Rabu, 05 Oktober 2011

Simeulue, My never-ending-journey

Ini kali kedua saya bercerita tentang pulau ini. Entahlah, saya terlalu terpikat dengan pulau yang satu ini. Setiap kali saya dan teman saya bercerita tentang kemana atau tempat yang ingin dikunjungi, maka untuk ukuran Indonesia, pulau ini sebenarnya selalu masuk dalam ingatan saya. Kalau yang lain dengan bangganya mengatakan bali, Pulau seribu, ini, itu, maka saya selalu menjawab ‘Simeulue gak kalah bagusnya dari itu semua.’ Titik. Dan teman atau teman-teman saya selalu mencibir saya dengan mengatakan ‘Ah, Simeulue lagi, Simeulue lagi.’ Saya tak peduli. Saya bahkan sanggup bercerita tentang pulau ini sehari semalam dan semalamnya lagi sampai suntukpun tak apa.
Saya rela.











Bertahun lalu saya menginjakkan kaki saya di Simeulue, mengawali kerja pertama saya dengan LSM asing  berkenaan dengan program pascabencana gempa dan tsunami di Aceh. Hari-hari pertama saya di situ saya lewati dengan (saya rasa) keterbatasan dan kesengsaraan. Badan dan jiwa saya terkejut karena itu adalah pertama kali saya bekerja di luar daerah dan tinggal di sana. Itu kali pertama saya bekerja di tempat yang sebelumnya saya dengar hanya dari berita, yang kalau tidak ada berita maka Simeulue adalah neverland bagi saya. Itu adalah kali pertama saya dihadapkan dengan situasi di mana kalau mati listrik maka mati pulalah sinyal di telepon selular saya. Itu adalah kali pertama saya harus berpuas diri mandi dan karena air salah satu masalah besar di sana. Saya juga menggosok gigi dengan air hujan. Ironisnya, air hujan salah satu faktor pembuat gigi keropos. Ya, saya menggosok gigi saya dengan bahan yang membuat gigi rusak. Itu cerita kalau masih musim penghujan, lalu bagaimana kalau hujan tidak ada, maka hilanglah semua air bening yang saya dambakan, dan saya harus mandi dengan air tanah yang berbau, berwarna dan berasa. Tak jarang saya harus menumpang mandi di kantor atau di rumah tetangga yang punya kualitas air tanah lebih bagus dari kost-an saya.

Seketika saya menyesal. Saya menyesal untuk mengambil kesempatan bekerja di sana, di Simeulue. Tempat ini sungguh jauh berbeda dengan kota Medan, tempat kelahiran saya.

Pulau ini memiliki motto ‘Simuelue Ate Fulawan’ yang artinya kalau tidak salah ‘Simeulue Berhati Emas’. Simeulue juga dikenal sebagai pulau penghasil cengkeh, dan setiap mata anda memandang ke setiap bukit hijaunya maka mata anda memang bersirobok dengan kebun cengkeh yang berbaris rapi. Walau saya tidak menyukainya, namun saat itu diam-diam saya menyeru dalam hati, menakjubkan!


Pagi di bukit Kolok 



Pantai Naibos


Ibukota Simeulue bernama Sinabang yang luasnya dapat anda kitari selama 45 menit - 1 jam berjalan kaki, asal anda sanggup menahan panasnya udara pantai. Hal ini jugalah yang membuat saya berpikir kalau seharusnya produsen kosmetik membuat produk dengan kandungan SPF 60 sehingga saat kulit dibakar di kompor ia tidak rusak.

Ya, saya mengada-ada.

Mata pencaharian penduduk di sini beragam, yang pasti adalah nelayan karena ia dikelilingi pantai, namun bukan mata pencaharian mayoritas, maka jangan heran kalau ikan dan hasil laut di sini segar-segar adanya. Sebagian lagi berniaga, karyawan, dan hanya sebagian kecil bertani.

Satu Sisi Pelabuhan Sinabang





















Akses ke pulau ini ada dua, laut dan udara. Transportasi dari laut dapat dicapai dengan menggunakan kapal fery dari daerah Singkil atau Labuhan Haji, Aceh Selatan dengan biaya tiket yang terjangkau, namun saya lupa hari-hari keberangkatannya. Satu lagi adalah dengan udara yang menggunakan pesawat perintis seperti casa 212 dari perusahaan Smack dan Nusantara Buana Air, Susi Air (saya merekomendasikan ini), dan Merpati Airline. Khusus untuk Susi Air, penerbangan berangkat dari Medan setiap hari pada pukul 07:00 WIB dan sampai pada pukul 08:00 WIB.


















Tak terasa sudah dari setahun saya berada di pulau itu. saya jatuh cinta padanya. Pada alam dan keseluruhannya. Saya merasa bebas. Bisa mendengar kicauan burung bernyayi di atap kamar, melihat orang-orang memancing burung dengan galah dan getah. Menyeberang ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Saya jatuh cinta.


Pulau Siumat, kita harus menyeberang selama 1-1,5 jam untuk mencapainya


Sisi lain Pulau Siumat

















Pulau Siumat





Hingga akhirnya saya sadar kalau sudah waktunya saya harus pergi dari sana karena pekerjaan saya sudah usai. Namun setahun kemudian saya kembali ke sana hanya sekedar bermain-main walau hanya seminggu. Dan saya berharap agar saya dapat kembali lagi ke sana. Lagi dan lagi.

Dan Tuhan mendengar doa saya. Saya kembali ke pulau itu untuk bekerja. Saya senang bukan kepalang. Tak sabar rasanya untuk dapat menginjakkan kaki saya di sana. Senang rasanya bisa melihat kemeriahan pawai anak-anak saat acara hari besar keagamaan, bayangan matahari senja di pantai Busung, berjalan-jalan ke ujung pulau dan berziarah ke makam Tengku Di Ujung, pendiri dan leluhur warga Simeulue yang berasal dari Sumatera Barat (karena itulah salah satu bahasa yang dipakai di sini adalah bahasa Minang). 




Senja di pantai Busung





Pantai Busung

Kali ketiga saya kembali ke sana, pulau itu masih menyimpan sisi eksotis dan misterinya, namun ia bersedia membuka dirinya pada saya.
Saya seperti punya banyak pilihan, mulai dari menjelajah hingga ke ujung pulau, merenung di dermaga sendirian di saat sore, melihat karang Si Ambung-ambung yang terpatah menjadi dua, melihat air terjun bertingkat, atau melongok danau tersembunyi. Sepertinya saya hanya bersenang-senang di sana, namun… itulah kenyataannya. (n_n)


Pantai along, terletak di ujung barat laut pulau.

Makam Tengku Di Ujung, kini hanya sekitar 1,5-2 jam dari Sinabang.

Dermaga Desa Nasreuhe

Karang Si Ambung-ambung

Danau tersembunyi di desa Lauke

Bahkan sampai sekarang saya masih bisa membayangkan Simeulue dengan sangat baik seakan ada di hadapan saya. Saya mengenalnya dengan baik, saya mengenal setiap jalannya. Saya mengenal setiap lekukan bukit cengkehnya, saya dapat merasakan jernih air lautnya. Banyak kenangan yang tak bisa saya lepaskan.

Hingga saya percaya bahwa sebenarnya Tuhan telah membelah jiwa saya kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. Ia kemudian menanamnya hingga kemudian ada seseorang yang menemukan dan memilikinya. Seseorang yang sengaja Tuhan kenalkan pada saya yang membuat saya tertawa dan menangis dalam satu rasa hati. Seseorang yang membuat saya marah dan belajar keras arti bersabar. Seseorang yang suaranya menenangkan dikalau hati galau. Ah sudahlah, cerita yang itu hanya untuk saya pribadi.

Saya rindu untuk kembali ke sana. Karena saya merasa hapal akan tiap lekuk pulau itu seperti telapak tangan saya sendiri. Saya bisa menjadi pemandu yang baik, mengajak menyusuri tiap daerah yang menarik, memberi cerita pada tiap tempatnya. Rindu ingin melihat setiap bukit cengkehnya, pantai dengan pasir halusnya, tumpukan karang yang menyembunyikan makhluk eksotis laut, melihat hujan deras dan matahari mencorong terang di saat bersamaan, mencium bau laut atau mencari kepiting di lumpur dan hutan bakau di belakang rumah kost saya dulu.




Belakang rumah kost dulu.



I cannot swim, kalo saya kelelep, kira-kira ada yang mau ngasih nafas buatan gak??
Dan saya memang masih berharap kalau suatu hari Tuhan mengijinkan saya untuk kembali ke sana, bertemu dengan separuh jiwa saya yang tertinggal di sana. Suatu hari…

2 komentar:

  1. makasih ya,,, postingannya mengurangi kerinduan dg pulau tercinta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mbak Linda Akbar. Duh semoga kita selalu terhubung dengan pulau Simeulue ya. :)

      Hapus