Beberapa hari ini statusku berkisar di antara menghargai, mencoba menghargai diri sendiri maupun menghargai orang lain. Walapun kuakui itu adalah salah satu hal yang paling berat yang harus dilakukan. Berusaha menghargai perasaan orang lain dan tidak menyakitinya, dan aku terlalu sering berlaku demikian. Menyakiti sahabat, teman, bahkan orang-orang yang kusayangi. Walau mungkin kesalahan tidak ada pada diri sendiri atau malah menjadi korban yang disakiti dan berusaha membela diri, namun tetap saja pembenaran dari diri sendiri seringkali tidak diterima oleh orang lain apapun alasannya. Mengesalkankah? Yah, tapi itulah kenyataan.
Dan kali ini aku akan berbagi cerita yang masih ada hubungannya dengan menghargai.
Aku suka makan. Dan siapapun yang dekat denganku pasti akan setuju kalau selera makanku parah. Aku makan banyak, bisa dua atau tiga porsi dari porsi seharusnya. Bahkan seringkali keluarga atau temanku dengan senang hati membagi makanan mereka denganku bila mereka tahu kalau mereka tidak bisa menghabiskannya sendirian. Dan perutku akan dengan senang hati pula menerimanya.
Namun tentu saja perutku bukan tandingan bagi perut juara makan Guinness Book of Record dari Jepang yang sanggup menghabiskan puluhan hotdog atau makanan lainnya dalam waktu yang singkat. Perutku tidak sekaret itu.
Lucunya, badanku masih segitu-gitu juga. Kalaupun bertambah maka itu hanya sebagai pelengkap penderita yang menambah sedikit inci dari keseluruhan bobot tubuh. Mungkin benar kata orang-orang kalau semua makan yang masuk ke perutku itu akan diserap oleh rambutku.
Kembali ke makanan, siapapun tahu kalau dalam makan ada etika yang harus ditaati. Jangan dulu berbicara mengenai table manner ala barat dengan segala sendok, garpu, atau pisau yang berjejer rapi di sisi piring dan mangkuk. Ketentuan mengambil sendok dan pisau yang berbeda bentuk, berurutan dari sisi terluar terus ke dalam mulai dari sendok sup, appetizer, main course, sampai ke dessert. Atau garpu yang berbeda untuk salad dan hidangan lainnya. Atau apakah anda seorang Traditional English atau Traditional America dalam memegang sendok dan garpu? Sungguh, kalau dipikir aku tidak mau terlibat dalam semua kerumitan itu. Bagiku makan dengan sebuah sendok (dan mungkin sebuah garpu) sudah cukup rumit karena praktisnya aku akan sangat senang makan dengan menggunakan tangan langsung menyentuh makanan, setelah cuci tangan tentunya. Karena makan dengan tidak terburu, tidak disambil dengan suara, dan tidak dengan mulut penuh total sudahlah cukup.
Sepuluh tahun yang lalu aku berkenalan dengan seseorang yang mengubah cara pandangku tentang makanan hingga sekarang. Ia adalah seorang pelaku seni yang sering memperkenalkan nama Indonesia ke luar negeri sebagai duta kesenian. Singkatnya, pada suatu malam kami makan bersama. Bukan di tempat yang mewah, hanya jejeran warung di suatu kawasan pusat jajanan yang sudah sangat terkenal di Medan. Aku ingat sekali kalau aku memesan sepiring sate dan ia juga memesan yang sama. Kami lalu bercerita berbagi pengalaman hingga lima belas menit kemudian aku merasa sudah cukup dengan sate di hadapanku. Aku berhenti makan dengan menyisakan dua tusuk sate dan beberapa potongan ketupat di dalamnya. Dan itu adalah seporsi sate yang enak. Percayalah!
Pada saat aku meletakkan sendok, yang kupikirkan adalah aku harus berhenti makan sate itu, karena di dalam diriku aku merasa kalau aku harus menjaga imej di hadapannya, aku tidak boleh terlihat begitu menginginkan makanan itu seperti aku tidak pernah memakannya sebelumnya. Dan aku juga merasa sedikit angkuh, merasa kalau dengan berhenti makan dan menyisakannya sedikit, maka orang di hadapanku akan menyangkaku berlaku layaknya anggota kerajaan, keraton, atau paling tidak orang kaya (karena stereotype orang kaya yang kutahu saat itu dari banyaknya sinetron tak bermutu di Indonesia adalah menyisakan makanan di piring mereka). Hahahaha… pemikiran yang bodoh kan?
Aku tidak menyangka ia akan menampilkan ekspresi terkejut, namun aku salah. Ia menatapku dan bertanya ‘Mengapa tidak dihabiskan makanannya?’ dan aku hanya menjawab ‘Sudah cukup, kenyang.’ Aku berbohong. Dan aku juga tidak dalam posisi sedang diet saat itu. Dia diam, namun kemudian tersenyum. Lalu berkata, ‘Kamu tahu, dulu aku juga seperti kamu. Tidak mau menghabiskan makanan. Dengan banyak alasan di dalamnya.’ Lalu ia bercerita tentang pengalamannya sewaktu pergi ke Swedia atau Finlandia (aku lupa tepatnya). Ia tinggal dengan keluarga angkatnya di sana yang menerimanya dengan sangat baik. Keluarganya itu bahkan yang bersusah payah menyiapkan sahur dan bukaan ketika ia berpuasa, walaupun mereka berbeda keyakinan. Suatu hari, ia dan keluarganya makan di sebuah restoran dan ia tidak menghabiskan makannnya. Ia terdiam ketika ayah angkatnya bertanya mengapa ia tidak menghabiskan makannya? Lalu ayah angkatnya berkata lagi ‘Kau tahu, kalau di sini kita tidak menghabiskan makanan kita bisa kena denda. Mengapa? Karena kita dianggap tidak menghargai. Tidak menghargai yang memasak makanan tersebut, tidak menghargai yang membawa makanan tersebut ke hadapan kita, tidak menghargai tempat di mana kita makan. Dan terutama tidak menghargai makanan itu sendiri. Atau kalau kau merasa repot untuk menghabiskannya, maka pesanlah dalam porsi yang sedikit.’
Cerita tentang teguran ayah angkatnya pada dirinya membuatku merasa tertampar keras. Aku malu sekali. Ia sangat-sangat benar tentang ‘sikap tidak menghargai’ itu. Bila kita menyia-nyiakan makanan berarti kita tidak menghargai orang telah bersusah payah memasaknya untuk kita, menghidangkannya untuk kita, menghargai tempat di mana kita makan, menghargai makanan itu, dan yang paling penting adalah kita tidak menghargai Sang Pencipta yang telah memberikan kita nikmat makan itu sendiri. Terima kasih untuk temanku itu, karena sejak saat itu sampai kini aku selalu berusaha untuk menghabiskan makanan yang ada dihadapanku dan menyebarkan cerita ini ke teman-temanku. Dan aku tidak ragu untuk menegur bila melihat mereka menyia-nyiakan makanan mereka.
Aku ingat kalau Nabi Muhammad juga melarang kita untuk menyia-nyiakan makanan. Masih banyak orang yang tidak seberuntung kita yang bisa makan dengan tenang. Bahkan kalau diperlukan kita harus mencucup sisa makanan yang menempel di jari kita sendiri, hanya untuk mempertegas maksud perkataannya itu. ‘Karena kita tidak bakal tahu darimana berkah Yang Maha Pemberi itu berasal.’
Bisa saja berkah itu malah ada pada sebutir nasi yang tertinggal di piring kita.
- Q -
March 23, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar