengan kendaraan penumpang, kini penuh dengan, tidak saja kendaraan, namun juga ayam, kardus-kardus segala makanan dan minuman, mie instan, sayuran, telur, dan banyak lagi. Dan dengan terpaksa kami pijak dan langkahi hanya untuk naik ke atas kapal. Saya merasa menyesal namun itulah tidak mungkin menyingkirkan satu persatu barang tersebut dan setiap penumpang melakukan hal yang sama seperti yang kami lakukan. Tidak terpikir lagi body kendaraan yang penyok, lampu yang pecah, atau lainnya, yang jelas setiap dari penumpang harus dapat naik.
Di atas ternyata penumpang sudah berjubel bahkan sampai ke setiap sudut lantai. Rombongan kami yang sedari awal tidak dapat jatah kamar karena habis dipesan akhirnya harus terus mengikuti ketua rombongan yang terus naik ke atas, ke atas, dan akhirnya sampai ke HAH!!! Dek luar di atas kapal. Dan disitulah kami harus berpuas diri. Harapan saya malam itu hanya satu, jangan hujan.
Namun semua doa itu gagal, karena akhirnya hujanpun turun pada jam 03:00 WIB.
'Dek Titanic' begitulah saya menyebutnya. Dan semua tempat telah terisi. |
Semua penumpang yang ada langsung bereaksi, berdiri dari tidurnya dan langsung merapat menghindari hujan. Sementara saya? Saya yang semula sudah sedikit terlena dan bersyukur karena perjuangan untuk menahan rasa pusing karena goyangan kapal sedikit terobati kini harus menambah lapisan tenaga dalam untuk menahan serangan angin dan hujan yang mengucur deras, namun akhirnya... saya menyerah, saya menumpahkan semua isi yang ada dalam operut saya setelah 'tersugesti' penumpang lainnya yang sudah 'menumpahkan isi perut mereka' duluan.
KM Ambu-Ambu akhirnya merapat pada pukul 06:30 WIB di Tua Pejat, ibukota Mentawai. Setelah sebagian kerjaan selesai, barulah saya bisa sedikit bersantai dengan melihat sebagian kecil dari salah satu pulau terluar Indonesia itu
dan saya berjalan-jalan, melintasi pelabuhan Fery,
Melihat anak-anak berenang,
Setiap kali saya mencoba mengambil gambar pada saat mereka terjun bebas saya selalu gagal :P |
Melihat penduduk lokal lengkap dengan topi tradisionalnya bersampan,
Melintasi kota
Pasar tradisional,
melihat nelayan menarik sampan,
melintasi jalan pedesaan,
melintasi pantai,
hingga kemudian mata saya melihat sesuatu...
KIMO!! Saya ingat salah satu teman saya yang menitip Kimo/Kima ini. I found it, now you can envy me Jo Simanjuntak! :P |
That's me. Doing... eeeengggg nothing :P |
Dan setiap perjalanan harus berakhir. Aku harus kembali esok harinya, kali ini melalui udara. Mungkin karena anggota yang lain trauma bila harus mengalami perjalanan dengan Fery lagi.
Bandar udara Rokot Sipora berada jauh dari Tua Pejat. Akses darat menuju tempat itu sangat terbatas dan hanya bisa dilalui dengan sepeda motor karena medannya yang berat. Untuk itu jalan tercepat adalah memutar melalui laut. Perjalanan menyeberang ini memakan waktu 45 menit sampai 1 jam, namun pemandangannya juga tak kalah indahnya.
Pelabuhan Rokot |
Dan pesawatpun akhirnya tiba dan bersiap membawaku kembali menyeberang lautan menuju Padang selama 1 jam ke depan.
One thing for sure, Mentawai is a beautiful place. Indeed.