Rabu, 15 September 2010
Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ
IV
Ðī maņa? Şīapa?
Ļelaki itu duduk di samping Laya.
Dengan kemeja yang sewarna langit hari ini, lengannya di gulung sekenanya hingga ke siku. Ia berbadan gempal dengan tangan dan punggung yang kokoh. Kulitnya sedikit gelap namun bersih. Wajahnya tidak tampan namun enak dilihat. Di cambangnya ada rambut-rambut kecil yang baru tumbuh setelah mungkin dicukur dua hari lalu. Lelaki itu tidak bergerak dari duduknya. Pandangannya lurus ke depan, matanya terlihat bening dan tulus. Ada sebuah senyum yang tak terlalu kentara menggantung di bibirnya.
‘Ayah.’ lelaki itu menolehkan kepalanya, dengan pandangan yang masih terasa tulus namun senyum yang makin jelas.
‘Ya sayang?’
Laya menghambur pada lelaki itu dan serta merta memeluknya. ‘Aku kangen ayah’. Lelaki yang dipanggil ayah itu membalas erat pelukan anaknya.
‘Ya, ayah juga kangen samamu.’ Laya melepas pelukannya dan menatap pada ayahnya, sekejap, lalu ia kembali memeluknya. Ada rasa lega yang terbebaskan dalam dadanya.
‘Ayo,’ ayah bangkit dari duduknyan dan membantu Laya untuk berdiri. Laya menuruti ayahnya walau sebenarnya ia masih ingin memeluknya. Ia mendongak melihat kapada ayah yang juga melihat padanya dengan senyum yang masih tetap sama. Angin memainkan rambut ayah yang memang berpotongan berdiri. Hari yang cerah, dan sinar matahari tidak terasa panas dirasa.
‘Ayah, kita kemana?’
Ayah tidak menjawab, namun ia menunjuk ke depan. Laya melihat ke arah yang ditunjuk. Di sana seseorang duduk di atas ayunan yang terpasang pada dahan sebuah pohon kesemek yang rindang dan besar seakan ia telah berusia ratusan tahun.
‘Ibu?’ mata Laya membesar, ia sumringah.
‘Bukankah ibumu sangat cantik?’ tanya ayah padanya, namun matanya masih menatap ke depan pada ibu. Laya mengiyakan. Di sana, ibu yang telah melihat mereka dari kejauhan melambaikan tangannya. Laya segera melepas genggamannya dari ayah dan berlari ke arah ibunya. Angin terasa sekali menerpa wajahnya. Ia terus berlari ke arah ibu melalui jalan setapak berbatu putih. Kulit putih ibu terlihat cerah kontras dalam gaun merahnya.
Begitu mencapai ibu ia lalu duduk di ayunan di sebelah ibunya,
‘Ibu, nyanyikanlah lagu bintang-bintang untukku?’ pintanya,
Ibu tersenyum, tangannya terangkat dan membelai kepala Laya namun ia tidak melakukan pinta Laya. Sementara ayah hanya berdiri memandang mereka berdua tak jauh dari situ. Ayunan masih mengayunkan mereka berdua. Laya lalu menghentikan gerakannya.
‘Laya senang sekali di sini. Bersama ibu dan ayah.’ Ia lalu memeluk ibunya. Ibu membalas pelukannya namun berdiri.
‘Aku ingin bersama kalian selamanya, aku tidak ingin kalian pergi.’
‘Kami tidak pergi sayang, kami selalu bersamamu?’ balas ibu.
‘Kami akan selalu ada bersamamu.’ sambung ayah.
‘Berjanjilah.’
‘Ayah janji.’ kata ayahnya, pandangannya masih tulus dan membebaskan. Lalu sosoknya seperti samar perlahan dan semakin samar.
‘Ayah,’ suara Laya tertahan pelan. Matanya mulai berkaca. ‘Ibu, berjanjilah, berjanjilah kalau ibu tidak akan meninggalkanku?’ tangannya masih menggenggam tali ayunan, ibu mengangguk sekali. Ia memegang pipi laya dengan kedua tangannya, rambutnya berkibaran ditiup angin. Lalu sosoknya juga sama seperti ayah, samar perlahan lalu menghilang. Air mata Laya lalu jatuh,
‘Kalian berjanji.’ Ia tertunduk kemudian, suara dedaunan pohon kesemek saling bergesekan karena angin terdengar mendominasi.
‘Kenapa kakak pergi?’
Laya mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping kirinya,
‘Kenapa kakak pergi meninggalkan kami?’ ulang suara itu lagi, Ali. Laya menghapus air matanya dengan lengan kanannya.
‘Kakak harus pergi.’
‘Kami kesepian sejak kakak pergi. Elias dan aku.’ Ali tertunduk dengan muka murung. Laya turun dari ayunannya dan mendekati Ali.
‘Kakak harus pergi,’ ia lalu ikut duduk di samping Ali, ‘dulu kalian kan bisa hidup tanpa kakak di rumah, sekarang kalian pasti bisa seperti itu lagi.’
‘Tapi tidak sama.’ Ia masih tertunduk. ‘Ayah berbuat jahat ya?’
Deg! Jantungnya berdetak kencang. Laya terdiam, ia memeluk Ali di sampingnya dan menyandarkan kepalanya di kepala Ali.
‘Maukah kakak membawa kami bersama?’ tanya Ali.
‘Kakak tidak bisa membawa kalian, seandainya saja kakak bisa.’ Ali diam, Laya lalu menyadari kalau ada yang berbeda pada diri adiknya itu, tubuh Ali kemudian sama seperti ayah ibunya, perlahan-lahan samar lalu menghilang akhirnya. Tiba-tiba sinar matahari mencapai dirinya, Laya menengadah ke atas, rindangnya dedaunan kesemek ternyata menyingkir menyilakan matahari menunjukkan kuasanya pada Laya. Sinarnya yang semula bersahabat kini mulai terasa panas, namun Laya tak kuasa memalingkan wajahnya ke arah lain, ia hanya bisa memejamkan matanya menghindari silaunya cahaya, sangat silau kemudian, hitam.
Laya membuka matanya. Lamat-lamat.
Pupil matanya masih tertutup dan berusaha untuk beradaptasi dengan terangnya sinar matahari di atas kepalanya. Beberapa kali ia terbatuk dan muntah karena air yang masih tersangkut di tenggorokannya.
Dirinya dapat bernafas kembali sekarang dengan normal dan tenang. Ia terbaring di atas tanah yang keras dan kering, bukan kelilingan air yang menyesakkan dada dan kepala. Matanya masih kabur, namun ia dapat melihat dedaunan di hadapannya, beberapa burung yang terbang atau beberapa bajing yang berloncatan di dahan pohon. Kepalanya masih sangat pusing setelah apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya terasa seperti layaknya kain basah yang dipilin dan diperas. Sendi-sendinya terasa sakit. Tubuhnya telentang dengan satu kaki yang tertekuk. Laya mencoba menggerakkan tangannya, bisa, walaupun sedikit. Ia coba menggerakkan kakinya, bisa, walaupun masih kaku dan sakit. Masih terbaring, ia memalingkan wajahnya ke samping, menggerakkan tangan kirinya ke atas lalu melewati sisi kanan tubuhnya, ia kemudian mencoba bangkit ke arah kanan dengan kekuatan tangan-tangannya yang menopang pada tanah. Menggerakkan kakinya perlahan dan mencoba untuk bangun dan duduk.
Mungkinkah aku bermimpi tadi? Sekarang aku ada di mana? Satu yang kutahu, ini bukanlah hutan kecil yang kumasuki tadi siang, apalagi sungai bawah tanah yang menenggelamkanku hingga aku tidak bisa bernafas. Dan… ya ampun kedua makhluk aneh tadi. Di mana mereka ? Di mana aku ini?
Dirinya masih mencoba untuk duduk sambil menata pikirannya , menerka-nerka di mana dirinya berada kini. Dipandanginya sekeliling. Jejeran pohon, pohon, akar yang menyembul dari tanah, rontokan dedaunan kering coklat kehitaman, pohon, beberapa kumbang yang berterbangan pada bunga hutan dan pohon. Dia berada di sebuah tempat terbuka di tengah hutan yang lebat.
Dimanakah ini? mimpikah ini? Lalu ia mencubit pipinya sendiri. Sakit.
Ini tidak mungkin mimpi, aku masih dapat mengingat jelas semua yang kulihat, dan ini bukan tempat dimana aku berada sebelumnya. Di mana ini sebenarnya? Bagaimana ia dapat berada di sini. Sebentar lalu ia seperetinya masih ada di sungai di bawah tanah tapi kini ia ada di mana? Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
Air yang masuk ke dalam telinganya membuatnya agak susah untuk mendengar dan… kembali ia mengusap matanya dan memegang kepalanya yang masih sangat pusing. Dan sesaat ia kembali terdiam.
Pusing ini? Aduuh… sakit sekali kepalaku.
Dilihatnya ke belakang, ada sebuah bangunan batu dengan pintu terbuka yang berbentuk seperti sebuah kuil kecil, atau gua batu yang dipahat sedemiklian rupa menyerupai kuil? Berusaha ia mendongak untuk melihat lebih dalam ke dalam gua batu itu. Yang ternyata memiliki tangga mengarah turun setinggi kira-kira entah berapa meter jauhnya menuju ke sebuah… entahlah gelap sekali di dalam sana. Namun terdengar seperti suara air.
Mungkinkah itu sungai bawah tanah tempat aku berada tadi? Kembali pada tempatnya kini, ada sesuatu yang aneh mengelilingi tempatnya berpijak.
Apakah itu…?
Laya baru menyadari kalau ada lingkaran besar berwarna biru yang – ia mengikuti ke mana arah lingkaran itu dengan pandangannya – mengelilingi tempatnya berdiri dan kuil itu. Terlalu banyak yang mengisi pikirannya dalam waktu yang dirasanya singkat. Padang ilalang, hutan kecil, sumur, air, makhluk-makhluk aneh, kuil dan kini lingkaran biru.
Apakah semuanya nyata? Dan di mana aku sebenarnya?
Laya mencoba berdiri dan kembali mengamati hutan itu. Namun kepalanya yang masih pusing memaksanya untuk duduk kembali.
Pasti. Ini bukan hutan yang sama yang kumasuki siang tadi. Ini hutan yang besar. Hutan ini terlihat sangat tua dan terasa aneh. Ada bunga-bunga yang berwarna sangat semarak dan berbentuk asing di sana, daun-daun besar yang tumbuh dari sebuah pohon, akar yang menjulang dan panjang menjulur rmembentuk sosok-sosok aneh atau suara-suara burung yang terdengar sangat asing. Tapi di sini terasa sangat damai dan berwarna. Bukan. Ini bukan hutan kecil dimana aku berada tadi. Dan tidak ada sumur yang menelanku. Ini pasti tempat lain. Tapi siapa yang membawaku ke sini?
Lalu di bawah, ia melihat pedang patah miliknya. Pedang itu tersembunyi di balik dedaunan kering di luar lingkaran biru. Ia pasti terlempar bersamaan dengan diriku yang terlempar kemari. Laya mencoba berdiri dan mengambil pedang itu. Ia kembali melihat lingkaran itu.
‘Lingkaran apa ini?’ lalu,
SRRRREEEK! Brrrrhm….
Cepat mata Laya mencari apa yang menyebabkan suara tadi. Laya berlari ke arah datangnya suara yang diyakininya. Ia yakin ada di balik sebuah pohon yang besar di hadapannya. Ketika ia melihat ke sana, tak ada siapa-siapa di sana. saat ia berbalik, tiba-tiba ia seperti melihat sesuatu di sana. Seseorang.
Layaaaa…
Suara itu, seperti suara yang kukenal.
Layaaaa, kemarilah…
Ibu! Itu ibu! Ia yakin sekali itu suara ibunya. Terus ia mengejar ke arah datangnya bayangan tadi.
Ibu, itu memang dia, ia memakai blus kuning yang sering dikenakannya.
‘Ibu! Ibu di mana?’ ia memanggil ibunya, berharap agar suaranya dapat didengar.
‘Ibu di mana? Ini Laya. Ibu di mana?’ kembali ia memanggil agar ia dapat menemukan jejak ibunya.
‘Ibu, Laya ingin ikut ibu. Ibu di mana?’ ia mulai cemas, sosok bayangan yang dilihatnya tadi tidak ditemukan lagi. Bayangannya kembali kepada kenangan antara dirinya bersama ibunya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Shreeeek! Kembali terdengar suara. Dirinya telah jauh kini dari tempat di mana ia sadar tadi.
Sekilas tampak bayangan lewat. Tidak kelihatan rupanya namun jelas itu seperti seorang permpuan. Blus kuning yang dipakainya dan gerai rambut ikal panjangnya jelas terlihat oleh Laya.
‘IBU! INI LAYA, IBU TUNGGU!’ kembali ia mengejar dan bayangan itu kembali hiulang di antara rimbunan dedaunan. Lalu kembali terdengar suara.
Breeeeeeikkk…!
Apa itu?Ibu kau di mana? arah suaranya datang dari belakang.
Dia hanya melihat daun-daun bergesekan dan bergerak menyeruak. Ada satu sosok yang bergerak cepat di balik semak. Cepat sekali sehingga ia tidak dapat menangkap sosok apa itu tadi.
Shreeek! Grrrrrr….
Suara itu kembali terdengar, bahkan seperti bukan itu saja, suara yang sama kini terdengar dari arah yang lain lagi. Laya berpaling, matanya menangkap sesuatu yang bergerak tak jauh dari dirinya tapi ia tidak bisa memastikan itu apa. Semuanya tertutupi oleh rimbunan daun dan ranting.
Braak!
Ada sosok lainnya dari arah berlawanan. Sosok yang bergerak sama cepatnya. Dirinya mulai cemas.
Ibu, itukah dirimu? Mengapa Ibu bisa bergerak secepat itu?
Perlahan matanya dapat menangkap sesuatu yang bergerak perlahan. Lalu telinganya mendengar seperti suara menggeram. Ia benar-benar cemas kini. Bayangan itu berwarna keperakan dan berjalan perlahan mengitari di antara semak-semak di hadapannya. Ia palingkan wajahnya. Bayangan yang satu lagi juga terlihat sama. Terkadang ia diam, terkadang ia bergerak, terkadang ia menghilang. Namun ia tahu bayangan itu sedang memperhatikan dirinya.
Apa itu? Apa mau mereka? Ada dua. Apakah masih ada yang lain lagi, ada berapa banyak mereka semua?
Telinganya yang kemasukan air juga membuat dirinya bingung sehingga tidak dapat menentukan di mana pastinya makhluk-makhluk itu bersembunyi. Matanya masih berusaha mencari-cari apa yang bergerak sangat cepat itu dari balik semak. Lalu ia teringat dengan dua sosok bermata hitam besar berambut panjang yang mengerikan yang menarik dirinya di dalam sungai bawah tanah lalu.
Hah! Mungkinkah itu mereka? Dua makhluk air aneh itu?
Ia kemudian berdiri, mencoba berlari dari tempatnya berada. Pikirannyapun dipenuhi dengan beragam kilasan dan ingatan tentang banyak hal. Pikiran-pikiran buruk tentang kamar, dirinya dan pamannya kembali terulang. Lalu ada ibu di sana. Ibu yang sedang tersenyum memakai blus berwarna kuning.
Ibu tadi ada di sana, sekarang engkau di mana? Ibu…
Kini air matanya sudah jatuh. Ia ketakutan. Dan bayangan-bayangan itu seperti mengikutinya. Ia dapat mendengar suara-suara dari beberapa sudut di belakangnya sedang menginjak ranting dan daun kering. Dan derap-derap beraturan seperti kaki-kaki yang berlari. Ketika Laya berhenti mereka ikut berhenti, ketika Laya berjalan walau perlahan, mereka juga bergerak perlahan. Mereka mengikuti.
Kemana aku harus pergi? Aku tak tahu hutan ini.
Hutan itu sangat luas, dirinya terus berlari ke arah mana saja yang dia rasa perlu. Perasaannya masih mengatakan kalau ada yang mengikutinya dari belakang. Bayangan-bayanagan itu. mereka ikut mengejar dirinya. Suara-suara kaki berlari itu masih terdengar olehnya. Dan itu bukan dirinya.
Dirinya ketakutan, kembali melintas di benaknya beragam kilasan yang pernah dilaluinya. Dan kali ini berputar semakin kencang di hadapannya. Wajah pamannya, wajah ibunya saat ia terbaring tak bernyawa, ibunya yang memangkunya dan bercerita tentang putri dan raja. Elias, sekolahnya. Boneka kelinci lusuhnya. Darah dari selangkangannya. Perasaan yang mengatakan ia tak mau lagi mengalami saat-saat itu. Semuanya seperti berputar terus dan terus di hadapannya. Air matanya masih mengalir. Ia mencoba berlari dengan kakinya yang telanjang.
Tuhan tolonglah aku, selamatkan aku dari apapun yang mengejarku.
Sementara dirinya sendiri masih terasa lemas, perutnya berbunyi karena lapar. Tapi ia harus terus berlari menghindari entah apa itu yang mengejarnya. Yang jelas ia tidak mau berada di dekat mereka.
Hingga …
Tuk!
Kakinya menyenggol sebuah akar pohon yang timbul hingga dirinya terjatuh. Dengkulnya berdarah dan memar. Perlahan ia mencoba berdiri sambil menahan sakit. Namun bulu di tengkuknya lalu berdiri seiring ada suara yang menyeringai di belakangnya.
Ia tahu ada sesuatu yang salah yang sedang menantinya di belakang. Perlahan ia mencoba melihat. Ketika ia berbalik dirinya telah mendapati tiga ekor serigala yang memiliki taring yang panjang dengan liur yang menetes keluar sedang melihat lapar ke arah dirinya. Mereka menggeram. Kuku kaki mereka hitam dan panjang yang terjulur keluar dan siap siaga untuk menerkam dan mencabik dagingnya. Hidung mereka mengembang dan mengempis karena nafas yang mengendus cepat seakan bau dirinya adalah bau daging segar yang paling lezat yang takkan mereka dapatkan lagi dalam waktu yang lama. Laya akan menjadi santapan yang nikmat bagi mereka.
Grrrhh… seakan mereka menggeram saling bersahutan satu dengan yang lainnya. Laya sangat ketakutan kini. Ia tidak berani bergerak, ia tahu sedkit saja bergerak akan sangat bahaya baginya, walaupun sebenarnya, diam atau tidak, serigala-serigala itu akan tetap memangsanya.
Badan mereka ternyata lebih besar daripada yang Laya perkirakan selama ini apalagi bagi dirinya yang masih berusia dua belas tahun. Tapi mereka bukan serigala yang biasa dilihatnya di televisi yang berwarna coklat keemasan atau hitam putih seperti serigala salju, mereka berwarna abu-abu keperakan yang mengkilat, atau memang ada species serigala yang berwarna seperti itu? entahlah, dan ekor mereka pendek podol seperti terpotong. Telinga mereka tegak berdiri dengan sedikit bulu-bulu yang lebih panjang dari yang lainnya terdapat di puncak telinga.
Dan mata mereka, mata mereka berwarna putih dengan garis-garis urat merah namun tak memiliki hintik hitam apapun di sana dan terlihat sangat kejam bagiku.
Setidaknya itulah yang tampak oleh Laya. Satu hal yang pasti, mereka telah sangat siap untuk menerkam dirinya yang tak mampu bergerak lagi.
‘Hhhhh, pergi kalian… husss huusss. Biarkan aku. Hhhhh.’ Laya mencoba mengusir mereka dengan nafas yang tinggal satu-satu. Tangannya menyabetkan pedang patah itu pada mereka, sama seperti sewaktu ia melakukan itu pada makhluk-makhluk air. Sementara matanya tetap menatap pada para serigala itu. Tapi sepertinya hal itu tidak membuat para serigala untuk mundur, seperti magnet mereka malah menyalak dan semakin tertarik untuk mendekat.
‘Hrrrgggh…’
Sambil menggeram, secara perlahan mereka bergerak membentuk lingkaran untuk mengepung Laya. Terkadang mereka seperti berniat untuk maju dan kemudian mundur lagi dan maju lagi. Seperti ada sesuatu yang menyuruh mereka untuk menahan nafsu mendekat. Tapi sepertinya mereka berhasil memastikan bahwa korban mereka sudah tidak berdaya dan takkan lari kemana-mana. Laya terkepung. Di belakangnya terdapat sebatang pohon yang menahan lajunya, dan kini ia menempatkan dirinya seakan-akan sebagai papan sasaran yang siap di lempari pisau oleh orang-orang.
Tepat di saat salah satu di antara mereka hendak menyerangnya, tiba-tiba terdengarlah suara nyaring seperti ringkikan yang diiringi dengan derap kaki, seperti kaki kuda yang mengagetkan serigala-serigala itu..
Hingga…
BRUK!! PLAK!
Dan entah terkena serangan dari mana, tiba-tiba seekor serigala terlempar jauh dari tempatnya semula diikuti oleh serigala kedua ke arah yang berlawanan. Laya hanya melihat sekelebatan sosok yang menyebabkan kedua serigala tersebut tak berkutik. Nampaknya seperti seorang penunggang kuda yang duduk di atas kuda besar dan gagah yang menghalau para serigala dengan pedangnya. Tapi ia tidak melihat lebih lama karena ia sibuk menutup matanya dari pertarungan yang sedang terjadi. Ia berteriak-teriak ketakutan.
Penunggang kuda dan serigala itu masih bertarung di dekatnya, serigala ketiga yang melihat kedua serigala temannya telah dapat diatasi maka ia merasa tidak senang dan mencoba fokus dengan tujuannya semula, menerkam Laya. Dari hadapan si penunggang kuda, ia berbelok arah menuju ke arah Laya.
Hup!
Serigala itu melompat pasti ke arahnya. Laya tak sanggup melihat makhluk itu. Serigala itu bergerak tepat di hadapannya, gigi-giginya sudah sangat siap untuk mencabik-cabik tubuhnya. Laya memekik dan masih memalingkan kepalanya menghindari serangan walaupun ia merasa itu tidak mungkin. Namun sebelum Laya sadar apa yang akan menimpanya, sebuah bayangan bergerak cepat disertai dengan hentakan kuat tepat di kepala dan dada serigala ketiga yang segera menghentikan langkahnya untuk menyerang. Ia masih belum menyadari situasinya namun untuk sementara kembali Laya aman.
Serigala ketiga itu kini tak jauh berbeda dengan kedua temannya. Terjengkang jauh dari tempat Laya jatuh. Si penunggang kuda itu sendiri dapat mengambil nafas sejenak dari jeda pertarungan itu. Perlahan Laya hanya melihat kalau penolongnya itu adalah sesosok penunggang kuda yang dapat bergerak cepat, yang,…
Ya ampuuuun… apa dia?! Mata laya membelalak meyakinkan benarkah yang dilihatnya.
Tapi kedua serigala yang lain ternyata dengan cepat kembali dan sigap. Mereka mencoba menyerang penunggang kuda itu sekarang. Si penunggang kuda yang telah siap kembali, dengan sigap mencoba menghindar serangan si serigala hingga akhirnya menebaskan pedangnya yang membuat kedua serigala menjadi ragu untuk menyerang dan mendekat pada Laya.
Lalu kuda penolongnya itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya seolah hendak memperingatkan serigala-serigala itu untuk pergi menjauh dari Laya dan itu berhasil. Kaki-kakinya berderap menimbulkan debu di sekitar mereka. Dan Laya melihat hal itu dan … penunggang kuda itu.
Apa itu …? Dia …??
Serigala-serigala itu pergi berlari menjauh, menghilang di antara rerimbunan meninggalkan Laya dan penolongnya. Hingga kemudian sang kuda penolong itu berbalik ke arah Laya dan jelaslah sosok sebenarnya ia.
Kau …?!!
Laya mundur dari tempatnya. Ia semakin terpojok kini di batang pohon itu. Dirinya masih tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Laya hanya menatapnya dengan terpaku dengan pandangan matanya sendiri.
Apakah ini nyata atau tidak. Siapakah dia? Atau apakah engkau? Apakah kau nyata adanya. Kau…
Kini ia tidak yakin apakah serigala yang menyerangnya atau sosok di depannya yang harus di waspadainya sekarang.
Sosok penunggang kuda itu kini berdiri di hadapannya.
Sosok penunggang kuda yang… ternyata kuda itu sendiri. Ia membelakangi sinar matahari hingga tubuhnya membentuk siluet di hadapan Laya, tetapi Laya masih dapat melihat jelas bagaimana ia sebenarnya.
Tapi itu bukanlah semuanya, itu hanya bagian bawahnya saja. Tak ada kepala seekor kuda di sana. Yang ada sesosok lelaki yang... pinggangnya menyatu dengan badan seekor kuda yang seharusnya bagian dari sebuah leher, bagian seekor kuda, leher ke atas sosok itu adalah… apa yang hendak dikatakan oleh benaknya kini, ia sendiri juga tidak yakin. Dirinya masih berusaha merangkai kata-kata untuk menyusun kalimat yang benar mengenai sosok apa yang sedang berdiri di hadapannya.
Lelaki itu menatap tajam ke arah Laya kini, menatap serius dengan kerisauan. Tangannya terjulur ke hadapan Laya. Sungguh Laya terperangah dengan apa yang ada di hadapannya. Ia seorang lelaki kuda.
‘Ħah! Sosok centaur, aku tahu!
Terima kasih telah memasukkanku ke dalam ceritamu Scorpio.’ Sagitarius segera berteriak karena ada karakter dirinya masuk ke dalam cerita Scorpio.
‘Ya, Sagi, tapi bukan sepenuhnya seperti dirimu.’
‘Apa maksudmu? Centaur is centaur.’
‘Iya. Tapi tetap saja, ini bukan sepenuhnya dirimu.’ Scorpio lalu melanjutkan ceritanya.
‘Hey, di mana pun cerita itu berasal, di mana pun kisah itu diceritakan, seperti yang kubilang sosok centaur tetap centaur. Tak ada yang bisa mengubah itu.’
‘Ya ya baiklah, tapi bisakah kau diam agar aku dapat melanjutkan ceritanya?’
Sagitarius diam, kaki depannya mengetuk-ngetuk tanah pertanda kesal.
Ļaya menatap lelaki kuda itu lekat.
Pada awalnya ia merasa takut, tetapi kemudian ia merasa terbiasa dengan pandangannya.
‘Ayo naiklah ke punggungku!’ Laya hanya terdiam.
‘Ayo, cepat! Waktu kita tak banyak gadis kecil!’ Laya masih terdiam terperangah.
Hingga kemudian Lelaki kuda itu mencengkram tangan Laya dan menaikkannya ke atas punggungnya hanya dengan satu tangan.
‘Kita belum aman dari mereka. Sekarang berpegang eratlah padaku.’
Laya kini berpegang erat pada lelaki kuda itu di atas punggungnya. Tangannya mencengkeram bukan leher tetapi pinggang sang lelaki kuda. Ia tidak dapat leluasa memegang pinggang itu karena di sana juga ada sebuah busur yang di sandang sebagai senjatanya. Laya kemudian di bawa berlari mengikuti arah yang di pilih oleh penolongnya itu. Sungguh, ia dapat berlari kencang sekali. Juga dapat menghindari ranting dan pepohonan yang melintasi jalan mereka.
Bila lelaki kuda itu sigap, tidak halnya dengan Laya, walaupun ia berada di belakang badan sang lelaki kuda, tetap saja ia tidak dapat menghindari ranting dan semak yang terasa tajam mengenai tubuhnya. Ujung dan punggung bajunya koyak tersangkut oleh ranting-ranting itu. Tapi tetap saja hal itu tidak berarti apa-apa bagi lelaki kuda. Ia terus saja berlari berusaha menyelamatkan mereka berdua.
‘Mereka tidak akan begitu saja melepaskan buruan mereka. Kau tidak dapat melukai mereka hanya mengandalkan pisau kecil itu. Mereka akan kembali.’
Betul saja, ketiga serigala itu kini sudah siap siaga lagi. Mereka telah ikut berada di belakang, menyeruak menghindari akar dan semak pepohonan mengejar lelaki kuda dan Laya. Laya tak menyangka kalau sedari tadi mereka hanya bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat untuk dapat kembali dan menyerang lagi.
Lelaki kuda terus saja berlari mencoba menghilang dari serigala-serigala itu, walaupun sebenarnya ia tahu hal itu sepertinya tidak mungkin. Mereka tidak akan dapat menghilang begitu saja tanpa mangsa mereka. Hingga akhirnya sampai di tempat yang sedikit terbuka, langkah lelaki kuda terhenti dan ia berbalik arah dengan sigapnya. Sungguh ia sigap. Ia dapat menjaga keseimbangannya dengan sangat baik sekali padahal ia membawa perlengkapan perangnya dan tentu saja Laya yang berada di atas punggungnya.
Ia berbalik dan langsung menuju ke arah serigala-serigala itu dengan pedang di tangannya. Tentu saja serigala-serigala itu tidak menyangka akan serangan dadakan itu. Mereka gugup dan mencoba untuk berhenti dan berbalik arah tetapi tak sempat. Salah satu dari mereka terkena sabetan pedang sang lelaki kuda dan yang lain untungnya dapat menghindar. Laya tetap berada di atas punggungnya sambil menutup mata karena takutnya. Salah satu serigala mencoba membelakangi lelaki kuda itu tapi malang baginya, perbuatannya diketahui. Kaki belakang sang lelaki kuda langsung bergerak menyerang, menendang dada dan kepala si serigala hingga ia terpental jauh dari teman-temannya. Tapi ternyata yang dua lagi juga cukup sigap, saat mereka melihat temannya terpental mereka langsung menyerang lelaki kuda dan mencoba melukai dengan taring atau cakar yang mereka punya.
‘Grrrrghh….’
Lelaki kuda tak sempat mengelak dengan baik. Kaki depannya terluka oleh sabetan cakar salah satu penyerangnya, beruntung serigala yang lain sempat dihindari sehingga luput melukainya, walau hampir saja merobek betis Laya yang terbuka.
Laya menutup matanya, ia bersembunyi di balik punggung sang lelaki kuda. Tangannya masih memegang erat pinggang penolongnya itu.
‘Arrgggh…’ Lelaki kuda itu mengerang menahan perih pada kaki depannya.
‘Cukup sudah!’
Ia berbalik dan balas menyerang mereka. Kedua serigala itu juga sudah siap menyerang kembali. Seperti di komando, dalam satu hentakan. Ketiga pihak yang bertarung bergerak bersamaan.
‘Hiyaaa!’
‘Rrrgh…’
Lelaki kuda mengayunkan pedangnya, salah satu serigala dapat menghindar dari tebasan. Tapi …
CESSS… BRUUK!
Malang bagi serigala yang lain. Lelaki kuda itu dapat menebas putus kepalanya dan kini kepala itu menggelinding berpisah dari badannya dan berhenti tepat di bawah kaki temannya, serigala pertama yang terpental karena tendangan lelaki kuda.
Laya terpekik. Ia dapat melihat darah mengucur deras keluar dari leher yang terpisah dari badan serigala itu, menggenang di bawah kepala. Kepala itu masih bergerak, dan mata dan lidahnya masih berkedip dan bergerak seakan masih belum menyadari bahwa kini ia telah terpisah dari badannya.
‘Hiyaaa….!’ Lelaki kuda itu berteriak, mencoba menggertak.
‘Majulah kalian!’
‘Grrrrrrh…’
Kedua serigala yang tinggal masih menggeram. Mereka masih belum mau pergi dari tempat pertempuran.
‘Ayo maju. Hiyaa…!’ Kali ini ia berteriak sambil mengangkat kedua kaki depannya. Dan malang, Laya terjatuh dari dudukannya.
Lelaki kuda itu gugup. Ia berusaha menjangkau Laya kembali tetapi ia juga terdesak oleh para serigala. Laya segera bangun dari jatuhnya dan merapat pada sebuah batang pohon. Kini dihadapannya lelaki kuda dengan pedangnya dan kedua serigala besar yang siap menerkam mereka berdua. Tetapi kemudian kedua serigala itu saling menjauh, seperti mengisyaratkan satu orang satu buruan. Lelaki kuda tak dapat berbuat banyak ia mencoba mundur untuk lebih mendekat kepada Laya tapi ia juga sadar kalau ia tak dapat bergerak cepat untuk kedua serigala demi menjaga Laya. Hingga kemudian. Serigala yang di kiri mencoba menerkam dan mengakibatkan lelaki kuda mengarah padanya dan menyabetkan pedangnya. Tapi keliru, itu hanya trik dari serigala. Ia hanya menggertak agar perhatian si lelaki kuda terpecah. Serigala yang di kanannyalah yang bergerak cepat dan menggigit kaki belakangnya. Lelaki kuda itu berteriak dan ia mencoba mengibaskan kakinya dan pedangnya untuk melepaskan gigitan. Laya terbuka. Serigala yang di kiri kini merangsek maju dan siap menerkam Laya.
‘Lari!’ lelaki kuda masih sempat berteriak padanya.
‘Lari! Selamatkan dirimu.’ Ia terluka tapi masih menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri untuk kedua serigala.
Serigala semakin jarak terkamnya.
‘Larilah! Aku masih…’ Laya bingung, giginya menggemeretak tak tentu. Ia tak lagi menghitung. Hingga ia rasakan tangannya bergetar. Pedang itu bergerak.
‘Ghoooarrrr!’ Serigala itu menerkam kini dan Laya tak sanggup melihat.
TEP!
Dalam dunia Laya, sesaat semua hening. Ia tak dapat mendengar apa-apa lagi. Ia masih menutup matanya tapi ia merasakan sakit pada tangan dan pipinya dalm gelap pandangannya, ada titik cahaya seperti kunang-kunang yang beterbangan di sudut-sudut pandangannya.
Perlahan-lahan pendengarannya seperti kembali, seperti volume televisi yang sedari awal bisu kemudian menjadi bervolume normal. Lalu ia membuka matanya sangat perlahan. Dan memalingkan wajahnya ke depan. Ia dapat melihat tangan kanannya yang teracung ke depan, dan berat, seperti mengenai sesuatu. Dan di ujung tangan itu, pedang patah itu menancap pada leher si serigala tepat membelah kerongkongannya dan menembus tengkoraknya. Darahnya mengucur deras membanjiri pedang dan tangan Laya. Matanya putihnya masih membelalak dan Laya masih dapat melihat kakinya menunjang-nunjang tanah dan perutnya yang naik-turun. Tangan kirinya berhasil menggores lengan Laya dan tangan kanannya menggores pipi laya. Tapi cuma itu, rasa sakit dan ketidakberdayaannya untuk bergerak bebas hanya membuatnya mengapai-gapai ruang kosong kini. Laya masih belum habis pikir bagaimana ia dapat bergerak cepat secara refleks seperti itu dan mengakibatkan satu serigala terbunuh. Lalu,
Ces!
Kedua tubuh serigala itu terbelah dua. Bagian pinggang ke atas masih menempel pada tangan dan pedang Laya sementara pinggang ke bawah telah jatuh ke tanah. Lelaki kuda yang menebasnya. Dan di sana, Laya melihat serigala satu lagi telah mati terlebih dahulu.
‘Kini mereka tidak akan menggangumu lagi.’ Katanya pada Laya yang masih terdiam. Lelaki kuda itu kemudian menyingkirkan sisa tubuh serigala pada pedang Laya hanya dengan menggesekan pedangnya pada pedang Laya saja.
Ia menyimpan pedangnya dan menurunkan tangan Laya. Laya yang masih syok hanya menuruti saja. Giginya bergemeretak deras sekali sampai lelaki kuda itu dapat mendengarnya. Tapi Laya masih diam saja.
‘Tarik nafasmu dalam-dalam nak.’ Laya melakukan apa yang si lelaki kuda perintahkan. Untuk beberapa saat kemudian ia dapat bernafas dengan tenang.
‘Semua akan baik-baik saja. Ayo. Kita pergi dari sini.’ Lalu ia menaikkan Laya ke atas punggungnya hanya dengan satu tangan.
‘Kita harus segera pergi dari sini sebelum gelap.’ Ia bersiap untuk berlari tapi,
‘Tunggu tuan!’ lelaki kuda itu menghentikan langkahnya.
‘Mengapa?’
Dan Laya turun dari punggung penolongnya itu,
‘Hei, apa yang kau lakukan? Naik ke punggungku kita pergi dari sini.’
‘Tuan, kau terluka.’ Sesaat lelaki kuda itu terdiam dan heran,
‘Tidak apa-apa hanya luka gores kecil, sekarang naiklah.’
Tapi Laya tidak beranjak. Ia merobek ujung bajunya yang koyak tak beraturan dan menjadikannya sebuah potongan panjang untuk membuat suatu perban yang dapat melingkari luka lelaki kuda. Dan mencari potongan kain lainnya dalam ranselnya untuk ia buat perban yang lain. Kemudian ia membalut luka itu dan menyimpulnya untuk menghentikan darah yang keluar. Lelaki kuda masih tidak mempercayai apa yang dia lihat.
Anak ini mengalami syok dan hampir mati, dan ia masih memberikan pertolongan padaku.
‘Terima kasih.’ Katanya pada Laya.
‘Tidak, aku yang berterima kasih padamu tuan karena telah menyelamatkan aku dari serigala-serigala itu.’ Lelaki kuda itu tersenyum,
‘Namaku Xëylon. Dari golongan Chlom. Namamu?’
‘Laya.’
‘Salam, Laya, senang berkenalan denganmu. Kau pasti makhluk Dunia Atas. Selamat datang di Dunia Tengah.’ Dan lagi lagi ia tersenyum menampakan gigi putihnya yang tersusun rapi sempurna.
‘Terima kasih.’
‘Hutan ini tidak aman bagimu, apalagi hari sudah mulai gelap. Ayo ikut denganku ke Aragulli. Kau akan aman di sana.’
‘Aragulli?’
‘Iya. Ayo naiklah ke punggungku.’ Kemudian ia menaikkan Laya ke punggung kudanya. Cukup sekali sentakan satu tangannya, Laya telah berada di punggungnya. Xëylon adalah sosok yang mirip dengan centaur.
Xëylon memiliki badan tinggi besar berwarna hitam mengkilap, dan badannya itu adalah badan seekor kuda yang besar. Ia berbadan kuda dari pinggang ke bawah tetapi memiliki sosok manusia ke atasnya. Ia memiliki wajah tampan dengan rambut hitamnya yang terkadang jatuh lemas menutupi dahinya. Badannya yang kekar terbungkus rompi kulit berwana hitam yang pas melekat di badannya. Ada semacam simbol di bagian dadanya. Pada pergelangan tangannya juga terdapat kulit pembebat dengan strap-strap yang mengikatnya. Walaupun ia manusia-kuda namun tubuh kuda Xëylon tidaklah seperti kuda layaknya, tubuhnya yang besar liat adalah tubuh kuda, Xëylon memiliki bulu yang tebal hitam mengkilap seperti layaknya Llama. Ekornya juga tidak panjang bersurai seperti kuda tetapi lebih pendek sedikit dan berbulu layaknya Llama. Sementara kuku-kukunya terbuat dari logam, dan itu kerap menimbulkan percikan api bila mereka berlari kencang. Di punggungnya terselip sebuah busur yang terbuat dari kayu eik. Sedangkan pada pinggangnya terselip sebuah pedang yang bentuknya tidak seperti pedang umumnya yang lurus panjang.
Mungkin itu hanya pisau yang aneh. Pikir Laya
‘Ayo, karena tadi ingin menyelamatkanmu, aku meninggalkan bawaanku di bawah pohon sana,’ ia lalu membawa Laya ke tempat yang dituju. Dua buah tas besar berada di bawah pohon tersebut,
‘Bekal dan yang lainnya,’ katanya pada Laya. Ia lalu menambat bawaannya tersebut di badan kudanya dan mengikatnya erat. ‘hey, kemana sepatumu?’ tanyannya lagi.
Laya teringat kalau dirinya tidak memakai sepatu lagi,
‘Pasti tertinggal di … sana.’ katanya merujuk pada Dunia Atas.
‘Hmm… baiklah, pegang yang erat ya, kau akan kubawa seperti mengendarai angin, ha ha ha...’
Laya dibawa berlari di atas punggung Xëylon. Kedua tangannya memeluk punggung Xëylon dari belakang. Xëylon benar, ia dapat berlari kencang sekali seperti angin dan seakan-akan tidak terpengaruh dengan beban yang dipakainya juga Laya yang berada di punggungnya. Selama sepuluh menit mereka berlari, kemudian mereka dapat keluar dari hutan itu dan kini melintasi padang rumput yang luas.
Xëylon memperlambat jalannya, kini ia hanya berjalan. Padang rumput itu sangat luasnya. Sejauh mata memandang hanya rumputan yang mengeluarkan bunga jingga dan kuning di sana-sini. Di ujungnya terlihat barisan pegunungan dan bukit yang berwarna biru suram. Padang ini terasa hampa. Hanya rumput dan rumput lagi. Terus seperti itu selama setengah jam ke depan. Xëylon juga tidak bericara, jadi mereka hanya mendengar deru angin yang melintasi telinga mereka. Tak lama kemudian mata Laya menangkap banyak struktur besar berwarna putih jauh di depan mereka. Sekilas mirip batu namun banyak rongga padanya. Bentuk itu terlihat jelas ketika mereka mendekat. Kerangka. Terlihat banyak kerangka binatang yang mati di tempat ini. Beberapa diantaranya bahkan sangat besarnya sehingga kau harus mendongakkan kepalamu untuk dapat melihat ujung ketinggiannya. Dan Laya berada tepat di bawah salah satunya. Kerangka itu sangat besarnya, kira-kira setinggi dua puluh meter ke atas. Xëylon berhenti untuk memberi kesempatan pada Laya melihat hewan mati itu dari dekat. Ia mengambil sebatang kelakanji dan menyelipkannya di antara giginya.
‘Binatang apa yang tinggi sekali ini tuan Xëylon?’
‘Gorgom. Mereka tinggal di gua-gua di bukit-bukit batu di seluruh pegunungan di Dunia Tengah. Mereka seringkali menjadi tunggangan sekaligus binatang yang dipakai sebagai senjata penghancur karena ukuran tubuh mereka. Tidak sembarang orang yang dapat menjinakkan dan menaiki mereka. Ini adalah Padang Shiir. Padang yang biasa dijadikan sebagai tempat pertarungan banyak pihak, termasuk binatang. Hanya sedikit sekali makhluk hidup yang mau berada di tempat ini kalau tidak penting sekali, bahkan untuk melewatinya saja. Serangga saja enggan menyentuhkan kaki mereka di tempat ini.
Bahkan kerangkanya saja setinggi ini, bagaimana tingginya mereka sewaktu masih hidup?
Benar yang dikatakan oleh Xëylon, banyak sekali terlihat kerangka berserakan di tempat ini. Yang kecil maupun yang besar seperti gorgom. Di suatu sudut terlihat oleh Laya sebuah tonggak yang pada ujungnya sebuah bendera yang telah kusam dan koyak tak beraturan. Terlihat layaknya sebuah panji perjuangan dari sebuah kelompok yang bertikai di padang ini dulunya. Dan dibawahnya terdapat sebuah kerangka dan sebuah helm prajurit, kerangka seseorang,
Mungkin ia adalah seorang prajurit dulunya. Tapi apakah benar ia ‘seseorang’ karena ia tidak terlihat seperti layaknya manusia.
Di dahinya terdapat semacam tanduk, walaupun tidak panjang tapi cukup untuk menegaskan kalau ia terlihat seperti hewan, tetapi kerangkanya adalah manusia.
Makhluk apa itu? Aneh sekali? Lalu terpikir olehnya Xëylon,
Bagaimana dengan Tuan Xëylon?
Ia tidak terlihat seperti manusia seutuhnya. Ia berbadan kuda yang aneh.
‘Tuan Xëylon, di mana aku sebenarnya?’
‘Ha ha, kau tidak menyimakku ya. Seperti yang kubilang tadi, ini adalah Dunia Tengah. Katakan saja Dunia Tengah adalah dunia lain yang berdiri sejajar dengan Dunia Atas, duniamu. Bangunan batu di hutan tempat kau berada pertama kali tadi, dengan sungai bawah tanah di dalamnya adalah pintu penghubung antara Dunia Atas, Tengah dan Dunia Bawah, tetapi tidak sembarang makhluk dari Dunia Tengah yang bisa atau pernah menginjakkan kakinya ke Dunia Bawah selain orang-orang yang terpilih. Tidak seingatku. Dan kami semua tidak mau tahu akan hal itu. Pintu penghubung dikelilingi oleh lingkaran biru suci, di mana setiap makhluk yang memiliki niat jahat takkan dapat melintasinya bahkan yang terkuat sekalipun, seperti semacam janji yang sangat bertuah yang tidak tertulis yang telah ada sejak pintu penghubung itu diciptakan. Bila para serigala itu dapat mengejarmu, itu karena kau telah melewati lingkaran biru suci yang mengelilingi pintu. Bila kau tetap di sana maka takkan ada sesuatupun yang dapat menjamahmu. Bila mereka memaksa masuk, maka mereka akan terpental atau terbakar, kecuali mereka menghapuskan niat jahat mereka dahulu dari pikiran mereka.’
Oooh, karena itu para serigala tadi bersembunyi melihatku. Itu karena aku masih berada dalam lingkaran suci.
‘Hei, bagaimana denganmu? Bagaimana kau dapat masuk dan menyeberang dari duniamu ke dunia kami? siapa yang membawammu ke sini’
‘Eeeeng, entahlah..’
‘Apa maksudmu? Apa kau tidak ingat?’
‘Seingatku, aku berada di sebuah hutan kecil dan aku ingin mengambil air dari sebuah sumur kecil yang terdapat di tengahnya. Aku memasukinya dan kemudian sumur itu menelanku. Dan ketika sadar aku telah berada di tempat ini.’
‘Hmm, cerita yang aneh. Tapi mungkin juga karena aku belum pernah memasuki duniamu. Bagaimana sebenarnya Dunia Atas itu Laya? Apakah indah? Baguskah? Ramaikah? Dari yang kudengar banyak hewan-hewan yang aneh yang memenuhi tiap jalanan. Dan makhluk dari rasku tidak akan dijumpai di sana? Benarkah begitu?’
‘Emm, ya, kurasa.’
‘Ha ha ha, kau terdengar tidak yakin.’
‘…’
‘Hei, apa kau lapar? Di kantung pelanaku sepertinya masih ada sisa bekal roti. Kau bisa memakannya bila kau mau.’
Satu tangan Laya lalu mencoba merogoh kantung pelana itu, dan benar, ada sepotong besar roti yang harum. Dan
Hmm…. rasanya enak sekali.
‘Xëylon, sewaktu aku berada di dalam goa, aku melihat ada yang menarikku di bawah air di goa itu. Mereka memiliki rambut panjang dan…’
‘Dan mereka memiliki badan setengah ikan, ya, mereka adalah para Keepak. Penjaga Pintu Penghubung. Mereka memang bukan makhluk yang ramah. Tapi mereka tidak terikat dengan kelompok manapun. Terkadang mereka juga terlihat muncul sekilas di danau-danau es di Arragulli. Atau di puylau-pulau karang Laut Mati. Kurasa merekalah yang menaruhmu di luar pintu penghubung. Mereka adalah makhluk mistis, walaupun mereka tidak terikat dengan kelompok baik atau buruk, tapi mereka bukan makhluk yang ramah. Apalagi pada pendatang asing yang berasal dari duania yang berseberangan dengan Dunia Tengah. Karena itu sebaiknya jangan dekat-dekat atau bahkan mengganggu mereka karena kau akan mendapat celaka. Takkan ada yang berani mengganggu para Keepak, bahkan Shylam dan anak buahnya.’
‘Shylam, siapa dia?’
‘Oh, tidak, tidak apa-apa.’ Xëylon memutuskan perkataannya.
Sementara Laya juga terpaku pada pemandangan alam Dunia Tengah dari atas punggung Xëylon dan mulutnya juga tak berhenti mengunyah roti di tangannya. Di kejauhan gunung dan bukit-bukit batu yang berdiri menjulang di kejauhan seperti hendak menjangkau langit. Sementara langit yang mulai gelap memancarkan cahaya merah di antara awan.
‘Sepertinya kita tidak akan sampai di Aragulli saat malam. Mungkin kita akan sampai esok pagi. Kalau itu yang terjadi, kita akan bermalam di suatu tempat. Jangan takut, aku akan menjagamu. Kau tenang saja Laya dan tetap berpegangan yang erat ya.’
Xëylon memacu larinya lebih cepat. Tujuannya sekarang adalah goa yang berada di kaki bukit di depan mereka agar dapat bermalam di sana. Padang rumput bukanlah tempat yang baik untuk bermalam. Udara malam di tempat terbuka dapat membuat mereka mati kedinginan. Ia tak dapat membayangkan bila anak sebesar Laya harus tidur di tempat yang dingin seperti padang rumput ini.
Hari telah gelap dan Laya kini sendiri di dalam goa tersebut hanya ditemani suara malam dan derak suar kayu yang terbakar api. Xëylon telah pergi selama setengah jam lebih, katanya ia akan mencari sesuatu yang lebih untuk makan malam nanti dengan berburu. Laya sudah tidak tahan, ia lapar sekali. Dua hari ini ia tidak merasakan makanan yang layak untuk perutnya. Tak lama kemudian bayangan seseorang perlahan mendekat, Xëylon telah kembali. Di tangannya kini terdapat beberapa ekor burung dan seekor kelinci. Mereka semua telah mati dan bahkan sudah dibersihkan. Betapa sigap ia melakukannya. Dan perkiraan itu benar adanya, ia memang seorang pemburu ulung. Setengah jam tadi ia meninggalkan Laya tetapi lihatlah sekarang apa yang didapatnya. Xëylon lalu membagi dua perapian tersebut di hadapan mereka. Hasil buruan itu kemudian di bakar di atas salah satu nyala api unggun di depan mereka, dan perapian yang satu lagi digunakan untuk menjerang air.
‘Engkau baik sekali padaku, tuan Xëylon.’
‘Hey, kau tidak memiliki siapapun di tempat ini selain aku kan. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu sendiri. Kalau kau tidak kutemukan kemungkinan besar kau akan diserang kembali oleh serigala-serigala tersebut atau mungkin hewan buas lainnya. Kau tidak akan pernah menyangka bagaimana hewan-hewan di sini dapat begitu mengerikan dengan bentuk mereka yang beragam.’ kemudian ia menyerahkan sepotong daging burung itu kepada Laya. Bukan rasa yang diharapkan oleh Laya begitu ia menggigitnya, tetapi untuk udara yang dingin dan perut yang lapar. Daging buruan itu sudah sangat sempurna.
‘Sekarang ceritakan mengenai dirimu Laya. aku masih penasaran dengan ceritamu. Mengapa kau bisa berada di sini? Mana orangtuamu? Apa kau lari dari rumah’
‘Engg… Aku sudah tidak memiliki ayah ibu lagi.’
‘... Oouw, jadi apakah kau tidak memiliki rumah juga?’
‘Aku tidak… tidak ada, aku tidak memiliki rumah lagi.’ Laya berbohong.
‘Baiklah, kalau kau sendiri sudah memilih jalan hidupmu dan merasa nyaman dengannya. Maka itulah yang harus kau jalani kan. Walaupun sebenarnya kau tahu bahwa tidak baik untuk pergi sendiri untukmu gadis kecil.’ Xëylon dapat merasakan kalau Laya berbohong padanya. Tapi ia juga merasa kalau keinginan untuk pergi datangnya dari Laya sendiri, dan ia harus menghargai itu.
‘Nah sekarang ceritakanlah padaku mengenai Dunia Atas.’ Laya tersenyum padanya. Hingga kemudian mereka terlibat dalam percakapan yang saling menyambung seakan-akan mereka adalah sahabat lama yang telah lama saling mengenal. Laya menceritakan ‘Dunia Atas’-nya dengan sangat bersemangat. Ada televisi di sana, gedung-gedung tinggi, mesin ini dan itu, dan semua yang diketahuinya.
Goa tempat mereka terlihat seperti lampu kecil yang berkelap-kelip karena bayangan yang bergerak dari kejauhan. Sementara di atas terlihat dua buah bulan menggantung di langit Dunia Tengah, yang satu berwarna biru dan yang satu berwarna merah redup namun keduanya tetap terlihat indah.
Şosok itu berjalan pelan perlahan.
Bukan, bukan berjalan, seperti terbang tetapi sangat tenang. Pakaian yang dikenakannya berwarna putih terang. Bukan seperti putih yang biasa kau lihat. Putih yang dikenakannya seperti cahaya. Ia seperti mengenakan cahaya itu sendiri. Setiap lantai yang dilalui kakinya yang tak menjejak kemudian terang, layaknya taburan bubuk yang berpendar dalam gelap secara perlahan hingga kemudian meredup, hilang. Dan lampu-lampu minyak yang ada dua sisi lorong gelap itu kemudian menyala hidup begitu saja di depannya untuk kemudian padam kembali bergantian begitu ia melewatinya. Kulitnya halus seperti pualam yang terus digosok dalam kasih. Jemarinya yang lentik menyentuh lembut tiap bongkahan batu hitam besar yang terpahat kasar pada dinding lorong saat ia berjalan. Rambutnya yang lurus panjang hitam kontras dengan pakaian cahayanya, jatuh terjurai menutupi sebagian wajah putih pucatnya yang halus mulus tak bercela. Matanya berwarna abu kehijauan yang bening lembut dengan tatapan yang dalam dan tua, setua gunung batu dan ribuan bintang dan ledakan-ledakannya, layaknya seorang saksi saat diciptakannya jarak antara timur dan barat. Sebuah cahaya kecil menunggu di depan di ujung lorong. Hingga kemudian ia mencapainya dan sampai di suatu taman yang penuh dengan pohon dan bunga di mana matahari dapat menyinari dengan sempurna. Di atas, awan bergulung-gulung seperti corong waktu yang mengarah entah kemana. Ada kilat yang saling menyambar dan sahutan guruh menandakan badai pekat yang akan datang. Suasana aneh bagai udara dingin kelu yang menghimpit sampai ke tulang rusuk dan pori-pori.
Bunga-bunga yang ada di taman itu terlihat indah, tetapi tanah dan bebatuan di sekitarnya bernuansa merah pupus murung terkena pantulan langit yang memerah yang melingkupinya dari atas. Paduan yang aneh antara bunga-bunga tersebut dan hawa merah tersebut membuat mata menjadi sakit dan menutupi indah tanaman di taman itu.
Tapi sosok itu tidak mempedulikannya. Ia tetap saja mengitari taman tersebut perlahan seperti mengambang. Menciumi bunga-bunganya dan mencabut daun-daun yang layu menggantung dari dahannya. Bibirnya menyunggingkan senyum ketulusan. Pancaran matanya menyiratkan keteduhan yang dalam. Langkahnya menciptakan pola-pola di antara pasir dan rerumputan. Sama seperti yang telah ia lakukan selama bertahun lamanya - atau mungkin beradab? -. Ia begitu menikmati waktunya di sana. Seperti tak ada satupun yang menghalanginya untuk menikmati keindahan pemandangan hari itu. atau keindahan hanya pada taman itu saja. Karena itulah taman terakhir yang dimiliki negeri itu setelah kegersangan bertahun-tahun lalu lamanya. Ia mendekat ke arah mata air yang jatuh mengalir di antara bebatuan dan semak. Kedua tangannya terpadu di depan dada dengan jari-jari yang saling bersentuhan. Perlahan ia julurkan sebuah tangannya mencapai mata air tersebut dan menangkupnya. Hawa dingin tercipta seketika membuat sebagian air dan batuan membeku. Ia lalu mencecap perlahan air dalam tangkupannya unrtuk kemudian meminumnya. Ia berkonsentrasi sejenak, matanya terpejam dan sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya. Sosok itu lalu berbalik dan memandangi setiap sisi tamannya dari tempatnya berdiri kini. Ia lalu berkeliling-keliling di taman tersebut untuk kemudian mendekati sebuah tungku besi sebagai penerang di tengah taman. Tungku itu berisi minyak yang menyala di atasnya dan berukuran sekitar-sepuluh-orang-yang-mampu-menggeser-nya di tengah taman. Dipandanginya tungku itu lekat hingga kemudian ia memetik sebuah tangkai bunga dan mencampakkannya itu ke dalamnya. Bunga itu membuat nyala api langsung membesar begitu menyentuh masuk ke dalamnya langsung terurai sudah menjadi karena minyaknya meninggalkan pusaran-pusaran yang melebar ke sisi tungku. Jilatan api yang menyala merefleksi pada pupil mata sosok cahaya tersebut. Seketika mata yang teduh kemudian berubah layaknya mata seseorang yang terluka dengan sangat dalam sedalam palung keabadian. Bibirnya yang semula menyunggingkan senyum kini berubah menyeringai menampakkan giginya yang menyimpan dendam setua jaman purba.
Ia kemudian berpaling meninggalkan tungku tersebut kembali ke tempat di mana ia datang semula. Tapi ia berhenti, kemudian ia berbalik menampakkan sisi lain wajahnya yang buruk penuh bekas luka dan menghitam yang ditutupi oleh rambut hitamnya. Ia mendengus dan dengan sapuan tangannya, ia balikkan tungku raksasa itu ke tanah hingga terjungkal menumpahkan minyak dan bara dari api yang menyala. Mengalir di atas bebatuan dan menghampiri bunga-bunga yang tak tahu apa kesalahan mereka. Sejenak kemudian taman itu telah berubah menjadi taman api dengan dendam dalam keheningannya. Setetes air jatuh dari mata sosok cahaya yang terpejam. Dan itu bukan air mata kesedihan. Giginya menggigit bibir indahnya hingga meninggalkan luka.
Ia lalu berjalan menjauhi taman itu kembali masuk pada pintu lorong tempat ia datang semula, tertunduk dalam kemurungan dan amarah. Tanpa melihat ke belakang, tangan kanannya lalu terangkat dan mengibas menciptakan angin yang seketika memadamkan semua api yang membakar taman. Hingga kemudian ia pergi menjauh lalu menghilang dalam hening lorong yang gelap selayak ia datang. Meninggalkan pemandangan hangus dan kepulan asap hitam di belakangnya. Udara yang berbau sangit di sekitarnya membuat nafas serasa sesak. Tetapi itu takkan ditemukan di tempat manapun kau berada di sana. Tidak juga akan dijumpai jejaknya.
Ħening. Semua terdiam.
Scorpio mengambil secangkir coklat panas di dekatnya dan meminumnya. Ia berdehem dua kali dan memandang ke arah langit. Masih belum tampak tanda-tanda cuaca akan baik. Langit terlihat kemerahan karena mendung, rintik air mulai turun satu-satu seiring dengan angin yang masih kencang seperti sore tadi.
‘Sepertinya hujan mulai turun. Tidakkah kalian dengar itu?’
Yang lain kemudian melihat sekeliling. Ya, hujan mulai turun, titik-titiknya mulai terdengar turun di antara pepohonan dan tanah.
Leo mengambil vodka yang ada di sampingnya dan menyiramkannnya ke dalam api unggun. Api kemudian membesar menyebarkan nyalanya di tempat mereka berkumpul.
‘Aku kira kau sudah tidak minum lagi?’ Tanya Gemini.
‘Memang, dan aku salah.’ Leo menjawab dengan entengnya.
‘Payah.’
‘Hei, aku sudah jauh mengurangi keinginan minumku ya. Ini adalah kali pertama aku menyentuh cairan ini. Kali pertama setelah setahun yang lalu.’
‘Kau tidak berharap aku percaya akan hal itu?’
‘Tidak, kau bahkan tidak tahu apa aku minum atau tidak kan selama ini. aku tidak berharap kau percaya tapi itulah yang sebenarnya terjadi.’
‘Aqua, hujannya…?’
Aqua melihat ke atas, hujan mulai deras kini. Ia lalu mengambil sebotol air mineral yang ada di sebelahnya, mengoyang-goyangkan isi botol yang masih penuh itu sambil mengucapkan mantra. Lalu dengan satu hentakan Aqua menyemburkan air tersebut dari mulut botol hingga ke udara. Air mineral itu dengan ajaibnya lalu membentuk suatu kubah raksasa yang membentengi tempat di mana mereka berkumpul. Kini seperti ada kubah kaca yang melindungi mereka dari terpaan tetes hujan yang jatuh.
Perlahan hingga menderas kemudian. Menebarkan bau yang sensual dan khas pada hidung. Membasahi apa yang dapat disentuh olehnya, tapi tidak di tempat mereka berkumpul. Hujan seperti tidak menyentuh tempat mereka berkumpul, bahkan tidak juga api unggun mereka. Tetes-tetes yang menderas dan mengalir itu jatuh mengikuti lekuk kubah yang dibuat Aquarius. Hanya angin kencang dan dedaunan yang jatuh yang terus menampar tubuh dan wajah mereka.
Tapi tidak tetes hujan.
Api yang marak kini telah mengecil kembali. Libra kemudian mengambil vodka Leo dan dengan tenangnya menyiramkannya pada api hingga marak kembali. Botol itu isinya hanya tinggal sedikit saja
‘Hey, itu…’
Tapi Libra diam saja.
Leo menghela nafasnya kemudian bangkit dari tempatnya.
‘Kau mau kemana?’ Libra bertanya padanya
‘Panggilan bisnis dari alam. Kenapa? Kau mau melihatnya?’
Libra terdiam. Pipinya memerah. Yang lain tersenyum sendiri.
Leo keluar dari kubah air seketika hujan membasahinya tapi ia tidak peduli. Kantung kemihnya seakan tidak dapat lagi menahan tekanan di dalamnya. Merangsek meminta untuk segera dikeluarkan.
Ia menuju ke semak-semak yang rimbun untuk kemudian melakukannya di sana.
‘Haaaah…’ kelegaan menyelinap. Ia teringat akan tingkah Libra tadi yang membuang minumannya. Ia kesal tetapi sebenarnya ia tahu Libra melakukan itu karena ia peduli padanya
atau ada perasaan lain?
Ia sempat melihat wajahnya memerah ketika menggodanya untuk melihatnya tadi
benarkah ada perasaan yang lain?
Leo tersenyum sendiri kemudian. Badannya yang besar telah basah oleh hujan.
Semuanya masih terdiam. Di dalam kubah Scorpio meneguk kopi pahitnya dan mengambil jeda sejenak. Tak lama Leo kembali dari bisnisnya.
‘Ayo lanjutkan ceritanya.’
‘Lanjutkan saja dulu tanpaku. Aku juga ada bisnis yang sama seperti Leo.’ Kata Sagi.
‘Kenapa kalian tidak melakukannya sama-sama saja tadi.’ Gemini perempuan protes padanya. Sagitarius hanya menyengir.
* * *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar