Rabu, 02 Maret 2011

Ini Komikku, Komikmu Apa?

Sangat sulit untuk menentukan komik pertama di dunia. Kalau hanya mau merujuk pada gambar-gambar berseri dan berwarna, maka gambar yang menempel pada Goa Lascaux-lah yang dapat disebut sebagai komik pertama di dunia. Gambar yang berisi kumpulan binatang seperti banteng bison, dan kerbau ini telah ada kurang lebih sejak 17.000 tahun lalu. Selanjutnya ada relief pada dinding piramida di Mesir yang diperkirakan dibuat pada tahun 1300 SM. Gambar yang melekat pada makam raja-raja Mesir tersebut menjadi bukti bahwa pada masa itu manusia sudah mengenal cara berkomunikasi nonverbal. Lalu ada gambar berupa beberapa sosok manusia tengah menggiring kuda yang tertera pada guci dan amphora kuno buatan Ergotimos dan Kleitias dari Yunani yang kira-kira dibuat pada 579 SM. Kalau soal ini, Indonesia juga memilikinya. Seperti gambar babi hutan yang ditemukan di dalam Goa Leang-leng di Sulawesi Selatan atau relief-relief yang yang ditemukan pada candi Candi Borobudur dan Prambanan, yang menggambarkan kehidupan spiritual dan kebudayaan masyarakat kita pada abad pertengahan.

Menurut Roger Sabin, penulis dunia komik yang juga pengajar di sebuah universitas ternama di Inggris, komik cetak pertama yang pernah ada adalah komik yang berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot” karya Francis Barlow, dibuat pada tahun 1682. Tapi pernyatan ini tidak berlangsung lama karena lalu dibantah oleh Eddie Campbell, seorang komikus dan kartunis asal Skotlandia. Menurut Campbell, hasil karya Francis Barlow itu adalah gambar kartun, sama halnya dengan komik karya Rowlandson tahun 1782 yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi. Karya para kartunis itu lebih tepat disebut sebagai gambar yang dinarasikan.

Lalu, di Eropa, pada tahun 1873, seorang komikus berkebangsaan Swiss, Rudolphe Topffer, menyelesaikan pembuatan komiknya yang berjudul ‘The Adventures of Obadiah Oldbuck’. Ia lalu mengklaim komik itu sebagai komik pertama di Eropa, bahkan dunia.
Tapi, Pada tahun 1884, sebuah komik karya Ally Sloper berjudul “Half Holiday” dipublikasikan dan dianggap sebagai komik strip majalah yang paling pertama di dunia. Selanjutnya, pada tahun 1895 lahir terobosan baru di dunia komik, yakni munculnya komik berseri dengan tokoh tetap. Dibuat oleh R.F. Outcault, komik yang berjudul “Hogan`s Alley” itu menjadi sangat populer sehingga meningkatkan pendapatan bagi pemilik koran yang memuatnya. Bahkan “Hogan`s Alley” digadang-gadangkan menjadi penanda awal bangkitnya komik di Amerika.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1896, Richard Felton Outcault meluncurkan buku yang kemudian dianggap sebagai buku komik pertama di dunia. Dalam buku berjudul “The Yellow Kid” itu, Outcault menerapkan inovasi baru yang belum pernah dilakukan oleh komikus pada zaman itu. “The Yellow Kid” kemudian dianggap sebagai titik tolak komik modern dunia, yang kemudian diikuti oleh masa keemasan komik pada tahun 1930-an. Pada masa itu, bermunculanlah karakter komik yang kemudian menjadi legenda sampai sekarang, seperti Flash Gordon (saya masih ingat bagaimana film-nya diputar di TVRI pada waktu saya kecil), Dick Tracy, Tarzan, Superman, hingga Batman dan Captain Marvel.
Sementara di Indonesia, R.A. Kosasih, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia, memulai karirnya dengan mengambil figurin Wonder Woman menjadi pahlawan wanita bernama Sri Asih. Terdapat banyak lagi karakter pahlawan super yang diciptakan oleh komikus lainnya,diantaranya adalah Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih and Kapten Comet, yang mendapatkan inspirasi dari Superman dan petualangan Flash Gordon. R.A. Kosasih dengan pintarnya mengambil setting masa dan latar belakang kebudayaan Jawa dalam karya-karyanya. Sementara di Sumatera, khususnya di Medan muncul nama-nama seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn. Perkembangan komik Indonesia sendiri kini berkembang pesat. Sampai sekarang saya masih mengikuti ceritanya Dwi Koendoro di kompas Minggu sampai cerita Beni dan Mice.

Saya sangat menyukai komik dan buku cerita. Buku cerita yang saya baca kali pertama adalah cerita silat Kho Ping Ho yang saya ambil dari koleksi pustaka pribadi ayah saya. Saya masih bisa mengingat bagaimana perasaan ketika membaca komik silat itu, adrenalin yang ikut terpacu seakan saya ikut berada di dalamnya, bagaimana para tokohnya menggunakan inkang dan ginkang, desiran pedang, kebutan senjata dan tongkat, aliran silat Butong Pay, Siaw Lim Pay dan Kunlun Pay, dan menjadi mengerti sedikit sejarah negeri China dan kekaisarannya. Bahkan masih mengingat bagaimana seorang selir cantik bernama Yang Guifei turut berperan dalam pemerintahan karena kaisar yang sangat mencintainya. Kho Ping Ho menggambarkan cerita silat dalam setiap karyanya dengan detil dan mengagumkan tanpa meninggalkan unsur asik di dalamnya, referensinya yang kaya sangat membantu pembaca untuk mengetahui situasi negeri Tirai Bambu pada masa lalu, (padahal ia sama sekali belum pernah mengunjungi negeri leluhurnya itu lho).

Kemudian saya juga diperkenalkan dengan komik negeri barat Donal Bebek dan Bobo yang merupakan adaptasi dari Belanda. Celotehan ramai dari Donal yang acap kali sial dan bertentangan dengan sepupunya, Untung, serta Paman Gober yang selalu menyuruhnya ini itu membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Mengapa bisa ada bebek yang sangat-sangat kaya dan pelit bahkan kepada keponakannya sendiri? Dan Gober beserta partner setianya, keping keberuntungan, kerap menjadi incaran Mimi Hitam yang selalu menjalankan rencananya dari pondoknya di bibir gunung berapi Vesuvius, Italia. Dan Bobo sendiri bagi saya dulu adalah majalah anak-anak yang penuh dengan ilmu dan cerita yang menambah wawasan. Saya tidak suka pada cerita Oki dan Nirmala, apalagi cerita paman janggut, namun cerita itulah sebenarnya yang tak ketinggalan saya baca setiap edisinya. Kini komik Donal Bebek sudah beranak-pinak menjadi banyak, ada cerita tersendiri tentang Paman Gober, Miki bahkan Pluto yang selalu berpetualang. Sedangkan Bobo? Mengapa saya merasa ada yang hilang kalau setiap kali saya melihat majalah ini kini? Saya merasa kalau Bobo yang ada kini bukanlah Bobo yang saya lihat dan ingin saya lihat seperti dulu lagi. atau kini saya yang memang tidak mengikuti jalan pikiran anak-anak sekarang? . Sedangkan untuk kakak-kakak perempuan saya dulu juga ada komik remaja yang berjudul ‘Nina’. Komik lepas ini bercerita tentang banyak hal melalui permasalahan tokohnya, mulai dari cinta, keluarga, sampai hal mistis hiiiy… Saya juga mengikuti cerita komik sisipan dalam majalah-majalah atau surat kabar seperti cerita Roel Djikstra (kalau tidak salah penulisannya) pada Hai atau cerita tantang seorang putri jagoan berambut cepak pada salah satu koran lokal di Medan.

Dan cerita seperti Asterix juga Tintin wartawan berjambul itu juga menghiasi pikiran saya. Saya tak akan lupa dengan sosok mungil cerdas itu - dengan anjingnya yang setia, Snowy, serta kapten Haddock yang selalu mengeluarkan sumpah serapah cacing bulukan dan babonnya ke orang-orang yang menjahilinya - berkeliling dunia bahkan ke luar angkasa untuk menyingkap misteri dan berpetualang membuka imajinasi. Dan saya merasa negeri saya sangat dihargai ketika pada salah satu edisi komik itu mengambil lokasi di Jakarta dan sebuah daerah terpencil di daerah Indonesia Timur, Indonesia - aslinya disebut Sondonesia - I love Tintin.

Di awal 90-an, saya mulai menyukai komik lain. Tenyata cerita silat selalu mengusik pikiran saya. Saya mulai menyukai cerita komik dengan Tony Wong sebagai illustrator atau penulis ceritanya. Cerita jagoan Sembilan Benua dalam Tapak Sakti atau Tiger Wong memenuhi laci saya di rumah. Komik-komik itulah yang menjadi pemicu keinginan saya untuk dapat mengunjungi negeri China satu hari nanti, sebagai pelampiasan atas pertanyaan, bagaimana sih sebenarnya negeri para jagoan kung fu tersebut?

Secara pribadi, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada komikus dan penulis manga Jepang seperti Takeshi Maekawa untuk Kung fu Boy-nya – say sering deg-degan bila Chinmi bertarung menggunakan kungfu kuil Dairin-nya dengan lawan yang berbadan jauh lebih besar darinya -, Momoko Sakura untuk Chibi Maruko Chan-nya dan tentu saja Fujiko F. Fujio. Fujiko F. Fujio menurut saya adalah seorang jenius yang memiliki banyak ide untuk dituangkan dalam kertas. Setiap saya membaca serial Doraemon saya selalu tersnyum sendiri atau bahkan ngakak di tempat, dan sering saya melakukannya pada saat saya sedang membaca komik itu sambil berdiri di rak buku salah satu toko buku besar ternama, tanpa peduli pada orang lain yang ada di sekeliling saya. Saya merasa terbebaskan dengannya. Kalau saya punya teman seperti Doraemon, ia sudah pasti saya kuras habis-habisan.

Jadi, itu adalah komik saya. Komikmu apa? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar