Selasa, 14 September 2010

Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ



II
Gīļīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ



‘Вaiklah, aku akan mulai bercerita sekarang.’ kata Scorpio.
‘Cerita dimulai ketika ada seorang anak perempuan berumur dua belas tahun yang tinggal di sebuah kota.’ Scorpio menaruh cangkir kopinya dan mulai membuka ceritanya.
‘Anak perempuan itu bernama Laya. Bukan berasal dari keluarga yang beruntung. Ketika Laya berusia tujuh tahun, ayahnya yang hanya seorang pedagang kecil di sebuah pasar ditemukan tewas terbunuh ketika ia terjebak pada saat terjadi kerusuhan massa. Wajahnya remuk hingga hampir tak dapat di kenali. Sebagian tubuhnya lebam dan hangus terbakar dalam amukan massa. Tak ada alasan dan kesalahan pasti yang diperbuat sehingga ayah Laya mengalami kebrutalan seperti itu. Kehilangan pertama yang dirasakan dalam hidupnya itu belum terlalu dicecapnya karena usianya yang masih belia.
Laya adalah seorang anak yang cantik dan cerdas, bahkan kau bisa melihat kecerdasan itu dari sinar matanya yang bulat dan selalu terlihat ceria. Rambutnya hitam panjang bergelombang dan kontras dengan kulit putihnya yang cantik. Terkadang ia terlihat seperti boneka atau manekin hidup. Dalam rumah kontrakan mereka yang kecil di lingkungan yang padat dan sempit. Ibu dan anak itu mencoba mengisi satu sama lain dalam hidup yang berat. Satu hal mengenai ibunya yang tidak Laya ketahui, sel kanker telah mencengkram otak ibunya setahun belakangan, dan tekanan hidup memperpanjang kelangsungan sel tersebut. Hanya menunggu waktu saja baginya untuk dapat bertahan mendampingi Laya. Ia sadar itu, namun Laya tidak boleh tahu. Setiap ada waktu ibu selalu menceritakan dongeng yang ia tahu pada Laya, dongeng yang juga kerap didengarnya dari ibunya saat ia masih seumuran Laya. Bahkan kalau ia tidak memiliki cerita untuk didongengkan, maka ia akan membuat suatu cerita baru, yang khusus dibagikan hanya untuk Laya seorang.
Beragam dongeng tentang raja atau ratu yang memerintah suatu negeri dengan bijaksana, putri atau pangeran yang cantik dan tampan yang akhirnya hidup bahagia selamanya, cerita tentang ibu dan kedua anaknya yang jahat dan selalu menyiksa Cinderella -anak tirinya-, atau tentang Timun Mas -anak yang mendapat banyak harta tapi selalu disiksa ibu dan saudara tirinya-. Tentang bawang putih dan bawang merah (sampai-sampai ia bertanya mengapa banyak sekali dongeng tentang ibu atau saudara tiri yang kejam? Apakah mereka memang seperti itu adanya. Dan ibunya akan menjawab sambil tersenyum, tidak semuanya. Lalu cerita rakyat Jaka Tarub, atau cerita tentang pangeran-pangeran yang berubah bentuk menjadi meriam dan naga demi melindungi adik mereka. Ibu Laya juga bercerita tentang putri cantik dan berkuasa yang meminta seribu candi dalam satu malam hanya untuk melindungi rakyatnya, dongeng tentang bangau dan petani, hingga cerita-cerita hantu yang bersembunyi di lemari dan kolong tempat tidur dan hantu-hantu yang akan membawa anak-anak nakal pergi dari orangtua mereka. Tentang telinga dan nyamuk, binatang-binatang besar dan kecil, yang berbahaya ataupun tidak, yang semuanya dapat berbicara satu sama lain, bahkan dengan manusia, dan banyak cerita lagi.
Suatu hari, ia bertanya pada ibunya.
‘Ibu, apakah mereka semua yang ada di dalam cerita akan berakhir bahagia selamanya?’
‘Yah. Mereka hidup bahagia selamanya di negeri-negeri dongeng itu. Mengapa engkau menanyakan hal itu’
‘Kalau begitu, kemanakah ayah pergi setelah ia meninggalkan kita semua? Apakah ia pergi ke negeri di mana semua dongeng itu diceritakan?’ tanya Laya beberapa hari setelah ayahnya meninggal dunia.
‘Kamu tahu Laya,…’ ibunya mencoba menjawab dengan kata-kata dan senyuman yang ada ia harap dapat menenangkan putrinya. Ada kesedihan yang berat dalam suaranya yang ia tak ingin putrinya tahu. Ia mengambil nafas sejenak. Dalam pikirannya terkulum kata-kata yang diusahakan keluar sebijak dan seringan mungkin yang dapat dicerna putri semata wayangnya tersebut.
‘Ayah pergi ke suatu tempat. Ia pergi ke suatu tempat di mana terdapat lapangan tempat setiap dari kita bisa berlari, bermain dan gembira ke sana-kemari yang kita mau. Tempat di mana tak ada seorangpun akan marah atau melarang apa yang kita lakukan. Tempat di mana usia terhenti hingga tak seorangpun akan tua dan memakai tongkat untuk berjalan. Tempat di mana kau temukan padang luas yang ditumbuhi dengan rumput-rumput yang tinggi dan bunga-bunga liar sehingga bila kau main petak umpet dengan teman-temanmu, maka mereka akan kesulitan mencari dirimu di antara rerimbunannya. Laya, di mana kau! Laya di mana kau!’ ibu mencontohkannya sambil tersenyum, jarinya menyentuh ujung hidung Laya. Laya tertawa. Lalu ibu melanjutkan ceritanya
‘Tempat di mana banyak pohon-pohon yang besar yang memiliki banyak ranting sehingga kau dapat memanjat dengan mudahnya sampai ke puncaknya yang dekat sekali dengan awan di langit. Kau bahkan bisa berbicara dengan tupai, burung bahkan ulat-ulat yang tinggal di atasnya. Kau dapat mengambil buah yang tumbuh banyak di rantingnya dan membuat kapal-kapalan dengan daun-daunnya yang kuat dan besar. Bahkan kalau kau jatuh darinya, ranting-ranting dan dedaunan itu akan menangkapmu dengan lembut seakan kau adalah sehelai bulu burung yang jatuh ketika ia sedang terbang. Dan ranting-ranting itu akan mengembalikan kau ke tanah tanpa terluka. Di sana, kau bisa memetik semua buah yang ada tanpa takut terkena getahnya yang pahit atau jatuh dari ketinggian ranting pohon. Kau bisa memetik semuanya dengan mudahnya tanpa takut terluka. Setiap buah yang tumbuh di sebuah ranting akan berbeda dengan buah lainnya di lain ranting, walau mereka berasal dari pohon yang sama. Mereka semua bahkan memiliki manis yang berbeda. Mereka juga punya bung-bunga yang beraneka warna dalam banyak bentuk dan rupa yang kalau kau sentuh mereka akan berpijar dan terbang mengurai seperti kupu-kupu dan kumbang di dedaunan. Di mana semua binatang adalah sahabat dan menjadi penunjuk jalanmu. Kau akan temui banyak peri dan bidadari di sana yang akan menemani dirimu berjalan-jalan dan bermain ke mana yang kau mau. Dan bila mereka menyentuhkan kaki mereka di tanah, maka tanah yang mereka pijak akan menumbuhkan rerumputan dan bunga-bunga yang terbuat dari batu permata.’ Laya mendengarkan dengan takjub.
‘Di sana matahari bersinar dengan hangat sehingga kau tidak akan menutup kepalamu dengan tangan atau mengganti bajumu yang basah kena keringat karena panasnya. Hangat yang menenangkan yang akan membuat pipimu bersemu merah saat kau bermain di bawah terpaan sinarnya. Dan di sana, ada mengalir sungai yang dangkal dan jernih sehingga kau bisa melihat banyak ikan, kerang dan serangga air saling berenang mendekatimu seakan berlomba untuk ditangkap. Ketika hujan turun ke bumi, kau bahkan bisa mencicipi airnya karenanya rasanya yang manis seperti permen dan berbeda setiap tetesannya.’
‘Seperti buah tadi?’
‘Sama seperti buah tadi.’
Ibunya kemudian berhenti sejenak.
Laya hanya memperhatikan, menunggu ibunya melanjutkan ceritanya.

‘Kau dapat bertemu dengan banyak anak seusiamu dan hebatnya tiap kalian memiliki kuda sendiri untuk dinaiki. Apakah kau suka kuda?’
‘Aku suka kuda dan akan menaikinya sendiri nanti.’ ibu mengangguk mendengarnya. Laya merasa pendapatnya sangat diperhatikan.
‘Kuda-kuda yang kalian miliki larinya cepat ekali dan dapat mengantar kalian kemanapun kalian mau, menaiki gunung, melompat di antara awan, atau bahkan ke atas puncak gunung yang tinggi bersalju putih lebih putih dari yang pernah kau lihat. Lalu semua orang dapat meluncur di antara awan dan pelangi dengan bebasnya tanpa takut terjatuh dan terluka.’
Cerita yang sarat dengan dongeng dan fantasi, namun Laya mendengarkan setiap detil dari cerita ibunya tersebut dengan seksama. Lalu ibunya mengelus matanya hingga membuat Laya tertidur memeluk boneka beruang biru lusuhnya dan membawa cerita negeri bahagia itu hingga ke dalam mimpinya.
‘Apakah ayah ada di sana?’
Ibunya terkejut. Tidak menyangka kalau anak perempuannya belum terlelap dan menanyakan hal semacam itu.
‘Entahlah, Laya….mungkin iya. Mungkin iya.’ sebutir air mata lalu meluncur turun dari pipinya mengenai Laya, hangat, tapi Laya diam saja.
Malangnya, kebahagiaan Laya bersama ibunya tidak lama. Suatu hari sepulang sekolah, tidak seperti biasanya, ia menjumpai pintu rumahnya terkunci. Ia memanggil ibunya yang mungkin berada di dalam. Sekali, dua kali, tiga kali, namun tidak ada jawaban. Lima kali, tujuh kali, tetap tidak ada jawaban. Ia menunggu di depan pintu hingga malam. Ny. Mina, seorang tetangga membawanya dan menidurkannya di rumahnya.
‘Aku tidak melihat kapan ibumu pergi, tapi aku yakin ia akan kembali untukmu.’ Laya tidak dapat tidur malam itu
Keesokan harinya ia, Ny. Mina, dan beberapa tetangganya berusaha melihat ke dalam rumah Laya dari jendelanya yang buram, tidak ada sesiapapun di sana. Dan mereka memutuskan untuk masuk dengan paksa. Mendobrak pintu rumahnya dan tetap tidak mendapati seorangpun di sana. Laya menangis dan mencari-cari ibunya ke sudut rumah namun sia-sia. Ia ditinggal sendiri. Untungnya mereka memiliki tetangga yang dermawan. Sejak hari itu Laya makan dari mereka dan ia tetap bersekolah, namun Laya juga tetap mencuci bajunya dan tidur hanya di rumahnya sendirian.
Ia teringat cerita ibunya, ada hal-hal buruk yang akan dilakukan padanya oleh lelaki dewasa bila ia bertemu pada orang yang salah. Maka itu Laya selalu diminta ibunya untuk berhati-hati bila sewaktu-waktu ia tersesat dan kehilangan arah. Ia sudah memiliki pegangan yang selalu ditanamkan ibunya dari dahulu bila ia tersesat. Ia tidak boleh bertanya pada seorang lelaki dewasa, ia harus bertanya pada wanita, wanita yang lebih dewasa dari ibunya lebih bagus lagi. Pada lelaki dan perempuan yang berpasangan atau pasangan yang membawa anak mereka, atau pada polisi, tetapi tidak pada lelaki dewasa yang berpenampilan biasa.
Hingga pada hari kelima kehilangannya. Kepala sekolahnya, Tn. Omar, masuk ke dalam kelas dan menjumpai guru sejarahnya, Ibu Dania yang sedang serius mengajar murid-muridnya. Kepala sekolah berbisik pada Ibu dania dan anehnya Ibu Dania tidak mengetuk-ngetukkan sepatunya seperti yang biasa ia lakukan ketika sedang mengajar atau duduk di mejanya. Matanya melihat kepada Laya. Sesaat kemudian kepala sekolah mendehem. Dan Ibu Dania mendatangi Laya. Dan ia berkata pelan sekali di telinganya.
‘Laya, kamu boleh menyimpan buku-bukumu dan mengemas tasmu. Setelah itu kamu ikut Tn. Omar ke ruangannya karena ada seseorang yang menunggumu di sana.’
Seseorang yang menungguku, tamu untukku? Ibu
Saat itu ia tersenyum, ibu pulang, akhirnya. Cepat ia mengemas bukunya dan mengikuti Tn. Omar ke ruangan kepala sekolah, namun mengapa wajah Tn. Omar dan Ibu Dania kelihatan gelisah dan muram,
Seharusnya mereka tahu kalau ibuku yang dating berarti ini adalah hal yang menggembirakan. Toh, ia tidak mempedulikan lagi, berusaha ia mengikuti langkah kaki-kaki Tn. Omar yang besar dan berusaha menyembuniykan senyumnya.
Di ruangan itu ia tidak menjumpai ibunya, namun ia menjumpai Ny. Mina, tetangganya yang berusaha menutupi wajahnya yang sembab.
‘Laya, ayo kita pulang,’ katanya. Ada serak yang tertahan dalam nadanya. Sepertinya ia baru saja menangis. Karena apa?
Kemudian Ny. Mina mengucapkan terima kasih kepada Tn. Omar, dan juga semua orang yang ada di ruangan itu dan menggandeng Laya pulang. Ia menggandenganya dengan erat sekali sehingga Laya seperti dapat merasakan denyut nadi Ny. Mina bersentuhan dengan denyut nadinya. Tak ada satu patah katapun yang diucapkan Ny. Mina dalam perjalanan pulang itu, ia tetap menutup mulut dan hidungnya dan menarik nafasnya yang bersuara seperti ketika ia hendak menyingkirkan lendir-lendir dalam hidungnya. Sesuatu yang biasa dilakukan orang ketika menangis, Laya juga melakukan hal yang sama kalau ia menangis, namun Laya tidak mau mengganggunya. Bahkan Ny. Mina tidak mau melihatnya, sesekali ketika ia melihat pada Laya, ia langsung memalingkan wajahnya kembali dan menutup mulut dan hidungnya lagi. Dan Laya tahu kalau ia memang menangis dan menahannya.
Di rumah ia melihat banyak orang yang sudah memadati rumahnya dan itu membuatnya panik. Dari begitu banyaknya orang-orang yang mengerumuni rumahnya, tiba-tiba barisan membuka sekan menyilahkan Laya seorang untuk dapat melewatiya. Di satu sudut, terbaring satu sosok yang Laya langsung dapat mengenalinya. Ia melihat bagaimana ibunya terbaring dihadapannya. Ia langsung terduduk dan menjerit sekuat-kuatnya, tapi hanya sebentar, karena ia ingat ibunya pernah berkata hal itu bukanlah hal yang baik. Jin-jin jahat menyukai orang-orang yang berteriak dan ia idak mau jin-jin itun datang pada saat ia kehilangan ibunya. Laya menahan tangisnya di dalam - dan bila ia ingin menangis ia menggemeretakkan giginya, dan sejak saat itulah ia memiliki kebiasaan baru -. Laya seringkali menggemeretakkan giginya bila ia sedang sedih atau gugup. Dan ia melakukannya dalam hitungan genap. Genap adalah hal yang baik, menurutnya. Bila kau menggemeretakkan gerahammu yang kanan satu atau dua kali maka kau harus melakukan hal yang sama pada geraham kirimu dua kali juga. Biar seimbang. Bila ia terlupa berapa kali ia telah menggemeretakkan salah satu sisi gerahamnya maka ia akan membayangkannya dalam hitungan genap atau menggemeratakkannya kembali dalam hitungan genap dan membuat hitungan yang sama untuk gigi yang lainnya. Bila ia merasa sama, maka ia akan berhenti. Bila tidak maka ia akan menimbang-nimbangnya lagi, dan dengan sedikit cemas, ia akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa hitungan gemeretak pada gigi kanan dan kirinya telah sama. Terkadang tangan dan jari-jarinya juga ‘ikut bermain’ seakan mempertegas gemeretak giginya. ‘Dua di kanan, dua di kiri.’ Adakalanya ia merasa capek karena melakukan gemeretak itu atau bila bunyinya terdengar keras sampai orang lain dapat mendengarnya. Kalau sudah begitu, maka ia berusaha memperingatkan dirinya untuk melakukan satu gemeretak pada tiap-tiap sisi gigi, dengan pelan. Tapi ia tak kuasa untuk berhenti. Tak pernah bisa. Setiap saat ia ingin menghentikannya, maka satu atau dua menit kemudian keinginan untuk melakukan gemeretak gigi kembali hadir.
Ibu pasti tidak suka bila tahu aku melakukan hal ini.
Salah seorang tetangga berbisik kalau ia menjumpai ibunya di pinggir sungai pinggiran kota dengan tubuh dan wajah yang kotor serta pakaian yang ternoda karena debu dan bercak darah yang keluar dari selangkangannya. Tubuhnya telah tergeletak tak bernyawa. Orang-orang yang berada di daerah itu juga mengatakan padanya bahwa malam-malam sebelumnya, perempuan itui sempat dipaksa dan diperlakukan tak sepantasnya oleh beberapa orang lelaki dewasa.
Kini, hanya dua tahun setelah kepergian ayahnya, tinggallah Laya sendirian karena ia tidak memiliki saudara, ia adalah anak tunggal orang tuanya.
Setelah kematian ibunya, dalam suatu cara yang entah bagaimana ia tidak tahu, orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dengannya datang padanya, berembuk akan di bawa kemana Laya selanjutnya. Beberapa pihak berniat untuk mengambilnya sebagai salah satu anaknya bahkan Ny. Mina, namun kemudian Ny. Mina sadar kalau dominasi keluarga akan sangat besar dibandingkan dengannya. Pihak keluarga dari ayahnya, dan pihak kelurga dari ibunya. Tidak akan rugi bila mereka merawat Laya. Ia anak yang rajin sehingga dapat meringankan pekerjaan yang ada di rumah sehari-hari. Dan lagi Laya adalah anak yang manis dan sopan. Tidak ada salahnya mengambil anak yang manis dan sopan sebagai bagian dari keluargamu kan? Pihak keluarga ibunya yang sebenarnya sangat berniat mengasuhnya semenjak ibunya meninggal, tetapi adik perempuan ayahnya bersikeras untuk merawatnya karena ia dan suaminya memiliki dua anak lelaki dan tidak memiliki anak perempuan, dan mereka memang ingin mendapatkan anak perempuan sejak lama dan menyatakan sanggup untuk menanggung semua kebutuhan Laya. Setelah para keluarga berembuk – dalam hati kecilnya ia sudah merasa sebagai barang yang diperebutkan -, akhirnya jatuhlah keputusan bahwa ia akan tinggal di rumah tinggal di rumah paman dan bibinya dari pihak ayahnya. Dan pihak keluarga ibunya dapat mengunjungi dirinya kapanpun mereka mau melihat. Dan esok harinya, ia resmi menjadi bagian dari keluarga Diran – Ditta. Yang artinya ia akan ke rumah mereka dan menjadi kakak sulung dari kedua putra mereka. Laya sebenarnya menginginkan dirinya dapat tinggal bersama dengan bibi Elma dari pihak ibunya. Bibi Elma adalah seorang perempuan yang baik dan menyenangkan, yang selalu membawakannya oleh-oleh ketika ia berkunjung. Bibi Elma yang selalu bercerita tentang kucingnya yang cerdik dan nakal yang bernama Lila, karena ia sayang pada Laya, maka ia menamakan kucing itu dengan nama yang hampir mirip dengan Laya, yang kini telah memiliki dua anak yang baru lahir berwarna kuning dan hitam yang membuatnya tidak nakal lagi. Dan Laya selalu suka mendengarnya dan bertanya apa yang terjadi pada Lila jika bibi Elma berkunjung.
Pagi buta ia telah mempersiapkan semua benda-benda miliknya. Semua benda yang terasa penting baginya (‘yang tidak terlalu penting ditinggalkan saja.’ Kata Bibi Elma semalam). Barang-barang yang dimilikinya tidak banyak, karena itu ia akan membawa semua miliknya (dan tentu saja beberapa benda milik ibunya dan ayahnya, karena mereka penting, batinnya). Pukul sepuluh ia telah berada dalam mobil biru gelap paman Diran yang telah dinyalakan mesinnya sedari tadi. Beberapa keluarganya yang masih tinggal menyayangkan kepergiannya. Paman Diran berlaku sebagai pengemudi di depan. Di sampingnya adalah bibi Ditta. Sementara di belakang Laya duduk sendirian. Sebentar lagi ia akan pergi menuju ke tempat tinggalnya yang baru, bertemu dengan kedua adik sepupunya dan menyesuaikan diri dengan semuanya.
Bibi Ditta adalah seorang perempuan biasa, ia dan suaminya Diran membuka usaha toko kelontong kecil-kecilan yang berjarak satu blok dari tempat tinggal mereka. Usaha yang dilakukan demi melengkapi nafkah keseharian mereka. Sementara pamannya selain turut menjaga toko tersebut, ia juga seorang supir taksi carteran yang berusaha giat mengejar setoran. Mereka berharap dengan adanya Laya, Elias dan Ali dapat ditinggal di rumah dan tidak mengikuti ibunya berdagang lagi seharian di tokonya atau ditinggal di tempat mertuanya selama seperti ini. Laya dapat menjaga mereka dan belajar bersama. Ia akan menjadi kakak yang baik bagi dua adik sepupunya; Elias dan Ali. Keluarga bibinya adalah tipikal keluarga sederhana yang tinggal di daerah pinggiran.’
Di hari Laya meninggalkan rumah, langit di atas sedang mendung dan berat. Seakan-akan telah sangat siap untuk menumpahkan semua isinya ke bumi, namun entah mengapa hujan tidak jua turun. Sepanjang perjalanan bibinya lebih banyak menceritakan apa yang akan terjadi di rumahnya nanti. Hal-hal yang keluarganya biasa lakukan jika siang hari. Apa yang biasa mereka lakukan pada malam hari. Elias yang selalu merajuk jika disuruh mengerjakan tugas matematika, atau Ali yang bersemangat jika disuruh menyanyi di hadapan orang lain. Paman Diran yang selalu menyempatkan pulang ke rumah jika waktu makan siang, atau dirinya yang selalu kesal jika salah satu pelanggan tokonya, Tn. Amir, datang dan bertanya mengenai ini itu tetapi akhirnya hanya membeli satu item saja untuk dibawa pulang. Atau ketika pada malam-malam tertentu mereka semua keluar rumah dan makan malam di luar atau pergi bersama di akhir pekan. Sementara paman Diran labih banyak tertawa dan sesekali ikut memberi komentar atas cerita bibinya. Namun ia seringkali melirik pada Laya lewat kaca spion di atasnya. Semua itu terasa sangat menyenangkan dan Laya, nantinya, juga akan menjadi bagian dari itu semua. Laya sudah membayangkan hal tersebut dan baginya itu semua terasa menyenangkan dan dapat melupakan kesedihan hatinya sementara waktu. Hingga akhirnya cuaca dingin mengambil alih dan membuat bibir bibinya terkatup rapat sejalan dengan matanya. Sisa perjalanan hanya dilewati dalam diam yang sesekali diseligi dengan desahan nafas berat bibinya dan batuk kecil dari paman Diran atau hentakan ringan pada roda mobil yang mengenai jalanan yang tidak rata. Sudah satu setengah jam yang lalu Laya meningalkan rumah dan kotan yang dulu ia tempati. Ia memajukan wajahnya hingga ujung hidungnya mengenai kaca jendela. Jalanan yang mereka lewati kini cukup mulus namun cuaca di luar masih murung dan tidak bersahabat. Di kiri kanannya yang bisa dilihat kini adalah hutan karet yang tinggi dan rapat sehinga daun-daun mereka semakin mempertegas kekelaman hari itu. Hutan yang berjajar rapi dan memunculkan jalan-jalan kecil seperti lorong jauh yang berujung entah kemana di antara sesama pohon. Terkadang ia melihat beberapa orang menderas getah dari pohon yang ada dan terkadang hanya satu orang pada jarak puluhan meter setelahnya. Sementara sepeda-sepeda mereka terbiarkan sendiri pada jarak yang tak kalah jauhnya.
Setengah jam kemudian kini pemandangannya telah berganti. Yang ada hanya hamparan padang rumput dengan onggokan hutan pada ujungnya yang jauh. Terasa sangat menjemukan. Beberapa burung layang-layang atau entah apa namanya yang Laya tidak mengetahuinya, terbang dengan kecepatan yang sama dengan mobil yang mereka tumpangi dan membelok dengan cepat semau mereka. Terkadang ia juga melihat gerombolan kerbau-kerbau liar berkubang dalam lumpur dan rimbunan ilalalng. Atau rumah-rumah yang sederhana yang terkadang terbuat dari kayu yang sepertinya hanya direkatkan semaunya satu sdama lain bersamaan dengan kandang peliharaan mereka di belakang atau di samping rumah. Dan titik mereka yang jarang dan terletak berjauhan antara satu rumah dengan rumah yang alain dan menjorok ke dalam di antara rimbunan pepohonan dan jauh dari jalan yang dilalui oleh kendaraan. Dalam pikirannya Laya bertanya, bagaimana dengan kehidupan bertetangga mereka bila satu sama lain saling hidup berjauhan? Apakah ada anak-anak yang bermain bersama atau bagaimana dengan sekolah mereka? Bagaimana bila malam datang? Apa yang mereka lalukan bersama di dalam rumah bila malam datang? Pertanyaan yang tidak habis ia pikirkan. Hujan telah turun kini dalam bentuk gerimis. Cuaca sudah berubah sejuk dari tadi. Paman Diran mematikan pendingin udara karena merasa tidak diperlukan. dan bukan itu saja, kabut telah turun, dan pada saat-saat tertentu mereka menutupi jalanan di depan sehingga sulit untuk dapat melihat ke depan. Pengendara-pengendara yang lain menyalakan lampu mereka sama seperti yang dilakukan pamannya. Terkadang mereka menghilang dari pandangan hingga hanya menyisakan selimut sejuk saja bagi siapapun. Kendaraan mereka mendaki kini, dan di pinggir jalanan yang sempit berjurang itu kini hanya terlihat semak perdu berbunga merah merekah di ujung-ujung rantingnya. Di sepanjang jalan kini Laya hanya melihat warna merah hijau yang kontras dengan kelabu kelam beratnya awan di langit. Cuaca ini seharusnya mampu membiusnya untuk tertidur sepanjang perjalanan, namun tidak. Matanya tetap terjaga hingga kini.
‘Sebentar lagi kita sampai,’
‘Kota tempat kami tinggal berada di balik bukit ini, begitu kita mencapai puncaknya maka kamu akan melihat kotanya di lereng bawah bukit Laya, kota yang indah. Lihat saja nanti maka kau akan setuju.’
Laya diam saja, namun ia merasa tertarik untuk melihat dan berharap kalau mobil ini dapat cepat-cepat menaiki puncak bukit sehingga mereka segera sampai di kota yang dituju.
Gerbang kota Pagar Ate telah terlewati. Kini mereka berada di dalam kota itu sekarang. Menyusuri jalan-jalan utama untuk segera mencapai rumah Bibi Ditta. Tidak ada yang istimewa dari kota ini, semuanya terasa sama, jalan yang sama, gedung-gedung yang sama, kerumunan yang sama, hanya saja lebih dingin dan berkabut dari kota yang ia tempati sebelumnya. Pohon-pohon Mahoni dan Tamarind tua mendominasi jalanan di pusat kota tersebut. Daun-daunnya yang lebat dan ranting yang menjangkau jauh dari tempatnya tumbuh semakin mempertegas keteduhan jalanan yang dibuatnya. Bibi Ditta yang sudah bangun sedari tadi menopangkan tangan kirinya di jendela dan menyandarkan kepalanya pada tangan tersebut. Sesekali ia masih terlihat menguap.
‘Ok, sebentar lagi.’ katanya, namun sepertinya ia lebih mengatakan hal itu pada dirinya sendiri.
Mobil mereka lalu membelok memasuki sebuah kawasan perumahan yang sederhana dan bersahaja dan semua rumah tidak memiliki pagar. Kalaupun ada itu hanya semak atau perdu yang dipangkas rapi menurut keinginan si pemilik. Tidak terlalu banyak orang yang terlihat di kawasan ini walaupun rumah-rumah memenuhi kawasan itu. Sama seperti di pusat kota, pohon-pohon pelindung tua juga masih banyak tumbuh teratur di sini. Peninggalan generasi dahulu yang memikirkan kawasan ramah lingkungan untuk warganya. Tak lama kemudian paman Diran melambatkan lajunya dan menghentikan mobil tepat di sebuah rumah yang tipikalnya hampir sama dengan rumah yang lain. Rumah batu bertingkat dua berwarna krem yang memiliki garis tegas namun sederhana. Terlihat seperti rumah peninggalan zaman kolonialis dahulu. Dua buah pohon rambutan tumbuh subur dengan batang yang meliuk-liuk dari dasar hingga ke atas di halaman kanan rumah, sementara sebuah pohon flamboyant yang tinggi berada di sebelah kiri sisi rumah. Beberapa rantingnya bahkan dengan enaknya mendaratkan dedaunan lengkap dengan bunga-merah-cerah-segarnya di depan jendela sebuah bilik di lantai dua seakan ingin bercermin dan berkata pada penghuninya ‘lihatlah aku yang turut menyumbang warna pada halaman kalian.’ Ada sebuah kursi kayu bertangan yang terlihat tua namun masih kokoh terletak di bawah batangnya. Beberapa guguran bunga merah flamboyant mengotori dudukannya.
Halaman rumah tersebut tidak terlalu besar dan dihiasi dengan rumput yang terpangkas rapi. Bunga sejenis bakung berwarna ungu dan putih berjejer rapat di pinggiran setapak yang mengarah ke pintu masuk utama rumah tersebut. Dua buah kursi kayu yang serupa dengan yang ada di bawah pohon flamboyant menghiasi teras depan rumah itu.
‘Nah, kita sudah sampai. Inilah rumah kita Laya, sebenarnya ini adalah rumah keluarganya paman Diran. Ayah dan ibu mertuaku memiliki dua buah rumah. Namun karena mereka hanya memiliki dua orang anak, maka atas kesepakatan bersama paman Diran mendapatkan rumah ini sebagai bagiannya. Dan rumah yang lain sebagai bagian adik iparku. Ia tinggal tak jauh dari sini.’ bibi Ditta menjelaskan begitu mereka sudah sampai di rumah sementara paman Diran setelah mengeluarkan barang-barang Laya dari dalam bagasi mobil segera berangkat lagi menjemput Elias dan Ali, anak-anaknya di rumah adiknya.
‘Mari Laya, bibi tunjukkan kamarmu.’ kata bibinya sambil membawa sebagian barang Laya, dan Laya mengikuti bibinya sambil membawa sebagian lain barangnya. Mereka menaiki tangga ke lantai dua dan pada waktu itu Laya segara berharap bahwa ia akan ditempatkan di kamar di mana bunga flamboyant dapat mengetuk jendelanya dari luar. Dan benar, ia mendapatkan kamar itu.


Scorpio lalu mengambil jeda sebentar untuk bernafas dan melempar sepotong ranting kering untuk memperbesar nyala api.


‘Semuanya baik-baik saja. Walau masih mengalami kehilangan, namun perlahan Laya mencoba untuk mengilangkan luka tersebut dari hatinya. Ia kini dapat bermain-main dengan adik-adik sepupunya, membantu mereka belajar, bahkan dirinyapun ikut bersekolah di sekolah yang sama dengan kedua adiknya tersebut. Laya juga merasakan pergi berlibur bersama pada akhir pekan - hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya dengan ayah atau ibunya sewaktu mereka masih ada -, atau makan malam di luar seperti yang dikatakan oleh bibi ditta sebelumnya.’
Suatu hari bibi dan pamannya bertengkar karena mereka mendapat surat panggilan dari sekolah yang menyatakan kalau anak lelaki pertama mereka, Ali, terlibat dalam perkelahian dengan temannya di kelas. Anak mereka bertanggung jawab atas luka yang dialami oleh lawan kelahinya, temannya sendiri. Bibir anak yang malang itu pecah dan pelipisnya memar akibat dipukul habis-habisan oleh anak mereka. Orangtua anak itu mengadu pada pihak sekolah dan meminta pertanggungjawaban sekolah dan orangtua anak yang memukul anak mereka.
Paman dan bibinya kemudian datang ke sekolah dan dipertemukan dengan anak yang malang itu dan orangtuanya tentunya. Saat bertemu dengan anak itu, paman Laya terkejut karena tidak mengira kalau anaknya dapat membuat lawan kelahinya sebegitu parah. Ada rasa lucu juga yang menghinggapi benaknya sesaat setelah melihat anak tersebut. Muka anak malang itu bonyok dengan bibir tebal tak beraturan dan lebam di pipi dan pelipisnya, tetapi untunglah ia tidak tertawa saat itu yang dapat membuat masalahnya lebih parah lagi.
Hingga akhirnya, keduanya sepakat untuk berdamai dan menanggung semua proses pengobatan untuk anak tersebut. Anak mereka mendapat surat teguran untuk masa percobaan beberapa bulan, yang memintanya untuk menjaga perilakunya di sekolah, dan sebuah tugas khusus yang diharapkan dapat lebih merangsang nilai akademisnya dibandingkan dengan berkelahi di sekolah. Setibanya di rumah mereka menghukum anak itu dengan menguncinya di dalam kamarnya, dan tinggal di sana hingga esok hari, agar ia dapat merenungi perbuatannya.
Ali memohon untuk tidak dikurung tetapi itu hanya percuma. Bibi dan pamannya kemudian bertengkar dan saling menyalahkan siapa yang harus lebih bertanggung jawab untuk mengajarkan adab pada anak-anak mereka.hingga akhirnya sang bibi kemudian kembali keluar rumah untuk mengawasai toko kelontongnya sambil marah-marah, sementara sang paman terpaksa tidak membawa taksi hari itu untuk mencari setoran.
Hingga tibalah saatnya waktu makan malam, di mana tugas Layalah untuk memanaskan makan yang ada seperti hari yang sudah-sudah. Laya yang merasa kasihan pada adiknya yang ada di kamar lalu mengantarkan sepiring makanan untuknya. Dan sang paman melihat hal itu.
‘Biarkan saja dia di kamar itu, biar dia bisa merenungkan perbuatannya sendiri.’
Laya ingin sekali menolong adiknya tetapi ia sadar kalau itu dapat membuat pamannya marah terhadapnya. Laya kembali mengunci kamar itu dan turun ke lantai bawah. Lalu Laya mengambil piring-piring yang kotor dan mencuci semuanya. Sang paman hanya melihatnya dari meja makan. Ia merasa kalau Laya pandai mengambil hatinya sebagai orang yang merawatnya, dan ia juga sangat perhatian terhadap adik-adiknya, anak kandungnya. Tetapi kemudian pandangan yang dipancarkannya berubah berbeda. Dan pandangan itu bukanlah suatu pandangan yang diharapkan.
‘Laya, nanti temui paman di kamar.’
‘Iya paman’ Laya menjawab dengan sikap polos dan binaran matanya.
Bibir kecilnya selalu tersenyum. Lalu pamannya pergi meninggalkan Laya yang melanjutkan mencuci piringnya.
Selesai mencuci Laya melihat pada adiknya yang kecil yang sedang terpaku pada acara yang ditontonnya di televisi kemudian menghampiri pamannya yang ada di kamar. Kamar paman dan bibinya itu terletak berseberangan dengan kamar Ali di lantai dua.
‘Paman…’ suaranya memanggil dari luar.
‘Ya…, kamu masuk saja.’
Laya membuka pintu kamar itu. Baru kali ini ia melihat isi kamar itu. Kamar yang sedikit lebih besar dari kamarnya dan adik-adiknya. Rapi dan bersih tetapi agak suram kelihatannya. Di sana ia melihat pamannya telah berada di tempat tidur.
‘Tutup pintunya, kamu sini pijit paman dulu, paman lelah sekali.’
Dan Laya kemudian naik ke atas tempat tidur di mana pamannya berbaring telungkup dengan celana pendek. Atasannya telah terserak di lantai. Tangan kecil Laya lalu memijit lembut tubuh pamannya yang besar dan liat, dan sungguh itu tenaga yang tidak bisa diandalkan untuk memijit, tetapi bukan itulah yang dicari sebenarnya.
Selang lima menit kemudian sang paman membalikkan badannya sehingga sekarang mereka berhadap-hadapan.
‘Kamu pijit kaki paman saja ya, mulai dari bawah.’ dan Laya melakukannya.
Tangannya memijit tungkai lelaki itu dari betis hingga ke paha sang paman yang sedang terpejam.
Dan Laya terus memijitnya
‘Terus pijit dan kamu ke atas sedikit sekarang.’ dan Laya tetap melakukannya dengan polosnya.
Tangannya terus memijit perlahan kaki lelaki itu tetapi ia tidak tahu bahwa fantasi sang paman telah bermain sejak kali pertama. Lalu akhirnya, ia membuka matanya dan menarik Laya hingga ke dadanya. Satu tangannya membekap mulut gadis kecil itu dan mengancamnya.
‘Laya jangan teriak, jangan bilang siapa-siapa! Kalau Laya teriak paman pukul Laya.’
Gadis kecil itu ketakutan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau pamannya sendiri akan memperlakukannya seperti itu.
Itu bukan pamannya. Air matanya menitik dan jatuh ke tubuh lelaki itu.
Ia mencoba melarikan diri dan terus menangis. Suruhan untuk tidak berteriak tidak berlaku saat itu. Ia terus berteriak hingga sakit kerongkongannya.
Tapi percuma.
Dirinya lalu dibalikkan hingga berada di bawah sang paman sekarang. Mulutnya tak lagi dibekap tetapi ia tak berani teriak, ia hanya menangis tertahan.
Sang paman menelanjangi dirinya sendiri dan menelanjangi Laya. Pandangannya seperti tatapan serigala yang menitikkan liur karena melihat segerombolan kambing yang sedang merumput tanpa dijaga gembala. Ia tak sabar lagi untuk merasakan Laya, keponakannya.
Laya dilucuti dan ditindih.
Kedua tangannya sakit sekali seperti diikat dengan rantai besi solid yang kuat yang tak dapat digerakkan. Ia menangis namun suaranya seperti tertahan dan kalaupun ia menangis keras itu akan tetap percuma. Tak akan ada yang akan mendengarnya. Kamar itu telah menjadi sekutu yang baik bagi Diran dengan meredam setiap suara yang ada. Bagaimana dengan adiknya? Mustahil mereka dapat mendengar. Yang satu sedang merenungi nasibnya dengan terkurung di kamarnya sementara yang lain terlalu fokus pada tontonannya dan suara televisi itu sendiri tak kalah bisingnya.
Ia dapat merasakan bagian tubuh sang paman masuk ke tubuhnya. Mencari celah dan menerobos paksa untuk dapat menyatu dengan dirinya. Setelah merasa benar, tubuh paman Diran lalu bergerak, bergeser semaunya menciptakan ritmenya sendiri di atas tubuhnya. Ia melakukan itu sambil menatap pada Laya dengan tatapan yang sangat memuakkan. Seakan paman Diran berkata,
Kau rasakan itu? Bagaimana menurutmu? Aku berkuasa penuh atas dirimu kini Laya, dapatkah kau merasakannya? Dan dalam hatinya Laya membalas,
Ya, aku merasakannya, aku sangat merasakannya. Bisakah kau berhenti sekarang?? Kumohon…paman…
Namun Diran belum selesai. Ia belum mau berhenti karena ia baru memulainya. Kini ia dalam kepuasannya sendiri. Lagi, dan lagi.
Tapi tidak bagi Laya.
Laya telah menjadi bagian dari, seperti kata ibunya, hal-hal buruk yang dapat dilakukan oleh lelaki dewasa pada dirinya. Tapi bukan oleh orang asing seperti yang selam ini ditakutkan, melainkan pamannya sendiri.
Bibirnya mengerang kesakitan, tapi tentu saja sekali lagi tak ada yang bisa mendengar erangannya itu. Itu pikirnya.
Dan pada saat itu juga benaknya telah menetapkan bahwa orang dewasa hanya menciptakan rasa sakit bagi dirinya. Saat itu juga ia merasa kalau siksaan itu akan berlangsung selamanya.
Hingga saat siksaan itu selesai, pamannya terpejam dan mengerang di atasnya. Kepalanya lalu terkulai lemah di samping kepalanyanya. Tetapi tangan pamannya masih mencengkram tangan Laya, dan itu terasa masih sekuat saat ia pertama mencengkramnya. Lalu ia tertawa kecil dalam kepuasannya. Laya gemetar, ketakutan, dan sangat gugup. Jari-jarinya bermain tetapi tidak giginya. Dan pada saat itu, di antara ribuan pertanyaan yang bergerak cepat untuk dikeluarkan, ia menanyakan dirinya sendiri, mengapa ia tidak menggemeretakkan giginya pada saat itu? Ia mencoba untuk melakukan itu tapi tak bisa. Bibirnya sudah bergetar sendiri menciptakan gemeretakan gigi. Ia mencoba untuk menahan getar bibirnya agar ia bisa menggemeretakkan giginya tapi ia serasa tak kuasa. Aku tak mau gemeretak ini. Aku mau gemeretakku sendiri. Ia terus mencoba dan mencoba dalam gugup dan takutnya tapi lagi-lagi tak bisa. Pertanyaan lain yang lewat semakin menambah ragunya. Sudah berapa hitungan kini yang terlewatkan? Berapa hitungan kiri dan berapa hitungan kanan? Aku mau gemeretakku sendiri! Aku aku tak mau yang ini, mereka tidak sama. Aku mau hitunganku sendiri!
Masih dalam keadaan telanjang, paman Diran membuka pintu kamar dan berdiri di lorong. Tidakkah ia khawatir akan yang lainnya?
‘Sekarang pakai bajumu, keluar dari kamar dan bersihkan dirimu di kamar mandi.’ suara pamannya menyadarkannya. Masihkah ia pamanku?
Masih antara nyata dan mimpi, Laya kemudian memakai bajunya kembali seadanya. Ketika ia merasakan sakit lagi di pangkal pahanya, hatinya yakin mengatakan kalau ini nyata sementara pikirannya masih berkeras mengatakan kalau ini mimpi. Laya lalu bersiap untuk keluar dari kamar hingga kemudian pamannya kembali mengingatkannya untuk tetap tutup mulut hingga tak seorangpun tahu akan hal ini.
Perlahan Laya kemudian keluar dan berjalan tertatih menuju ke kamar mandi. Di ruang keluarga ia masih melihat adiknya asik menonton acara di televisi, seolah tak ada yang telah terjadi. Pikiran yang tak karuan dan rasa sakit membuat dirinya tidak bisa berjalan dengan benar. ia terjatuh di tangga sebelum mencapai lantai. Elias langsung menoleh padanya. Sejenak ia hanya terdiam lalu perlahan ia bangkit dan membantu laya untuk berdiri.
‘Kakak jatuh, sakit?’ Laya berusaha menggeleng walaupun matanya sudah berkaca-kaca. Lalu ia bergegas menuju ke kamar mandi dan menutup pintunya meninggalkan Elias berada di luar masih terbengong namun ia lalu melanjutkan tontonannya.
Kaki Laya terasa sakit. Jatuh di tangga tadi pun semakin menambah perih luka di selangkangannya. Air membasahi tubuhnya bersamaan dengan jatuhnya air mata. Diambilnya sabun dan menggosoknya dengan kuat ke badannya, seakan berusaha menghilangkan semua kotoran dan kenangan yang baru saja terjadi di kamar pamannya. Ia bermaksud membersihkan semua luka dan perihnya dan berpikir apakah dia telah berdosa melakukan itu semua. Gemetar tubuhnya menyadarkan dirinya kalau ia sudah cukup berlama-lama di kamar mandi, dan lalu masuk ke kamarnya sendiri. Pikirannya masih terbagi antara peristiwa yang baru saja dialami dengan gemeretakan gigi yang tidak sama. Dan ribuan lainnya masih melintas di kepalanya. Sementara sang paman membersihkan semua sisa dan bukti di kamarnya yang mungkin dapat diketahui istrinya.
Laya kembali ke kamarnya dengan mata yang masih basah dan suara yang tersekat di tenggorokan karena tangis yang kebanyakan. Ia mengunci kamarnya dan melihat pada tempat tidurnya yang seketika menampilkan bayangan peristiwa yang baru saja terjadi, dan ia trauma melihat tempat tidur. Tubuh dan pikirannya dipaksa untuk tidur dan beristirahat untuk melupakan apa yang terjadi. Isak tangisnya dengan segera mengisi tiap ruang kosong yang ada di kamar tersebut.
Bermenit-menit kemudian, pikiran dan tubuhnya yang lelah membuatnya terbaring di lantai kamar yang dingin. Tak ada tangis lagi kini, namun ia masih terisak sesak dalam diamnya. Laya hanya berharap kalau matanya dapat terpejam dan dirinya dapat tidur tenang malam ini dan melupakan apa yang telah terjadi barusan hingga bila esok tiba, semuanya akan kembali seperti biasa. Ia akan masuk sekolah lagi, bermain kembali dengan teman-temannya, membantu adik-adiknya mengerjakan pekerjaan rumah, dan lain-lain seperti tak ada yang terjadi.


Şebuah kilat menyambar seakan tak jauh dari mereka.
Seketika itu ia menciptakan suara yang memekakkan telinga, Capricorn terkejut sekali karenanya hingga memekik. Tak berapa lama kemudian kilat-kilat yang lain ikut menyambar menghantar bunyi guruh yang lainnya. Scorpio berhenti dari ceritanya, mengambil syal yang kini terasa tak pas lagi di kepalanya. Tangannya sigap membentuk syal tersebut sedemikian rupa dan membebatnya kembali di atas kepalanya. Seperti bentuk sebelumnya. Yah. Sempurna! Lalu ia melihat kepada masing-masing temannya sambil jari-jari tangan kanannya menggaruk atas bibir dan lehernya. Kemudian ia mengambil cangkir yang ada di dekat kakinya, menyeruput kopi di dalamnya dan mencecapnya beberapa kali. Yang lain hanya terdiam memperhatikan dirinya, menunggu untuk kelanjutan kisah tadi. Dalam dua kali seruput kemudian,
‘Aaahh, nikmat sekali kopi ini.’ ucapnya, lalu ia meletakkan gelas kopinya di samping dan melihat sejenak kembali pada penontonnya, lalu berdehem dua tiga kali.
‘Baiklah,’ katanya, lalu melanjutkan ceritanya.


‘Laya kau kenapa? Kau sakit nak?’
‘Tidak apa-apa bibi.’
‘Semalam kak Laya terjatuh dari tangga bun.’ kata Elias pada bundanya.
‘Benarkah itu Laya?
Laya mengiyakan dengan anggukan lemah.
Tapi aku tidak apa-apa bibi.
‘Sini coba bibi lihat.’ tapi Laya segera menolak. Ia tidak mau bibinya tahu bahwa selangkangannya lebih sakit lagi setelah perlakuan pamannya semalam. Ali hanya memperhatikan dirinya dengan lekat tanpa berkata apa-apa
Pagi itu ia merasa sangat tidak enak badan untuk memulai harinya di meja makan, sarapan bersama bibi dan adik-adiknya, dan … pamannya. Kepalanya menunduk lesu. Ia malu bila harus bertatapan mata dengan bibinya. Ia merasa bersalah dan berdosa karena kejadian semalam, walaupun ia tahu itu bukan salahnya.
‘Coba bibi lihat badanmu.’ ia membiarkan dahinya dipegang oleh bibinya…
‘Ya, ampuuun. Badanmu panas sekali. Bukan hanya luka tapi kau juga demam Laya. Kau harus diperiksa oleh dokter.’
‘Laya tidak apa-apa bibi.’
‘Tapi badanmu terasa hangat nak…’
Dan kemudian pamannya datang turut memeriksa dirinya, memeriksa dahi dan matanya.
‘Bibimu benar, kau sakit sayang.’ suaranya terdengar penuh kasih. Ia bukan paman yang malam kemarin melakukan hal yang buruk itu padanya. Laya menatap pamannya, mata yang penuh kepalsuan itu balas menatapnya. Dan jelas Laya menatapnya dengan penuh kebencian, tapi ia juga takut.
‘Laya tidak apa-apa. Laya bisa berangkat sekolah pagi ini.’
‘Dan kalau kau bertambah sakit di sekolah bagaimana? Kau dapat tinggal dan beristirahat saja di kamarmu sayang.’
Dan membiarkan paman mendapat kesempatan untuk melakukan hal yang sama padaku seperti kemarin…? Tidak aku tidak mau!
‘Tidak bibi, Laya bisa sekolah hari ini bersama adik-adik, nanti kalau Laya tidak sanggup Laya bisa minta ijin untuk pulang.’
Bibinya terdiam sesaat sebelum melanjutkan,
‘Baiklah kalau itu maumu. Tapi begitu kau merasa tidak nyaman, kau harus langsung minta ijin.’ Laya mengangguk.
Tak berapa lama mobil sekolah menjemput di depan rumah dan laya bersama adik-adiknya berangkat bersama. Entah mengapa dirinya terasa segar kembali begitu menaiki mobil itu. Bertemu dengan teman-teman satu kelasnya membuatnya berharap dapat melupakan peristiwa semalam, sedikit.
Dari jauh bibinya melihat kalau ia berjalan dengan sedikit terseok karena sakit pada selangkangannya, tapi hanya sampai di situ. Mungkin karena ia terjatuh kemarin.
Dan bersiap juga untuk pergi ke kedai kelontongnya.
Sementara sang paman juga bersiap untuk berangkat kerja dengan taksinya, sebelum menitipkan kunci rumah mereka pada tetangga.
Selangkanganku sakit sekali. Duduk sangat perih terasa.
Luka itu sangat membuat Laya tidak nyaman. Beberapa kali gurunya menegur karena ia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran. Mary teman sebangkunya jga menanyakan apakah ia sakit? Laya hanya mengangguk. Rasanya ingin ia menceritakan semua yang dialaminya semalam pada Mary, namun ia tidak bisa. Ia malu. Mary menyodorkan buku tulisnya yang terbuka Laya dengan perlahan, seakan-akan ia meminjamkan catatannya. Pada halaman yang terbuka di buku ada tulisan dari pensil yang tertulis, aku akan menemanimu ke klinik sekolah pada jam istirahat nanti kalau kau mau. Kita kan teman.
Sambil tetap memperhatikan Ibu Rose yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas, Laya mengambil pensil dan menuliskan jawabannya. Pikirannya menerka-nerka ukuran huruf dan jarak antar kata tanpa melihatnya.
Tidak apa-apa, aku terjatuh dari tangga kemarin jadi pahaku sedikit sakit. Lalu ia mnyerahkan kembali buku itu pada Mary tanpa kentara.
Baiklah, hey, bolehkah aku dating ke rumahmu untuk belajar bersama atau mungkin bermain bersama?
Laya segera tahu jawaban ini. Bagaimana kalu ternyata pamannya kumat lagi dan malah menyakiti dirinya dan Mary sekaligus.
Tidak, kumohon jangan datang ke rumahku. Lain kali saja. Bagaimana dengan rumahmu sepertinya lebih asik. Kapan-kapan aku akan dating ke rumahmu.
Baiklah, kalau kau mau datang ke tempatku boleh juga. Beritahu aku sebelumnya.
Iya.
Dan mereka berdua lalu berpandangan dan tersenyum Bu Mary juga sepertinya telah mencurigai mereka berdua yang sepertinya tidak memperhatikan pelajarannya.
Bibi benar, aku tidak seharusnya sekolah hari ini, tapi apa yang terjadi kalau aku ada di rumah? Paman mungkin akan menyakitiku lagi nanti, dan sakit ini tidak akan membaik.
Dan waktu di sekolahpun terasa sangat panjang.
Hingga tiba waktunya untuk bibinya menjemput pulang dan bertanya bagaimana keadaan di sekolah tadi.
‘Bagaimana badanmu? Apakah kau baik-baik saja sayang?’
‘Kaki Kak Laya sakit bun.’ adik sepupunya yang paling kecil, El, bersuara.
‘Oya, bibi juga lihat tadi, kenapa kakimu nak?’ katanya sambil menyuruh Laya untuk duduk.
‘Tidak ada apa-apa bi.’
‘Laya kamu jangan bohong ya. Sini biar bibi lihat dahulu.’
‘Kemarin sore Laya terjatuh dari tangga, sedikit luka jadi masih sakit. Tapi sudah Laya obati kok, iya kan El.’
El yang asik pada karet gelang di tangannya mengangguk. Laya beruntung karena ia tahu El akan mengiyakan saja setiap ucapan orang lain yang bertanya kepadanya.
Bibinya hanya terdiam.
‘Baiklah kalau itu yang terjadi, kau harus lebih berhati-hati lain kali gadis kecil.’
Laya mengangguk tersenyum.
Tiba-tiba ia merasa sakit itu datang lagi. Mulutnya ingin berteriak tetapi tidak ingin bibinya tahu dan bertanya lebih jauh lagi apa yang terjadi. Segera ia berlari mencoba meraih kamar mandi. Laya baru menyadari kalau genitalnya mengeluarkan sedikit darah dan itu menetes pada pahanya. Dengan terseok menahan sakit Laya mencoba membersihkannya.
‘Laya bibi pergi lagi ya ke toko, makan siang sudah bibi sediakan di meja. Kau bisa menjaga adik-adikmu kan?’ bibinya berteriak dari luar kamar mandi.
Bagaimana aku bisa menjaga adik-adik kalau aku sendiri tidak bisa menjaga diriku sendiri.
‘Iya bi.’ Laya memaksakan dirinya untuk bersuara lantang dengan perih yang dideritanya pada selangkangannya. Dan iapun mendengar bibinya menutup pintu dapur setelah pamitan pada kedua anak lelakinya.
Laya keluar begitu ia membersihkan darah itu dan merasa cukup kuat untuk menahan sakit. Kedua adiknya berada di ruang keluarga menonton televisi.
Hingga tak berapa lama…
Pintu terbuka dan di sana pamannya telah berdiri di depan mereka semua.
‘Ayaaah….!’
Kedua anak lelaki itu datang menyambut ayah mereka dengan wajah riang tetapi tidak bagi Laya, wajahnya murung penuh ketakutan.
‘Ayah tidak kerja?’
‘Ayah akan kembali kerja nanti, ayah hanya pulang sebentar untuk makan. Lihat ayah bawa makan siang untuk kalian.’
‘Tapi ibu sudah membuatnya untuk kami.’
‘Iya ayah tahu, tapi kan tak ada salahnya kalian makan makanan yang ayah bawa juga.’
Hingga pamannya menyuruh mereka semua untuk duduk di meja makan dan makan siang bersama.
‘Kau juga harus makan Laya, biar tidak sakit.’ ramah sekali.
Ini bukan paman yang menyakitiku semalam. Ia berbeda sekali.
Laya menyantap makanan itu dengan pelan dan lama seakan itu adalah makanan yang paling hambar yang pernah dimakannya.
‘Kau harus makan lebih giat lagi Laya. Lihat Ali dan El, mereka bisa lebih besar darimu dengan makan banyak seperti itu.’
‘Iya paman.’ Laya mencoba makan dengan lebih cepat, tetapi sama saja makanan itu terasa lebih hambar dari sebelumnya. Dan pamannya memperhatikan hal itu.
Selesai mereka makan, pamannya lalu bertanya dengan Ali dan Elias mengenai apa saja kegiatan mereka selama di sekolah tadi. Laya hanya terdiam, dan pamannya memperhatikan itu.
‘Ok anak-anak, kalau kalian sudah selesai makan kalian bisa bermain di luar. Biar kak Laya yang mencuci piringnya. Laya tersekat,
Aku tidak mau ditinggal sendiri di sini. Ali, Elias jangan pergi kumohon.
Kedua adik sepupunya itu gembira. Elias segera berlari keluar rumah mencari teman-temannya mereka yang lain di lingkungan itu. Sementara Ali sesekali melihat ke belakang pada Laya. Hanya melihat padanya.
‘Ali, mainlah ke luar bersama adikmu.’ pinta ayahnya.
‘Ya, ayah.’
Dan Laya…, ia kini sendirian bersama pamannya.
‘Paman akan bantu kamu mencuci piring anak manis.’
Laya hanya terdiam.
Pamannya tidak membantu, ia hanya membersihkan sisa makan dari piring dan meletakkannya di wastafel, setelah itu ia duduk di kursi dan hanya menatap Laya mencuci piring dari belakang. Memperhatikan dan membiarkan pikirannya bermain. Laya gemetar, ia tahu mungkin hal yang buruk akan terjadi lagi padanya kali ini dan ia hanya berdoa itu salah.
Dan ia benar, itulah yang terjadi.
Pamannya bangkit dari kursi dan memegang tangannya begitu ia selesai mencuci piring.
Laya menjerit tapi sebuah tangan kekar segera menutup mulutnya.
Ia diseret ke kamar di mana kejadian buruk semalam terjadi. Kamar itu terasa lebih gelap olehnya kini walaupun semua jendela telah dibuka untuk jalan masuk sinar matahari. Lalu dirinya dibanting ke tempat tidur dan tubuh berat pamannya menindih dirinya. Celananya dibuka paksa dan tubuh pamannya menindihnya. Mencoba untuk memasuki dirinya, sekali lagi.
Dan sakit itu kembali datang, hanya kali ini lebih perih dan perih.
Tubuh berkeringat itu menindih dirinya dan Laya mencium bau asing keluar dari lelaki itu. Seperti lobak atau bawang putih atau keduanya yang bercampur tersamar. Laya hanya bisa memandang kosong ke atas, namun ia melihat mata di mana-mana. Semua yang ada di dalam kamar itu sekali lagi seperti memandang pada dirinya, kursi, langit-langit, lemari, jendela, tempat, tidur, bantal, semua. Semua seperti ikut melemahkan dirinya dan mengejeknya hingga ia tidak bosa berbuat apa-apa. Semua memandang pada dirinya dan berkomplot dengan paman Diran untuk membekap suara dan nyalinya. Persis seperti kemarin.
Tubuh sang paman mengguncang tubuhnya dan kini Laya tahu bahwa luka itu akan berdarah sekali lagi, dan tidak akan mengering selamanya. Sampai pada suatu titik ia tidak dapat merasakan semuanya hanya gerakan pamannya yang naik turun berirama di atas tubuhnya, bahkan ketika pamannya memindah-mindahkan badannya sesuka hatinya demi melampiaskan nafsunya. Ia tidak merasakannya. Semuanya sama hampa. Kosong.
Lama hingga akhirnya lelaki itu mengejang dan mengakhiri kebiadabannya pada Laya. Kali ini ia bergerak cepat tanpa berdiam diri setelah melakukannya seperti malam kemarinnya. Setelah selesai, ia merapikan pakaian Laya dan celananya sendiri, dan membiarkan Laya di temput tidur yang terdiam terpaku. Ia tidak menangis seperti malam kemarin.
‘Nanti Laya mandi bersihkan diri ya, paman mau kerja lagi.’
Tangannya mengelap tetesan keringat yang jatuh di pelipisnya kemudian keluar kamar menuju ke kamar mandi. Di ujung tangga ia menemukan Ali anaknya berdiri mematung memandang dirinya dalam pakaian yang tak rapi.
‘Apa yang kau lakukan di sini Ali. Bukankah kau seharusnya main di luar.’ Ia tak mempedulikan anaknya itu Diran terus saja berlalu ke kamar mandi sebentar, dan kemudian keluar rumah.
Jangan bilang siapapun Laya.
Itu pesan pamannya. Pesan yang terasa memuakkan yang bersarang dalam kepala Laya sebelum kemudian ia mendengar pamannya berangkat kerja lagi dengan mobilnya kesayangannya, meninggalkan Laya yang masih terbaring tak berdaya di tempat tidur dengan noda tersisa.
‘Aku tak mau berada di sini lagi. Aku lelah Tuhan.’
Terbayang wajah ayah ibunya berkelebatan di matanya sebelum ia akhirnya jatuh pingsan.
Lama dirinya baru terbangun ketika Elias menemukan dirinya terbaring di tempat tidur ibunya dengan pakaian yang berantakan dan mata yang sembab.
El melihat heran pada dirinya seakan bertanya apa yang telah terjadi pada kakanya dan apa yang dilakukannya di kamar ayah ibunya. Tapi ia diam saja.
Laya mencoba keluar dari kamar untuk menuju ke kamarnya. Elias hanya memperhatikannya dari belakang dan mengikutinya menuju kamar, dan ia masih diam saja. Begitu ia sampai di kamarnya sendiri, Laya mencoba berbaring di tempat tidur dan mencoba menata pikirannya. Dirinya merasa sangat lelah dan sakit. Sementara ada sebagian kecil yang lain merasa kalau ia tidak akan aman untuk terus berada di rumah ini lagi. Lalu ia terduduk di kamarnya berjam lamanya hingga gelap datang. Elias hanya memandangi dirinya dari pintu kamar seakan tahu bahwa ada yang tidak beres antara ayahnya dan kakak sepupunya, namun kemudian ia pergi dengan sendirinya untuk menonton televisi kembali di lantai bawah.
Malam itu Laya tidak turun ke bawah untuk makan malam, bibinya mengkhawatirkannya dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit hari itu juga. Paman Diran hanya diam saja.
‘Kita akan ke rumah sakit Laya,’ namun Laya membantahnya,
‘Besok sudah baikan bibi, aku hanya lelah.’ ia memandang dengan mata memelas, memohon agar tidak di bawa ke rumah sakit.
‘Baiklah, kita lihat sampai besok, kalu kau masih tidak sehat kita kan ke rumah sakit besok.’ Laya hanya mengangguk.
Ia sadar, kalau ia harus pergi dari tempat ini segera. Ini tidak baik baginya. Dengan terseok karena selangkangan yang sakit. Laya bangkit dari termenungnya dan mengambil ranselnya serta mengumpulkan dunia yang bisa dibawanya ke dalam ransel tersebut. Ia bertekad akan keluar dari rumah itu sekarang juga.
Ia penuhi ranselnya sepenuh yang mampu ia bawa. Lalu turun melalui tangga yang menambah beban luka pada selangkangannya. Semua sudah terlelap, bahkan paman bejat itu. Perlahan ia turun ke bawah dengan sangat diam-diam. Setiap turunan tapak yang dilaluinya terasa sangat berharga untuk semakin menjauh, sekaligus semakin perih. Ia tak pikirkan lagi dimana kedua adiknya berada? Bagaimana sekolah dan semua teman-teman yang akan menceriakan harinya? Bagaimana dengan pohon flamboyan yang tumbuh di samping kamarnya sedang mengeluarkan bunga merahnya yang biasa ia sapa di pagi hari? Kemana ia kan pergi kini? Bagaimana ia akan makan dan minum nanti? Ia tak memikirkan semua itu.
Malam itu bagaikan malam tergelap di antara semua malam.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar