Kamis, 03 Maret 2011

Aku dan Kunta

Kucing. Felis silvestris, hewan ini bukan makhluk asing dalam hidup dan keluargaku. Seingatku, sejak aku berumur dua tahun kami sudah memiliki kucing yang bernama madu. Menurutku, kucing-betina-gendut-belang-tiga-berekor-panjang itu adalah kucing paling jutek sedunia. Ia kerap marah bila didekati dan dipegang bahkan oleh kami majikannya. Tapi pengecualian kalau sedang makan dan dikasih makan. Egois kan!

Selanjutnya ada seekor kucing jantan hitam berekor pajang yang kami namai Pak Keling. Hitam kelatnya semakin sempurna bila ditimpa sinar matahari. Ia juga seekor kucing jagoan yang suka berantam dengan kucing jantan lainnya yang ada di lingkungan kami. Lalu ada si Belang, kucing betina belang tiga lainnya yang berekor pendek, sampai di sini aku lupa bagaimana hubungan kekerabatan dalam keluarga kucing ini. Apakah mereka adalah pribadi tersendiri ataukah induk dan anak satu sama lain? Yang jelas seingatku si Belang lebih muda dari pada si Madu. Baiklah, tinggalkan saja hubungan yang ribet dari mereka, seperti halnya status dalam facebook, sepertinya hubungan yang cocok bagi mereka adalah it’s complicated. Tentu saja perjalanan piara-urus kucing ini belum berhenti pada Madu-Pak Keling-Belang saja. Yang jelas mereka kemudian beranak-pinak membentuk klan sendiri sampai entah berapa generasi. Aku pernah menghitung kalau jumlah dari kucing-kucing itu pernah mencapai 11-15 ekor mulai dari yang tua sampai anak-anaknya yang baru lahir. Dan semuanya menjadi sangat seru kala saat makan tiba, siang atau malam. Begitu mendengar bunyi piring beradu maka mereka semua akan mendekat layaknya tentara di barak yang mendengar tanda saat makan. Namun bedanya, ini jauh lebih riuh bercampur iri untuk mendapatkan jatah lebih dahulu dan lebih banyak. Raungan, cakaran dan gigit-gigitan menghiasi saat–saat makan. Padahal untuk tiap tumpukan nasi yang dicampur ikan dan lain-lainnya itu (kalau tidak mau disebut campuran minyak jelantah juga) mewakili satu ekor kucing yang kurang lebih besar tumpukannya itu sama satu sama lain. Saking banyaknya, kerap tetangga selalu menganggap kucing-kucing liar lain yang beredar di jalanan termasuk ke dalam klan Madu-Pak Keling-Belang juga. Bahkan mereka tanpa ragu menempatkan kucing-kucing tak bertuan itu (atau sebenarnya bertuan tapi mereka tak mau merawatnya) ke rumah kami agar bisa mendapat santunan kasih sayang juga seperti penghuni legal lainnya. Duh... ampun.

Trio Madu-Pak Keling-Belang sendiri mati karena usia tua. Maaf kalau aku tidak mencatat usia terakhir mereka karena satu dan lain hal. Setelah fase kasihan mengasihani, lalu muncullah fase kebosanan. Di fase ini mulailah kami merasakan kebosanan dari memelihara banyak piaraan. Alhamdulillah akhirnya kucing-kucing itu berkurang juga dan habis sendiri karena sebab seperti ajal di usia tua, hilang tak tahu rimba setelah berkelahi (merajuk mungkin), tidak pulang-pulang, atau karena penyakit.

Mengenai tidak pulang seperti bang Toyib ini juga ada cerita tersendiri, kalau dikatakan kucing adalah salah satu pencium jejak yang terbaik walau dari gerakan jauh lebih cepat anjing) aku setuju. Pernah mendengar cerita tentang kucing yang terpisah dari majikannya sampai melewati beberapa Negara Bagian Amerika namun kembali bertemu setelah dua tahun terpisah? Nah cerita itu juga terjadi pada tetanggaku dan aku sendiri. Ceritanya, tetanggaku sudah jenuh pada kucing itu dan membuangnya di di daerah Sei Semayang (kira-kira 40-an km dari tempatku di Medan) namun seminggu kemudian, kucing itu kembali lagi ke depan pintunya. Begitupun dengan salah satu kucingku yang hilang. Walaupun sudah di cari kemana-mana tetap tidak ketemu. Pagi hari seminggu kemudian ia sudah muncul kembali di belakang rumahku dengan tampang kusut dan kurus. Stress mungkin ya karena backpacker sendirian.

Kembali ke fase kebosanan. Sempat terpikir untuk tidak memelihara kucing lagi menghinggapi keluagaku (atau lebih tepatnya ibuku, yang lebih telaten mengurusi mereka hahaha...). Pada waktu sepi kucing di rumahku itulah, entah kenapa muncullah teman kecilku yang juga tetanggaku membawa kucing kecil berwarna kuning yang jorok-dekil-jelek ke rumahku. Ia bahkan membersihkan matanya yang belekan dan menganggap kucing itu cantik (ya ampuuun). Dan aku benci tampang kucing kecil kurus hampir mati itu, namun temanku memaksa ibuku untuk memeliharanya. Ibuku menolak, namun aku juga sedikit kasihan padanya. Walaupun begitu, kucing itu tetap tinggal di sekitar rumahku. Dasar jiwa pengiba, ibuku tetap juga memberinya makan, dan kakakku membersihkannya secara teratur. Akhirnya setelah beberapa lama kucing itupun resmi jadi akar penghuni baru rumahku. Badannya juga mulai berisi walaupun muka tirusnya masih kelihatan. Karena warnanya, abangku memberinya nama Kunta, terdengar seperti nama berbau Jepang walaupun sebenarnya adalah (...ah aku malu menyebutnya). Dan akhirnya ia benar kucing yang cantik. Gendut, bulunya halus berwarna kuning kejinggaan dengan bulu putih di perutnya. Ekornya podol (super pendek) yang membuatnya semakin menggemaskan (kalau menurut salah satu sumber di internet, kucing dengan ekor podol adalah kucing keturunan kucing Jepang, jadi, nama Kunta cocok untuknya kan). Lebih aneh lagi, aku yang tak suka padanya malah kemudian menjadi yang paling dekat dengannya. Kunta adalah kucing betina paling berani yang pernah kumiliki. Ia seperti anjing penjaga rumah yang akan marah bila ada kucing asing yang masuk berkunjung ke dalam rumah, bahkan untuk mengintip saja tidak boleh. Ia tidak segan untuk mengejar kucing jantan hingga lari terbirit-birit dan kembali ke rumah setelah berhasil mengusirnya. Kunta kucing yang pendiam. Ia jarang bersuara bahkan pada saat makan dibagikan. Aku suka memberinya makan ikan yang kugigit di satu ujungnya dan ia akan mengigit ujung lainnya. Kedengarannya seperti berciuman tidak langsung tapi aku tegaskan itu tidak berciuman. Percayalah!
Kunta selalu tidur di kamar, tepatnya di bawah kaki. Dan kalau ia tidur ia selalu mengambil posisi miring ke kanan bukan ke kiri. Mungkin ia merasa tidak nyaman dengan posisi kiri, entahlah. Pengecualian hanya terjadi ketika ia hamil. Walaupun aku suka jahat dengan memindahkannya ke sisi lain kalau tubuhnya mulai mengenai kakiku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau ia kena tamparan kakiku yang suka tidur asal. Satu hal lain yang kuingat adalah, kalau aku sedang berjalan pada pagi hari, maka ia akan mengikuti, kalau perlu berlari mengikuti langkah kaki majikannya yang entah berapa bedanya dalam hitungan dunia kucing.

Hampir dua tahun lalu. Kunta sakit setelah bertarung dengan kucing lain. Kuku kucing lawannya mengenai muka hampir pada matanya. Ia menjadi sangat kurus karena tidak mau atau tidak bisa makan, walaupun di suap. Kalaupun mau, maka itu sangat sedikit. Aku merasa kalau ia makan karena hanya ingin menyenangkan hati kami saja. Seakan mengatakan ‘lihat, aku makan, aku tak apa-apa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.’ Lalu ia hilang, hilang entah kemana. Aku menganggap ia sudah mati. Kucing selalu tahu kalau ajal mereka akan tiba. Tepat pada pagi hari 1 Syawal 1430 Hijriah, ia kembali setelah tiga hari, dan sudah sangat dekat dengan kematian. Pagi itu, ia hanya terbaring tak berdaya lagi, ia tahu kalau aku ada di sampingnya. Mungkin ia memaksakan diri untuk kembali karena ingin berpamitan, padaku, pada keluargaku. Aku memegang tangannya dan ia menggerakkan tangannya sekali dengan pelan seakan melambai. Lalu kemudian diam... Kunta pergi untuk selamanya setelah 18 belas tahun bersama. Lebaran Idul Fitri tahun ini berarti dua tahun kepergiannya. I will remember you Kunta.

- Q -
March 3, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar