Kamis, 23 September 2010

PULAU DALAM AYUNAN MAUT

Simeulue, pertama kali saya menginjakkan kaki di pulau ini pada tanggal 16 November 2005. Saya datang untuk memenuhi tugas dinas dari sebuah LSM internasional dari Irlandia, Concern Worldwide, yang memiliki program membangun pulau pasca tragedi gempa-tsunami akhir tahun 2004 dan gempa Nias pada 23 Maret 2005. Saya ingat, pada malam pertama saya ditempatkan di kota utamanya, Sinabang, di sebuah penginapan yang bernama Andini di pulau itu, saya menangis dan bertanya apakah keputusan saya mengambil tawaran bekerja dengan LSM ini adalah keputusan yang tepat? Saya menangis karena ditempatkan di sebuah pulau asing yang tidak pernah saya dengar sebelumnya kecuali dari berita pasca gempa-tsunami di televisi pada saat itu. Saya menangis karena ini adalah pulau yang minim fasilitas yang bahkan kalau mati listrik maka mati juga-lah sinyal pada telepon seluler saya. Apakah saya bisa bertahan di tempat yang jauh berbeda dengan kota Medan dengan semua fasilitasnya dan kehancuran yang masih sangat terasa pada saat itu?

Bahkan masih ada kejutan setelahnya ketika saya diberitahu bahwa air yang saya pakai mandi dan gosok gigi adalah air tadahan hujan yang dapat membuat gigi cepat keropos, dan air hujanlah yang dipakai mayoritas masyarakat di pulau ini sebagai air mandi bahkan pada saat itu untuk minum juga. Lalu, untuk apa saya menggunakan air itu untuk mengosok gigi saya? Saya berencana untuk mencoba bertahan setidaknya sampai bulan ketiga saya berada di sana dan mengundurkan diri setelahnya kalau saya merasa tidak cocok.

Dan itu semua belum seberapa, dengan bertempat di koordinat 5° 55′ 0″ LU, 95° 0′ 29″ BT, pulau Simeulue tepat berdiri di atas salah satu lintasan gempa aktif dunia yang jalurnya terus turun hingga ke pulau Jawa. Saya telah merasakan gempa dengan kekuatan 2 SR hingga 6 SR di sana.

Tapi semua anggapan itu berubah. Saya ternyata dapat bertahan pada bulan setelahnya dan terus setelahnya. Ada sesuatu pada pulau itu yang membuat saya bertahan. Keindahan alamnya, tipe masyarakatnya dengan segala hal di dalam kehidupan mereka, teman-teman, dan kerjaan saya tentunya.

Setiap pagi ketika datang ke kantor yang bertempat di kawasan Kolok, maka saya akan dihadapkan dengan udara pagi yang segar dengan sinar matahari yang terang, kalau cuaca bagus dan tidak hujan tentunya, dan pemandangan ke teluk yang mengagumkan. Dan suara-suara burung dan monyet liar di hutan belakang kantor saya dulu. Sesuatu yang sangat disyukuri.

Mengenai cuaca dan hujan itu sendiri, pulau Simeulue memiliki cuaca yang aneh dan tidak bisa diperkirakan. Ia sebenarnya memiliki curah hujan yang tinggi apalagi bila masuk di musim penghujan, tapi kita juga akan dihadapkan dengan cuaca panas yang ekstrem berdebu karena topografinya yang dekat dengan laut. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa jika hujan pada hari Jum’at maka hujan pulalah yang akan kita dapatkan untuk seminggu ke depannya. Dan kadangkala saya berpikir itu benar. Adakalanya saya mendapatkan hujan lokal yang yang hanya berjarak seratus meter dan kering di sisi yang lainnya. Bahkan ada kalanya hujan selebat-lebatnya dengan matahari yang juga bersinar pada saat yang bersamaan.

Selama di sana, saya telah menjelajah ke hampir semua tempat di Simeulue dengan menyisakan sedikit keinginan, yaitu mengitari bagian terujung atas pulau, daerah Alafan dan sekitarnya, dan menembusnya. Saya telah melalui daerah Sibigo sebelumnya tapi waktu itu adalah perjalanan satu sisi pulau saja. Walaupun harus ‘mencuri’ mobil kantor dengan banyak alasan bohong di dalamnya pada pimpinan.

Setelah hampir dua tahun bergabung dengan Concern Worldwide, tibalah saatnya saya untuk mengakhiri tugas dan berpisah dengan pulau itu pada tengah tahun 2007. Begitu banyak hal yang saya dapat di sana dan menetap dalam pikiran saya.

Kenangan-kenangan yang tersisa memaksa pikiran saya untuk dapat kembali setelahnya lagi dan lagi. Dan itu terjadi!
Setahun setelahnya saya kembali lagi ke pulau itu walau hanya untuk 5 hari. Mengunjungi teman-teman lama dan menarik kembali kenangan yang ada dan mencoba melakukan lagi hal-hal yang dulu saya lakukan bersama teman-teman. Dan pada saat itu saya masih berharap untuk dapat kembali lagi.

Dengan hanya mengikuti perkembangan dan berita dari surat kabar dan teman-teman yang berada di pulau Simeulue, saya masih menyimpan harap untuk dapat kembali lagi ke sana suatu saat. Dan ternyata Allah sangat pemurah pada saya. Dia mengijinkan saya untuk kembali ke pulau itu pada akhir tahun 2009, dan mungkin juga benar kata masyarakat pulau itu, bila sudah terminum air pulau Simeulue, maka kita akan balik dan balik lagi ke pulau tersebut. Maka saya kembali lagi ke Simeulue untuk bergabung dengan Palang Merah Jepang, JRCS - Japanese Red Cross Society - untuk program yang sama dengan LSM tempat saya dulu bekerja, rekonstruksi.
Dan kali kembali lagi ke Simeulue ini, cukuplah bagi saya untuk menuntaskan semua rindu pada teman dan tanah Simeulue. Dan bertemu kembali dengan ibu angkat saya, Ibu Salmi, yang selalu melebarkan tangannya sepenuh hati untuk menampung saya di rumahnya kapan saja saya kembali ke pulau itu.

Kali ini, posisi dan kapasitas kerja saya lebih besar dari sebelumnya dan lebih sibuk, namun anehnya, saya dapat menjalaninya dengan lebih lapang dan tenang seakan tak ada beban. Bahkan kali ini saya berkesempatan untuk menjelajah bagian ujung atas pulau dan mengitarinya. Sebuah pengalaman yang takkan saya lupakan. Namun masih ada satu ingin lagi yang saya ingin penuhi yang belum tercapai.

Setelah beberapa bulan bergabung dengan Japanese Red Cross Society, saya harus mengakhiri tugas saya di pulau itu (sekali lagi) pada tanggal 1 April 2010 yang lalu, namun saya sengaja melambatkan kepulangan saya ke kota Medan sampai tanggal 11 April karena saya masih ingin merasakan atmosfir pulau kecil saya yang tercinta. Hingga datanglah saat itu.

Pada tanggal 7 April 2010 pukul 5.15 yang lalu, saya tersentak, terbangun karena goyangan yang membuat tempat tidur saya bergeser. Saya yang merasa sudah terbiasa dengan gempa langsung terbangun dan menunggu beberapa detik untuk mengambil tindakan, apakah saya perlu diam saja kalau gempa ringan atau berlari keluar kalau gempa kuat. Dalam waktu sepesekian detik itu, saya yang sekali lagi merasa sudah terbiasa dengan gempa ringan berharap kalau gempa kali itu juga gempa ringan yang tak perlu dikhawatirkan. Namun saya keliru. Goyangannya terus menguat dan membuat saya harus berusaha lari ke luar kamar untuk menyelamatkan diri. Listrik yang otomatis padam saat itu semakin menyulitkan langkah saya membuka pintu kamar walau hanya dikunci dengan pacok dari kayu. Dalam gelap saya mencari pegangan karena kamar saya berada di lantai dua. Kaki saya gemetar dan berusaha menetapkan pijakan karena gempa terus menggoyang pulau dan pikiran saya berharap semoga tidak ada satupun tiang rumah yang patah yang dapat menyebabkan bangunan ambruk dan menjatuhkan saya dan beberapa orang lain di lantai dua rumah itu sehingga menimpa penghuni rumah yang ada di lantai bawah. Saya tidak bisa berpikir berapa lama goncangan berlangsung pada saat itu, karena ada ribuan hal yang melintas dalam pikiran saya yang kalut. Sementara bibir saya terus mengucapkan asma Allah dan berharap semoga ini segera berakhir. Sempat saya melihat orang-orang lain yang berada di lantai yang sama dengan saya bersusah payah menstabilkan diri sambil mengucap asma Allah, dan beberapa orang yang berada di jalanan yang rencananya mau ke mesjid untuk sholat Subuh, merapat ke tanah dan meneriakkan hal yang sama. Hingga akhirnya goyangannya berhenti. Tapi tidak untuk lama, karena beberapa detik selanjutnya bumi kembali bergoyang untuk semakin melemaskan tungkai yang belum tegak benar saat itu.

Pada saat goyangan benar-benar berhenti, saya meminta pada teman saya yang kamarnya berada di lantai yang sama untuk menghidupkan mobil dan memutuskan kalau kami semua yang berada dalam rumah itu untuk berangkat mengungsi ke daerah yang tinggi. Yang ternyata juga sama dilakukan semua penduduk pada subuh hari itu. Lampu-lampu kendaraan memenuhi gelap di jalan Tengku Di Ujung, jalan utama di Pulau Simeulue, dan semuanya menunggu dengan cemas hingga fajar datang. Untungnya sinyal telepon tidak ikut mati sehingga komunikasi bisa terus berjalan. Baru kami mengetahui kalau gempa itu berkekuatan 7,2 SR yang terasa hingga ke Sumatera Barat di Pulau Sumatera. Paginya saya mendapat kabar kalau di daerah ‘kampung’ - istilah yang dipakai untuk daerah di luar Sinabang – di tempat saya bekerja di daerah Simeulue Tengah, air laut sempat surut sejauh 30 meter untuk kemudian naik lagi secara perlahan menuju normal. Kalau sempat surut itu naik secara drastic, maka apa yang dibayangkan dapat terjadi, tsunami.

Sekitar 20-an orang cedera, ratusan rumah dan bangunan publik rusak, dan kerugian yang timbul lainnya akibat gempa membuat saya berpikir kapan gempa akan berhenti menggoyang pulau ini?

Tanggal 11 April 2010. Waktunya saya untuk berangkat dari pulau itu menuju tanah kelahiran saya, Medan. Namun sebenarnya, saya yakin kalau Tuhan sudah menanam separuh jiwa saya di pulau itu sejak kali pertama saya menginjakkannya. Begitu banyak hal yang saya alami di sana yang tidak ingin saya relakan dengan apapun untuk ditukar.

Kini, belum dua minggu saya meninggalkan pulau itu, namun saya sudah merasa rindu padanya. Dan saya masih saja berharap kalau Tuhan akan mengijinkan saya kembali ke sana untuk melihat separuh jiwa saya yang tertinggal, menyegarkan kembali ingatan saya, bertemu dengan teman-teman, dan menuntaskan satu ingin saya yang belum pernah tercapai yaitu, untuk menaiki seekor kerbau jinak dan difoto ketika saya sedang menunggangnya. Semoga.


Ini adalah pemandangan yang saya ambil dari kantor saya dulu

ini dari teluk di belakang rumah kost saya, Teluk Pertamina.

Ini tepat di belakang rumah kost saya.

Ini di Pulau Siumat,

Ini adalah Pelabuhan di daerah Nasreuhe, namanya eksotik ya??

Ini pantai Along 

Tapi maaf, gambar kerbaunya tidak saya ambil, nanti deh kalau kesampaian (n_n)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar