Selasa, 14 September 2010

Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ




PROLOG

Angin berhembus dingin.
Beberapa dedaunan kering dipaksa lepas dari tautan dahan dan terhempas terseret di jalanan. Hari ini matahari bersinar cukup cerah namun cuacanya lumayan dingin. Seseorang perempuan berdiri di antara yang lainnya di sebuah lampu penyeberangan menanti lampu tersebut berganti dari merah menjadi hijau.
Sebuah kantong belanjaan berwarna coklat terkepit di salah satu ketiaknya. Dirinya memandang pada seorang perempuan di depannya yang juga berniat untuk menyeberang. Perempuan itu mengenakan sweater rajut berwarna khaki dengan syal merah marun yang dijadikan penutup kepala yang ujungnya disematkan di dalam kerah sweaternya. Sebuah doctor’s bag berwarna senada dengan syalnya tergantung bersamaan dengan sebuah tas belanjaan di tangan kirinya. Ia memandang berganti-ganti dari depan ke arah lampu penyeberangan memastikan momen untuk menyeberang dari balik kaca mata hitamnya, menanti untuk dapat menyeberang jalan dengan aman, hal yang sama seperti yang dilakukan perempua pertama dan penyeberang lainnya di jalan itu.
Ia terlihat modis sekali. Kata perempuan pertama.
Sehelai dari daun-daun kering tadi jatuh terbawa angin dan menampar lembut pipinya. Tapi ia tak hirau. Tak lama lampu merah itu berganti menjadi hijau dengan lambang orang berjalan. Ia dan puluhan yang lainnya lalu menghambur bergegas menyeberang dan saling menyalip di antara satu dengan yang lainnya. Beberapa langkah saja dan kini ia telah sampai di seberang dan berjalan di pedestrian. Kini pandangannya lekat menatap ke depan ke arah Hagia Sophia yang terlihat megah dengan menara-menara dan kubah masifnya. Matanya terus memandang lekat, selekat keabadian dan seakan ingin menegaskan bahwa jiwanya turut berjalan seiring dengan usia bangunan indah itu pertama kali dibuat dan Konstantinopel sendiri. Sambil berjalan tangannya meraba udara kosong sementara pikirannya menuntun dirinya ke waktu masa ratusan tahun lalu seakan-akan ada dinding-dinding solid yang berdiri di sana. Ia mencoba merasakan kembali batu, kapur dan marmer yang pernah dirasakan oleh jari-jarinya.
‘Justinian I, seandainya kau melihat Konstantinopel yang kau tinggal pergi sekarang ini.’ Angin bertiup cukup kencang tiba-tiba hingga ia harus berhenti sebentar dan menunduk seakan takut ada debu yang akan masuk ke matanya. Agaknya ia lupa bahwa kacamatanya mampu melindunginya dari debu-debu halus itu. Ia mendengar sesuatu, sesuatu yang kecil ringkih dan memelas berulang-ulang. Suara mengeong yang berasal dari seekor kucing kecil tak jauh darinya. Ia melihat ke kanan dan kirinya, lagi kanan dan kirinya, belakang dan depan. Namun tetap ia tidak mendapatkan asal suara itu. Kini ia berjongkok untuk memastikan dari mana asal suara kecil itu berasal. Dan,
‘Di situ kau rupanya.’
Kucing kecil berwarna kuning putih berekor pendek itu tersembunyi di antara rimbunan semak pagar. Makhluk yang masih sangat kecil itu diperkirakannya berusia hanya sebulan setelah kelajhiran. Perempuan itu lalu meletakkan tasnya dan berjongkok mendekat. Tangannya lalu menjangkau ke dalam semak memasuki halaman sebuah taman. Matanya melihat ke sekeliling memastikan tak ada penjaga yang yang melihatnya. Namun beberapa orang melihat padanya dan bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan. tapi perempuan itu tak hirau. Begitu ia mendapatkan makhluk berbulu itu, ujung jarinya segera meraba letak leher dan mencekuh tengkuk makhluk kecil itu, dan ligat mengeluarkannya melalui celah pagar. Lalu ia mencari sebuah sudut di mana ia dapat berinteraksi lebih jelas dengan makhluk malang itu. Di ujung tangannya kini ada seekor kucing, tetapi terlihat cukup terawat.
‘Nah badung kecil, mana ibumu? Apa kau tidak pernah diajar untuk bersikap sopan hah kalau Ibumu pergi? Pernah berfikir tidak kalau ia sedang pergi mencari makan untukmu heh? Apa?! Ayo ngomong. Manaa suaramu yang kecil tadi.’ kucing kecil itu tak mengeong, kedua kaki belakangnya menekuk ke arah perut begitupun ekor pendeknya. Ia terlihat pasrah bila digendong dengan cara seperti itu. Tak bergerak tak bersuara.
Perempuan itu mencoba melongok lagi ke sisi dalam pagar. Matanya mencari sesuatu tapi ia tak menemukan apapun. ‘Kelihatannya kau anak tunggal ya?’ makhluk kecil itu masih mencoba mengeong tetapi hanya mulutnya saja yang terlihat bergerak sedikit.
Setelah puas mengelus, ia lalu mengembalikannya kembali ke tempat ia berasal dan merogoh kantong belanjaannya. Membuka plastik pembungkus rotinya dan menyobek sedikit bagian dan memberikannya pada kucing kecil itu. Kucing itu menciuminya sesaat untuk kemudian memakannya. Lucu sekali melihat kucing kecil itu memakan sedikit sobekan roti. Matanya terpejam sementara mulut kecilnya mengunyah dengan hati-hati. Perempuan itu lalu meninggalkannya begitu saja di sana. Baru dua langkah berjalan lalu ia berpapasan dengan seekor kucing betina yang perutnya masih menggelayut turun menandakan sehabis bersalin dan masih menyusu. Itu ibunya, pikirnya. Ia lalu berhenti sebentar untuk melihat pada kucing betina itu, dan benar ia menghampiri letak di mana anaknya ditinggal dan sekejap kemudian kucing kecil itu kembali mengeong nyaring seakan menyambut kedatangan induknya. Seulas senyum tersungging di mulut perempuan itu. Lalu ia melanjutkan jalannya. Matanya melirik pada bungkusan yang dibawanya, ia berpikiran untuk memakan saja paruhan roti yang tadi diberikannya pada kucing kecil itu. Toh ia juga merasa sedikit lapar kini. Di depan ada sebuah bangku taman, aku akan duduk di snan saja. Pikirnya. Hanya beberapa langkah kemudian, ia seperti mendapat firasat akan ada yang melintas sekejap lagi. Dan benar saja,
Libra, Jangan lupa pertemuan kita tiga hari lagi.
Perempuan yang di sapa dengan mana Liabra itu terhenti. Benar. Suara itu muncul tiba-tiba di telinganya begitu saja. Singkat dan seperti berbisik. Tak ada yang mendengarnya selain dirinya.
Aku tahu, Aku tidak lupa kok.
Ia membalasnya dengan suara dalam pikirannya dan kepala sedikit tertunduk, dan terus melanjutkan jalannya. Konsentrasinya sedikit terganggu hingga kemudian seseorang menabraknya,
Duk!
Ouch! Ia terkejut dan memekik sedikit. Bawaannya terjatuh berserakan.
‘Maaf…’ lelaki yang menubruknya itu lalu berlulut, membantunya mengambilkan tas belanjaannya yang terjatuh dan kembali mengucapkan maaf kepadanya sambil mengatupkan tangan di dada. Seorang kaukasia, bukan! Dengan mata kehijauan dan garis arab pada wajahnya ia pastilah seorang Turki, seorang Turki yang dengan sejumput jenggot yang rapi di dagunya semakin menambah ganteng dirinya.
‘Tidak apa-apa, salahku… maaf.’ Libra yakin ialah yang salah karena tidak memperhatikan jalan di hadapannya, tangannya masih merapikan bawaannya di dalam tas. Pada saat ia memandang kepada lelaki itu kembali, mata mereka berpapasan untuk beberapa lama. Dan Libra merasa waktu terhenti untuk sementara. Ada senyum dan rasa canggung pada keduanya di sana. Libra mengangguk perlahan sambil masih menatap lelaki yang juga menatapnya tak berkedip.
‘Terima kasih, sekali lagi maaf.’ Katanya pada lelaki itu lalu membuang matanya ke arah lain dan terus melanjutkan berjalan. Sementara sepasang mata di belakang masih mengikuti kepergiannya.

* * *

Jakarta yang padat dan sumpek! Aku tak mau berlama-lama di sini. Segera aku akan pergi dari sini. Kemana ya? Ke Lombok, Singapura atau Meksiko? Kemanakah tugasku selanjutnya? Ehmm… aku ingin tahu, Virgo lagi di mana ya?
Ia, Aries, satu dari ke dua belas Burj yang baru saja kembali dari Marakesh untuk menyelesaikan tugasnya. Aries duduk di sebuah kafe di bilangan Sudirman. Sebuah buku bersampul hitam dengan ilustrasi sederhana dan judulnya yang keemasan ada di hadapannya. Ia merapikan dudukannya dan mencoba berkonsentrasi dengan buku yang baru saja dibukanya. Ia tidak akan mulai membaca sebelum pasti ia merasa nyaman dengan dirinya saat itu. Badannya tinggi liat dengan cambang yang menghiasi sisi rahangnya. Lengan kemeja kotak-kotak gelap yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan otot bisepnya yang kentara. Dua orang perempuan di sisi kirinya menatapnya dari kejauhan sambil berbisik tentang keberadaannya. Bukannya ia tidak tahu, ia sangat sadar kalau ia diperhatikan namun ia tidak ambil pusing dengan semua itu. Hanya sekilas ia melirik dan melempar senyum pada mereka dan kemudian kembali berkonsentrasi bukunya dan secangkir kopinya. Kedua perempuan itu seperti mendapat angin surga dan semakin giat untuk menempatkan Aries dalam perbincangan mereka. Mereka cantik dan wah… namun sepertinya Aries hanya ingin berkonsentrasi pada bukunya sekarang. Di Marakesh, dua hari yang lalu, Aries mengejar seorang qodam yang tidak mau kembali pulang setelah manusia yang didampinginya meninggal dunia. Qodam yang bernama Aqil tersebut meminta bantuan pada kelompok jin hitam yang berusaha menyembunyikannya dari Aries. Hingga akhirnya terjadi pertarungan antara Aries dan anak buahnya melawan qodam bandel dan para jin hitam itu membuahkan hasil dengan membawa qodam itu kembali pulang untuk menerima tugasnya yang baru, walaupun dengan susah payah.
Saat ia telah sampai pada halaman ketiga, pesan itu datang tepat ketika ia hendak mengambil jeda dan menyeruput Espresso-nya. Suara berbisik itu langsung masuk ke dalam benaknya tanpa melalui telinga terlebih dahulu. Pada awalnya ia seperti mendengar transmisi radio yang mendengung dalam otaknya secara perlahan hingga kemudian,
Aries jangan lupa pertemuan kita tiga hari lagi.
Ayolah Sagi, aku ingat akan hal itu. Dengan telepatinya Aries membalas lalu ia menyeruput kopinya, sruuuup…!
Hanya mengingatkan.
Baiklah, terima kasih. Aku akan datang. Tenang saja. Lalu ia menyeruput kembali.
Hei seingatku, bukankah kau sendiri punya pekerjaa untuk dilakukan pada saat ini?
Hmmm…
Pastinya itu bukan jenis jawaban yang diharapkan Aries untuk didapat. Percakapan telepati itu kemudian berhenti begitu saja. Ia menatap ke dalam kafe tempatnya duduk. Selain dua perempuan yang ada di sisi kirinya, ada tiga orang lelaki berdasi duduk di sebuah meja di depannya. Salah seorang dari mereka memegang sebuah surat kabar yang dilipat seukuran majalah hingga mudah untuk dibaca, sementara yang dua lagi sedang sibuk membicarakan sesuatu dan mengabaikan teman mereka. Dua orang wanita yang lain sedang berdiri sambil memegang gelas mereka, beberapa pelayan yang sedang bersliweran mengantarkan pesanan dan … ia melihat ke luar, yah, ia baru ingat kalau ini sudah waktunya jam makan siang. Di luar cuaca sedikit gelap, awan hitam sudah menyelubungi langit Jakarta walaupun masih belum merata.
Sepertinya hujan akan turun hari ini, semoga tidak menyebabkan banjir. Aries menyendokkan potongan blueberry cake ke dalam mulutnya. Lidahnya serasa lumer dalam balutan manis krim cake itu.
Hmm… lumayan. Kembali ia memandang ke luar jendela dan bergabung dalam pintu lamunannya.

* * *

Hari ini adalah hari yang cerah setelah beberapa hari sebelumnya mendung terus menampakkan kuasanya dengan menggantung di atas London. Langit biru pudar membingkai angkasa dengan sapuan kuas awan-awan putih lembut,
‘Apa kabar kalian semua! Maaf aku baru bisa muncul sekarang. Memang beberapa hari ini aku merasa tidak sehat, tapi kuharap kalian mengerti.’ Kira-kira itulah yang ia sampaikan pada setiap makhluk yang ada di bawahnya.
Sesosok makhluk tinggi besar sedang berdiri di ketingian atap katedral St. Paul di tengah London. Tak ada yang memperhatikan sosoknya yang terlihat aneh. Seperti sosok campuran banteng-manusia atau manusia-banteng yang berdiri menantang sinar matahari yang terbiar jatuh pada badan besar gempal berbulunya. Ia memakai baju kulit tanpa lengan berwarna coklat yang menampilkan otot-otot lengan yang terbentuk sempurna. Pada baju itu, ada bekas-bekas jahitan di sana sini, strap dan kancing-kancing logam. Dengan baju itu ia terlihat tua dan gagah. Seperti prajurit pada masa abad pertengahan. Walaupun lemak di pinggangnya seperti berontak ingin keluar karena sesak berhimpitan dengan tarikan nafas dan baju kulit itu sendiri. Di bawah St. Paul terlihat banyak rombongan turis dengan kesibukan mereka masing-masing. Sebagian turis melongok ke atas dan menjepret bangunan tua itu dengan kamera mereka di berbagai sudut hingga tempat di mana ia berdiri. Tapi ia tak peduli kalau sosoknya akan tampak dalam tangkapan kamera mereka karena ia tahu hal itu tidak akan terjadi. Sepasang orang tua dengan mengenakan celana ¾ dan kaus yang bergambar sama berjalan bergandengan sambil memegang es krim di tangan mereka yang lain. Sekelompok turis dari Jepang tertawa-tawa bersama pemandu wisata mereka. Penampilan mereka terlihat seperti seragam jika berkunjung ke seluruh dunia. Yang laki-laki mengenakan kemeja santai lengan pendek yang umumnya berwarna terang lembut, celana pendek dan kamera yang menggantung di leher mereka dan tak lupa memakai fisherman’s hat. Sementara di antara rombongan perempuan hampir dipastikan selalu ada yang mengenakan blus putih berbahan lembut dengan rok selutut yang tak menyulitkan angin untuk melambaikannya. Dengan tas besar tersanding di lengan (percayalah, isinya tidak banyak!), dan juga sebuah kamera yang tergantung di leher atau di pegang di tangan yang satunya. Dua dari mereka mengenakan topi lebar sebagai pelindung dari ultraviolet. Tak peduli seberapa majunya negeri itu, tetap saja orang-orangnya terlihat kaku dan lucu dengan ekspresi mereka. Sosok besar itu hanya menggeleng-geleng.
Kemudian Taurus, begitu ia dikenal, bergerak menggeliat dan memutar-mutar tubuhnya ke kiri kanan seperti melemaskan otot-otonya lalu menarik nafas panjang dan melihat lebih seksama ke bawah sana. Sedikit lari-lari kecil beberapa saat yang membuat merpati di atap St. Paul beterbangan dan cicak-cicak bersembunyi karena mengira ada gempa yang terjadi. Lalu dengan satu hembusan nafas ia melompat dari puncak St. Paul ke arah kerumunan di bawahnya. Tanpa rasa takut sedikitpun. Terjun bebas membuat rambutnya berkibar-kibar karena terpaan angin yang kencang., lalu,
BUUM!
Kakinya mendarat keras di suatu titik kosong di antara keramaian. Berdebum. Seperti ada hentakan atau gempa kecil di tempatnya berdiri sehingga beberapa orang merasa kaget dan melihat pada titik yang ia darati, tetapi kemudian mereka hanya bisa bingung karena hanya menjumpai titik kosong bersama debu-debu yang beterbangan di sekitarnya. Taurus sendiri, walau ia telah jatuh dari ketinggian atap St. Paul, namun ia tetap tegak dengan seimbang sempurna di atas kedua kakinya, seakan angin dan gravitasi tak memiliki kuasa untuk menjatuhkannya. Tapi tak seorangpun ambil pusing mengenai hal itu. Tak ada yang peduli ia terjun atau tidak, tidak ada yang peduli apakah ia luka atau tidak. Karena ia tidak terlihat bagi mereka. Hanya burung-burung merpati yang beterbangan liar ketakutan begitu ia menjejak dan mulai berjalan di atas tanah. Taurus hanya menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali dan memegang tanduk yang menyembul keluar dari kepalanya. Ia mengelus-elusnya perlahan dan memijit-mijitnya berkali-kali seakan takut tanduk itu hilang karena jatuh tadi. Seorang gadis kecil memandang padanya dalam takjub, tangannya menarik-narik baju ibunya sekan ingin mendapat penjelasan mengenai makhluk aneh apa yang berada di hadapannya yang dengan nekad terjun bebas puluhan meter dari atas. Seorang anak lelaki yang lebih kecih dari anak perempuan tadi langsung menangis begitu Taurus menjejak dan menggoyang-goyangkan kepalanya yang sedkit pusing karena pendaratan yang tegas tadi. Sadar ia telah membuat beberapa penontonnya bingung, ia segera melambai pada gadis kecil itu dan menaruh telunjuknya di bibir sebagai isyarat untuk menutup mulut sambil memasang wajah bersalah pada anak yang menagis tadi. Dan anak itu semakin menjerit keras sambil menunjuk pada Taurus yang membuat orangtuanya bingung dan padanya dan hal kosong yang ditunjukknya di hadapannya. Pada saat itulah Taurus merasa ia harus pergi dari situ segera, dengan sedikit ancang-ancang, ia telah berlari dan melompati beberapa orang sekaligus, dua buah mobil, bangku taman, menapak pada sebuah batang pohon atau dinding dan terus berlari tanpa takut dirinya akan salah jalan atau melindas orang lain atau kendaraan di depannya. Dengan sumrinah ia terus berlari seperti anak kecil yang dijinkan berhujan-hujanan di luar sampai sebuah suara muncul dalam kepalanya membuat dirinya berhenti berlari.
Hei Taurus, jangan lupa …
‘Ya ya ya, aku tidak lupa Sagi. Aku akan datang menemui kalian.’
Cepat ia memotongnya, suaranya berat menjawab. Lalu ia kembali melanjutkan larinya menuju ke sisi lain kota.
Yah, baiklah, aku hanya memberitahumu saja. Hey apa yang sedang kau lakukan sekarang? Di mana dirimu? Ucap suara itu lagi
‘Aku? Eh aaa… aku sedang… berolahraga pagi. Hehe itu saja.’
Hmm… baiklah, kuharap kau tidak menginjak mobil orang lain sampai penyok di sana.
‘Heeh, tidak, tentu tidak.’ Jawabnya.
Baiklah, bagus kalau begitu.

* * *

Di sisi lain dunia, sesosok tubuh sedang berdiri di tengah keramaian sebuah pasar tradisional. Matanya fokus menatap ke depan seperti sedang menunggu sesuatu. Tak terjadi apapun. Hanya orang-orang yang tetap hilir mudik sama seperti kesibukan yang ada di pasar lainnya di seluruh dunia.. Semua jiwa seperti tumpah keluar dari tempat mereka dan memenuhi pasar itu. Di mulai dari anak-anak yang digendong ibu-dan bapak mereka, anak-anak kecil yang berlarian dengan semangat dan rasa ingin tahu di antara kaki-kaki orang dewasa dan meja-meja dagangan. Para orang dewasa yang sibuk mencari barang-barang untuk memenuhi hasrat belanja dan keranjang mereka dan bersedia bertegang urat leher menawar dengan harga seekonomis mungkin kepada para pedagang, Hingga kakek nenek yang hanya-Tuhan-yang-tahu-berapa-lama-lagi-usia-mereka di dunia. Sampai kemudian keramaian itu menjadi bertambah ramai karena sesuatu hal yang tiba-tiba terjadi. Orang-orang yang tadinya berkerumun tak tentu arah kini terlihat sibuk menghindar. Tak sedikit para perempuan berteriak histeris kemudian. Di depan sana, seseorang terlihat berlari memegang pisau terhunus di tangannya yang membuat kerumunan menyeruak, tetapi tak ada yang berani menghentikannya. Mereka hanya terdiam menahan nafas dan berharap bahwa pisau itu jatuh dan tidak diperuntukkan bagi mereka.
Scorpio tetap berdiri di posisinya. Dan lelaki berperawakan tinggi dengan pisau itu tetap berlari seakan tak ada yang mampu menghalangi lajunya di depan. Bajunya terlihat serampangan, dan dengan tampang yang tak kalah garang, sepertinya ia cocok sekali dengan gambaran seorang penjahat. Beberapa lelaki berseragam terlihat mengejarnya di belakang sambil berteriak ‘berhenti’. Lelaki berpisau itu terus berlari di antara kerumunan yang menyingkir minggir hingga merapat ke meja-meja para pedagang. Sampai kemudian ia melihat seseorang telah berdiri di hadapannya, seperti tiba-tiba saja ada di sana. Matanya membelalak sementara raut mukanya tiba-tiba menjadi bingung dan penuh tanda tanya,
Bagaimana mungkin…? Tadi ia tidak a… belum sempat ia menyelesaikan kalimat dalam pikirannya lalu,
BRUUK!
Lelaki berpisau itu jatuh tersungkur tepat di depan Scorpio. Dan, sebongkah tinju dari Scorpio lalu membingkai memar mata dan tulang hidungnya.
Ia meringis kesakitan, pisaunya jatuh entah kemana. Dalam jatuhnya, mata dan tangannya masih berusaha untuk awas mencari di mana pisau tersebut. Setidaknya ia akan membuat orang yang telah memukulnya ini membayar perbuatannya, namun apa yang ditemukannya? Seekor kalajengking hitam telah ada di punggung tangannya entah kapan dengan posisi ekor yang siap menatupkan bisa. Ia menjerit dan mengibaskan tangannya untuk membuang binatang itu. Begitu ia mencoba untuk bangkit, semuanya sudah terlambat. Orang-orang telah ramai mengerumuninya dan mulai memukulnya hingga ia lumpuh tersungkur. Tak berapa lama sosok-sosok berseragam itupun datang melerai kerumunan, menahan tubuh lelaki itu tetap di tanah dan menahan tangannya sebelum membawanya pergi. Dari balik celana dan sakunya mereka menemukan dompet dan tas yang te;lah dicurinya dari orang-orang.
Karena merasa masalah sudah teratasi, Scorpiopun berbalik dan melangkah pergi. Pencuri tadi melongok ke belakang untuk melihat siapa lebih jelas bagaimana wajah orang yang telah menjatuhkannya. Tapi keramaian menutupi pandangannya.
Tak seorangpun seperti menyadari kehadiran Scorpio di sana. Mereka memang melihat pencuri itu berlari di antara keramaian tapi ia kemudian seperti terpeleset oleh sesuatu dan jatuh sendiri ke tanah dan teriak tak tentu. Hingga kemudian kesempatan itu dimanfaatkan orang-orang untuk melumpuhkannya. Tak ada yang melihat kehadiran Scorpio di sana. Ia seperti tak berbekas di kerumunan. Tapi Scorpio sebenarnya masih berada di sana, mengaburkan dirinya dari pandangan mata orang awam kebanyakan dan membolehkan si pencuri itu untuk melihat dirinya seorang. Seekor kalajengking hitam tiba-tiba berjalan dari punggungnya dan bertengger di bahunya. Lalu berjalan turun ke tangannya. Scorpio tetap berjalan di antara kerumunan. Seketika telinganya berdenting,
Scorpio, aku memanggilmu untuk datang pada pertemuan tahunan kita nanti. Jangan kau lewatkan ya…
‘Jangan takut Sagi, seperti yang sudah sudah aku tetap akan datang. Ya, karena tahun ini adalah giliranmu untuk duduk bercerita.’
‘Ya, aku tahu, karena itu aku akan datang. Aku tak akan melewatkan giliran ini.’
Ia seperti berbicara pada diri sendiri atau layaknya seseorang yang berbicara melalui perangkat Bluetooth (yang tidak dipakai Scorpio tentu saja), membalas pesan dari Sagitarius lewat telepati. Sebelah tangannya yang sedari tadi memegang sebuah pisang, kini mulai menyorongkan pisang tersebut ke mulutnya. Kalajengking hitam yang sedari tadi ada di tangannya kini telah merangkak naik menuju ke kalung yang dikenakan tuannya dan masuk ke bandulnya untuk kemudian mematung di sana sebagai hiasan.
Pesan telepati yang sama juga terjadi di belahan dunia lainnya. Disampaikan oleh Sagitarius dan telah diterima dengan baik oleh Cancer, kembar Gemini dan sisa para Burj yang lainnya.
Tiga hari lagi,
Tiga hari lagi kedua belas Burj itu berkumpul bersama selama tiga malam setiap tahunnya. Mengumpulkan cerita dan pengalaman apa saja yang mereka dapat selama tidak berjumpa, saling melepas rindu, kesal, cemburu, atau bahkan amarah antara satu dan yang lainnya. Tapi mereka tetap berteman satu dengan yang lainnya, apapun yang terjadi.

* * *

Siapakah para Burj ini? Burj adalah sebangsa jin yang bertugas di bawah perintah malaikat Mikail, sang malaikat pengendali cuaca. Mereka bertugas untuk menangkap para jin, qodam, arwah gelap atau makhluk halus lain yang dirasakan sudah sangat menggangu diluar batas yang seharusnya atau tidak mau kembali lagi ke tempat mereka walaupun tugas yang seharusnya diberikan pada mereka telah selesai. Para jin atau makhluk halus tersebut seringkali membangkang dan melarikan diri untuk dapat bergerak bebas tanpa ada pengawasan dari para malaikat atau para Burj. Dan seringkali juga tugas untuk membawa mereka menjadi lebih sulit karena mereka lebih memilih berkomplot dengan para jin atau malah setan dari golongan hitam yang selalu merentangkan tangan mereka untuk para pengikut baru. Kalau hal ini sudah terjadi, maka para Burj juga tak segan-segan membawa anak buah mereka dan mengerahkan kemampuan mereka untuk melawan walau harus memanggil bantuan banyak jin untuk dapat menangkap si pembangkang tadi dan menghalau kawanan jahatnya.

1 komentar:

  1. Ini adalah bagian Prolog dari naskah novel pertama saya Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo
    Beŗķīşaħ.
    semuanya terdiri dari sebuah Prolog dan sembilan belas bab lainnya.

    BalasHapus