Hari ini, senin, 8 Agustus 2011, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1432 H. Entahlah, sedari pagi instingku bergetar aktif. Aku merasa sangat tidak enak mengenai hari ini, namun tidak taghu bakal bertemu dengan apa. Dan rasa itu terbawa hingga ke tempat kerja. Seperti meriang, tapi sebagian dari diriku menolak untuk merasa meriang. ‘Aku baik-baik saja’, katanya. Tapi tidak, aku merasa tidak baik-baik saja. Sebuah koran ibukota terbitan kemarin menggeletak di meja depan, iseng aku membacanya, mencoba mencari referensi film terbaru yang beredar. Sebah film horor terbitan Thailand menggugah diri. Aku berada di kota Padang, kota ini tidak seperti kota tetangganya, kota kelahiranku, Medan, yang bersedia menawarkan banyak film apapun yang kumau, baik versi original apalagi bajakan. Ladda Land, sepertinya film itu cukup menjadi referensi tontonan buatku kalau aku pulang nanti. Aku berencana untuk memesannya lewat teman yang ada di Medan. Yang aku tahu dan yakin ia sama gilanya denganku kalau berbicara soal film. Aku berniat untuk menyuruhnya mencarikan versi DVD dari film tersebut. Aku memutar telepon dan menunggu jawaban darinya.
‘Assalamu’alaikum ki.’
‘Kau dah pulang kerja?’ tanyaku,
‘Aku gak kerja hari ini ki…’ belum sempat aku bertanya ada apa ia melanjutkan, ‘… kelingkingku putus pagi tadi, jadi diamputasi.’
Dasss!! Astaghfirullah Aku terdiam sesaat, darahku berdesir. Mungkinkah…
‘Kenapa?’ hanya itu tanyaku dan aku tak sempat untuk berpikir pertanyaan yang lebih baik lagi.
‘Tadi pagi di tempat kerja kelingkingku terkena mesin.’
‘Tak bisakah disambung lagi?’ dalam pikiran singkatku, tulang jari masih memungkinkan disambung lagi kalau putus.
‘Tidak, tulangnya sudah remuk. Jadi harus diamputasi.’
Kembali darahku berdesir, jahatnya pikiranku langsung membayangkan dirinya dengan kelingking yang hilang. Namun ia seperti membaca pikiranku,
‘Yah, sekitar satu ruaslah.’ Aku tak tahu apakah harus bersyukur atau tidak. Ini kabar yang sangat tidak enak buat dirinya. Dalam hatiku aku terus menyebut nama Tuhan walaupun kejadiannya tidak pada diriku. Ingin aku histeris, ingin lidahku berkata banyak hal tapi yang keluar…
‘Ya udah, istirahatlah.’ Sungguh sebuah kalimat yang kurasa tidak tepat sasaran. Tapi alu harus bilang apa lagi? Aku tahu kalau aku harus berkata semoga cepat sembuh maka aku berbohong, jarinya tidak seperti ekor cicak yang bisa tumbuh lagi dengan sendirinya. Ia tahu itu, aku juga tahu. Dan pastinya ia juga melakukan pengobatan agar lukanya cepat kering.
Ya Allah, inikah tanda firasatku sedari pagi itu? Ia sahabatku, sahabat terlamaku yang kukenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Setelah percakapan di telepon itu aku hanya memikirkan dirinya. Ini cobaan untuknya di bulan Ramadhan, Allah sayang padanya. Aku berharap semua tidak akan terasa berbeda dengan kejadian hari ini.
Wahai sahabat, bersabarlah karenanya.
- 8 Agustus 2011 -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar