Drupadi
Atas darah dalam nadi
Ada saat aku rela
Berbagi lelaki yang sama
Tergilir dan merasa
Pada nafsu yang berbeda
Basa dan asam
Membalur kulit dalam ketukan diam
Kala kau menghela dirinya
Aku justru mengeja tubuhnya
Drupadi
Sesalku menari
Saat aku kecewa atas apa yang kau rasa
ketika ia yang merasa berkuasa
Menaruhmu sebagai taruhan
dan yakin atas jawaban
Aku marah, marah yang terbakar
Marah yang menyebar, marah yang menyambar
Pada sumpah yang sama
Ku tahu api lahirmu mengerang meliuk nestapa
namun tak satupun berjaga,
Lekukmu, rambutmu, lepas jelas terbaca
kau terbudak
Walau berkata tidak
Sumpahku atas mata suci lotusmu
menyalahkanmu atas dunia yang gila dan semu,
seperti mencupang perih berbau langu
meski jiwamu dan ku layaknya satu
tapi Drupadi aku tak sepertimu,
tak mau hidup dalam aturan dadu
Aku Śikhaṇḍin
Seharusnyalah padaku kau berbagi ingin
Kan kucabut Pasopati lebih cepat dari Arjuna sendiri
Membenamnya di jantung lelaki tak berperi
Dengan tega
Tanpa paksa
Aku rela
Demi darah yang sama
Bisma adalah perih awalku
Dendam Amba pencecapku
Aku Śikhaṇḍin,
Atas niatku menyengaja frigid dan dingin
itulah aku
Panahku jantungku, murkaku sekaratmu
Aku adalah dewa yang berbagi ego,
Bertolak pikir dalam skala makro
Aku adalah dewi yang mengekor emosi
Karena aku… androgini sejati
- Q - 10082011
Rabu, 10 Agustus 2011
Senin, 08 Agustus 2011
Kabar dari Seberang
Hari ini, senin, 8 Agustus 2011, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1432 H. Entahlah, sedari pagi instingku bergetar aktif. Aku merasa sangat tidak enak mengenai hari ini, namun tidak taghu bakal bertemu dengan apa. Dan rasa itu terbawa hingga ke tempat kerja. Seperti meriang, tapi sebagian dari diriku menolak untuk merasa meriang. ‘Aku baik-baik saja’, katanya. Tapi tidak, aku merasa tidak baik-baik saja. Sebuah koran ibukota terbitan kemarin menggeletak di meja depan, iseng aku membacanya, mencoba mencari referensi film terbaru yang beredar. Sebah film horor terbitan Thailand menggugah diri. Aku berada di kota Padang, kota ini tidak seperti kota tetangganya, kota kelahiranku, Medan, yang bersedia menawarkan banyak film apapun yang kumau, baik versi original apalagi bajakan. Ladda Land, sepertinya film itu cukup menjadi referensi tontonan buatku kalau aku pulang nanti. Aku berencana untuk memesannya lewat teman yang ada di Medan. Yang aku tahu dan yakin ia sama gilanya denganku kalau berbicara soal film. Aku berniat untuk menyuruhnya mencarikan versi DVD dari film tersebut. Aku memutar telepon dan menunggu jawaban darinya.
‘Assalamu’alaikum ki.’
‘Kau dah pulang kerja?’ tanyaku,
‘Aku gak kerja hari ini ki…’ belum sempat aku bertanya ada apa ia melanjutkan, ‘… kelingkingku putus pagi tadi, jadi diamputasi.’
Dasss!! Astaghfirullah Aku terdiam sesaat, darahku berdesir. Mungkinkah…
‘Kenapa?’ hanya itu tanyaku dan aku tak sempat untuk berpikir pertanyaan yang lebih baik lagi.
‘Tadi pagi di tempat kerja kelingkingku terkena mesin.’
‘Tak bisakah disambung lagi?’ dalam pikiran singkatku, tulang jari masih memungkinkan disambung lagi kalau putus.
‘Tidak, tulangnya sudah remuk. Jadi harus diamputasi.’
Kembali darahku berdesir, jahatnya pikiranku langsung membayangkan dirinya dengan kelingking yang hilang. Namun ia seperti membaca pikiranku,
‘Yah, sekitar satu ruaslah.’ Aku tak tahu apakah harus bersyukur atau tidak. Ini kabar yang sangat tidak enak buat dirinya. Dalam hatiku aku terus menyebut nama Tuhan walaupun kejadiannya tidak pada diriku. Ingin aku histeris, ingin lidahku berkata banyak hal tapi yang keluar…
‘Ya udah, istirahatlah.’ Sungguh sebuah kalimat yang kurasa tidak tepat sasaran. Tapi alu harus bilang apa lagi? Aku tahu kalau aku harus berkata semoga cepat sembuh maka aku berbohong, jarinya tidak seperti ekor cicak yang bisa tumbuh lagi dengan sendirinya. Ia tahu itu, aku juga tahu. Dan pastinya ia juga melakukan pengobatan agar lukanya cepat kering.
Ya Allah, inikah tanda firasatku sedari pagi itu? Ia sahabatku, sahabat terlamaku yang kukenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setelah percakapan di telepon itu aku hanya memikirkan dirinya. Ini cobaan untuknya di bulan Ramadhan, Allah sayang padanya. Aku berharap semua tidak akan terasa berbeda dengan kejadian hari ini.
Wahai sahabat, bersabarlah karenanya.
- 8 Agustus 2011 -
‘Assalamu’alaikum ki.’
‘Kau dah pulang kerja?’ tanyaku,
‘Aku gak kerja hari ini ki…’ belum sempat aku bertanya ada apa ia melanjutkan, ‘… kelingkingku putus pagi tadi, jadi diamputasi.’
Dasss!! Astaghfirullah Aku terdiam sesaat, darahku berdesir. Mungkinkah…
‘Kenapa?’ hanya itu tanyaku dan aku tak sempat untuk berpikir pertanyaan yang lebih baik lagi.
‘Tadi pagi di tempat kerja kelingkingku terkena mesin.’
‘Tak bisakah disambung lagi?’ dalam pikiran singkatku, tulang jari masih memungkinkan disambung lagi kalau putus.
‘Tidak, tulangnya sudah remuk. Jadi harus diamputasi.’
Kembali darahku berdesir, jahatnya pikiranku langsung membayangkan dirinya dengan kelingking yang hilang. Namun ia seperti membaca pikiranku,
‘Yah, sekitar satu ruaslah.’ Aku tak tahu apakah harus bersyukur atau tidak. Ini kabar yang sangat tidak enak buat dirinya. Dalam hatiku aku terus menyebut nama Tuhan walaupun kejadiannya tidak pada diriku. Ingin aku histeris, ingin lidahku berkata banyak hal tapi yang keluar…
‘Ya udah, istirahatlah.’ Sungguh sebuah kalimat yang kurasa tidak tepat sasaran. Tapi alu harus bilang apa lagi? Aku tahu kalau aku harus berkata semoga cepat sembuh maka aku berbohong, jarinya tidak seperti ekor cicak yang bisa tumbuh lagi dengan sendirinya. Ia tahu itu, aku juga tahu. Dan pastinya ia juga melakukan pengobatan agar lukanya cepat kering.
Ya Allah, inikah tanda firasatku sedari pagi itu? Ia sahabatku, sahabat terlamaku yang kukenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setelah percakapan di telepon itu aku hanya memikirkan dirinya. Ini cobaan untuknya di bulan Ramadhan, Allah sayang padanya. Aku berharap semua tidak akan terasa berbeda dengan kejadian hari ini.
Wahai sahabat, bersabarlah karenanya.
- 8 Agustus 2011 -
Langganan:
Postingan (Atom)