‘Dalam jejakmu memijak bara’ kata angin
Aku terdiam
Walaupun aku tau ia sedang membaca
Terlihat wajahku olehnya, bisa dikata muram
Aku sadar aku kurang tidur belakangan (walau itu bukan satu-satunya hal)
Ia memanggil Walimana
Yang terbang datang jauh dari paruh gelap bulan
dan bukit-bukit keramat Mirfak
Petir menyambarnya, guruh memerangkapnya
Walimana merunduk berkepak bergelung merujuk palung
Menukik bersiap dan hinggap tepat
Di atas paha arca dewa
Matanya kelabu, sewarna abu
Bulunya putih dan kuning keemasan berparuh bening
Sayapnya merah kehitaman berminyak
Segaris sisik hijau memanjang dari leher ke dada
ini lebih kutakutkan
makhluk ini tepat membaca
Tahu akan rasa
Diam namun berbicara
Ia cantik
bentukan bidadari
tapi sedingin kunarpa
‘Apa pedulimu?’ tanyaku (dalam diam)
Ia tetap melihat dengan sepasang pupil yang hitam dan mengecil
Sekelam malam, setua bintang
Ia berkata
‘Aku hanya membaca,
Tak lebih,
Tak sampai habis.
Bukan posisiku, menentukan dirimu.’
Aku tak suka dirinya
Gerakan kepalanya,
Pandangan naifnya
seperti orangtua pada anaknya
tak ada rahasia semua terbuka
tepat menusuk,
memaksa untuk membuka
seberapa eratpun ku mencoba
di sini
di dalam sini
kualihkan pandangan
melawan, berpikir
mencoba merancang merajut diksi
mengepal sajak meraut rima
melepas jiwa pada kepasrahan
membiarnya bersanggama
agni pada chakram
tirta pada mantra
ia tetap diam
memandang
padaku
yang terbuka
October 3, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar