Rabu, 20 April 2011

Ibu Kartini, Sebuah Tanda Tanya Penokohan?

Tidak usah disebutkan hari istimewa apa yang terjadi pada tanggal 21 April setiap tahunnya saya rasa pasti mayoritas rakyat Indonesia sudah mengetahuinya. Ya, Hari Kartini. Secara pribadi sedari dulu saya tidak pernah menganggap serius Hari Kartini, bukan karena masalah jender, anti emansipasi perempuan atau dan anti feminisme, bukan, namun karena saya masih mempertanyakan kepatutan sosok Kartini sebagai satu-satunya pribadi perempuan istimewa.
Kartini dilahirkan dalam keluarga yang masih teguh pada adat istiadat yang menjelaskan mengapa ia dipingit pada usia 12 tahun hingga menunggu waktunya untuk dinikahkan oleh orangtuanya. Dalam masa pingitan itu, ia menjalani hari-harinya dengan membaca banyak bacaan berbahasa Belanda seperti buku, surat kabar, dan juga majalah-majalah ilmu pengetahuan dan kebudayaan, selain majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie.
Pada usia kurang lebih 24 tahun Kartini kemudian menikah atas suruhan orangtuanya dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, dan ia tidak menempati posisi sebagai istri pertama.
Semasa hidup dalam pingitan tersebut, Kartini banyak berkorespondensi dengan Ny. Rosa M. Abendanon dan suaminya Jacques Henrij Abendanon, sering disingkat J.H. Abendanon. Selain itu ia juga berkenalan dengan seorang aktivis wanita dari Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) bernama Estella Zeehandelaar. Diceritakan bahwa kepada mereka Kartini mengungkapkan keinginannya untuk dapat menjadi seperti kaum muda Eropa yang tidak harus terikat pada adat istiadat sehingga bisa bebas bersekolah dan tidak harus dipingit. Mungkin karena keinginannya itu, Stella kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modernitas, terutama mengenai perjuangan perempuan dan sosialisme.
Di sini saya tidak menyalahkan sosok Kartini sendiri. Namun saya mempertanyakan penokohan dirinya yang membuatnya seakan-akan sebagai satu-satunya perempuan Indonesia yang berjasa dalam menegakkan pemikiran dan perjuangan perempuan di Indonesia. Karena kalau dilihat lagi hingga saat ini sebagian besar naskah surat yang diakui ditulis oleh Kartini tidak pernah diketahui keberadaannya. Saat itu pula pemerintahan kolonial Belanda sedang menjalankan Politik Etis terhadap bangsa Indonesia. Sehingga bukan tidak mungkin J.H. Abendanon merekayasa surat-surat Kartini mengingat posisinya saat itu sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan demi memuluskan rencana yang telah disusun oleh pihak Belanda. Belum lagi Abendanon sendiri sering bertukar pikiran dan meminta nasihat dari Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang berada di balik kemenangan Hindia-Belanda pada Perang Aceh.
Jadi kemungkinan pembentukan ‘seorang’ Kartini seperti yang ada di benak kita selama ini kemungkinan adalah sebuah skenario dari Pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, yang kemudian kita sebagai bangsa Indonesia turut menjaganya sehingga ia tumbuh kembang terawat lebat seperti selama ini. Dan hal lain yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah dimadu seperti halnya Kartini juga masuk dalam kriteria feminisme yang selama ini menginginkan kesetaraan jender dengan pihak lelaki? Hmm…
Keinginan Kartini untuk memajukan pemikiran perempuan akhirnya didukung oleh suaminya sehingga membuatnya mendirikan sebuah sekolah untuk perempuan, sekolah ini terletak di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Kartini akhirnya meninggal pada tanggal 17 September 1904 beberapa hari setelah Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Ia meninggal pada 25 tahun dan Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Pada tahun 1912 didirikanlah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang, dan kemudian berkembang di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah itu sendiri adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga C.H Van Deventer, yang lagi-lagi seorang tokoh Politik Etis pemerintah Belanda. Van Deventer jugalah orang pertama yang menampilkan Kartini sebagai sosok pejuang hebat.
Ada banyak perempuan lainnya di Indonesia yang termasuk dalam deretan pahlawan perempuan ‘kelas dua’ setelah Kartini. Padahal mereka ini tidak kalah hebat dibandingkan dengan Kartini, bahkan mungkin lebih hebat karena mereka tidak saja menggunakan kemampuan intelektual mereka namun juga menggunakan tenaga mereka untuk berjuang dengan tujuan bukan hanya untuk kaum perempuan namun untuk kebebasan rakyat dari penjajahan pada saat itu. Perempuan-perempuan ini tidak takut untuk terjun langsung ke dalam peperangan daripada hanya menyerah pada keadaan dan hanya bercita-cita.
Dari daerah Aceh ada begitu banyak perempuan yang tidak hanya cantik dan pintar namun juga berani menantang langsung penjajah di medan perang, seperti Sulthanah Nahrishah, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Laksamana Cut Malahayati, Pocut Meuligo, Cut Nya’ Dhien, Cut Nyak Meutia, dan banyak lagi.
Laksamana Cut Malahayati (1585-1604) - disebut-sebut sebagai laksamana perempuan pertama di dunia. Ia memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh yang terdiri dari ratusan kapal perang. Pada kunjungan kedua Cornelis de Houtman - orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia –pada tahun 1599, ia mencoba untuk menggebrak kekuasaan Aceh. Namun Malahayati bukanlah tandingan baginya. Armada de Houtman berhamburan diserang armada Laksamana Cut Malahayati. Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Malahayati pada tanggal 11 September 1599. Kekalahan Belanda disusul oleh kekalahan armada Portugis, hal inilah yang membuat Ratu Elizabeth I segera mengirimkan surat damai ke kesultanan Aceh yang dititipkan pada James Lancaster. Inilah yang membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan inilah yang sebenarnya membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Cut Nyak Meutia (1870-25 Oktober 1910) – Nama Meutia (berarti mutiara) memang pantas melekat pada dirinya yang sungguh cantik.

Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari (H.C. Zentgraaff, 1983: 151).

Basis perjuangannya berada di daerah Pasai (Aceh Utara sekarang) di bawah komando perang Teuku Chik Muhammad atau Teuku Chik Tunong (suaminya sendiri) dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran. Benar-benar bentuk emansipasi bukan? Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur serta menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Pergerakan perempuan ini membuat ia selalu menjadi incaran pasukan Belanda. Hingga akhirnya pengejaran pasukan Belanda berakhir pada tanggal 25 Oktober 1910 di mana pasukan Belanda bergerak ke arah Krueng Peutoe yang airnya dangkal terjadilah bentrokan dahsyat. Walaupun saat itu posisi Cut Meutia kurang menguntungkan, namun ia dengan sikap gagah berani tampil ke depan dengan rencong terhunus maju bertempur disertai semangat dan jiwa kesatria dan pekikan Allahu Akbar.

Di daerah lain di Nusantara juga masih banyak perempuan hebat lainnya yang berjasa pada perjuangan.

Maria Josephine Chaterine Maramis (1 Desember 1872- 22 April 1924) - lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis. Maria menikah pada umur 18 tahun dengan Yosephine Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. Dari suaminya, Maria banyak belajar tentang bahasa, ilmu pengetahuan dan keadaan masyarakat Sulawesi. Pada bulan Juli 1917, ia mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) untuk mendidik kaum perempuan agar mandiri dan dapat menambah penghasilan, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, bahkan menjual kue-kue dan lainnya. PIKAT sendiri tumbuh bercabang ke Maumbi, Tondano, Sangirtalaud, Gorontalo, Poso dan Motoling bahkan hingga ke Jawa dan Kalimantan. Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Maria juga memiliki cita rasa seni dengan mengadakan pertunjukkan sandiwara Pingkan Mogogumoy, sebuah cerita klasik Minahasa. Maria juga selalu menanamkan rasa kebangsaan di hati kaum perempuan dengan menganjurkan memakai pakaian daerah dan berbahasa Indonesia. Maria juga berusaha agar perempuan diberi tempat dalam urusan politik, seperti duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad (Dewan Rakyat). Perjuangan yang hebat tanpa meninggalkan kodrat.

Martha Christina Tiahahu (1800 –1817) – Ia adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Pada usia 17 tahun ia telah berjuang bersama ayahnya, Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, gadis molek ini terkenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya. Pada setiap pertempuran berang (ikat kepala kain) merahnya tetap tak ketinggalan. Selain mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua siang dan malam, ia juga ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Martha bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran.
Dan kecenderungan yang terjadi pada tanggal 21 April adalah diadakannya perlombaan-perlombaan untuk kaum perempuan mulai dari sekolah-sekolah sampai banyak instansi pemerintah maupun swasta untuk berlaku layaknya Kartini yang jatuh-jatuhnya malah merujuk pada satu suku di Indonesia, dan tujuan dari perjuangan pejuang-pejuang perempuan tersebut akan emansipasi menjadi melenceng jauh.
Jadi walaupun tanggal 21 April setiap tahunnya di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini, saya tidak akan mengucapkan selamat padanya walaupun anda bujuk. Tapi saya akan mengucapkan selamat Hari Perempuan Indonesia, dan lagi, bagaimanapun mereka ingin dimengerti kan?


Rizky,

20 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar