Rabu, 15 September 2010

Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ



III
Ðaņ Şebūaħ Pīņťū Ŧeļaħ Meņaņťīmū Đī Şaņa Meņūjū


Ļaya berlari.
Berlari meninggalkan paman yang bejat menodai, meninggalkan bibinya, meninggalkan adik-adiknya, meninggalkan sekolahnya, meninggalkan teman-temannya di mana ia biasa bermain dan bernyanyi bersama, meninggalkan satu boneka kelinci lusuh yang salah satu telinganya selalu terjulur turun yang selalu menemaninya dalam setiap tidur malamnya di kamar, dan meninggalkan rumah itu dengan tekad bahwa ia tidak akan melihatnya kembali. Tidak akan kembali lagi. Bahkan ia tidak berniat untuk melihatnya lagi. Kini, atau nanti. Bahkan dari kejauhan. Bahkan bila semuanya kembali seperti dulu lagi.
Laya hanya berlari dan berlari entah kemana. Dan di malam yang tergelap di antara semua itu, ia menemukan sebuah gang di sebelah sebuah toko dan membiarkan tubuh lelahnya terbaring dan terpejam walaupun itu hanya untuk beberapa menit. Dan malam yang tergelap itu memberinya mimpi. Sebuah mimpi yang menempatkannya kini di suatu tempat yang sangat asing, tetapi ia merasa sangat nyaman untuk berada di sana. Tempat yang penuh warna dan ceria. Bahkan setiap orang yang ditemuinya menampakkan senyum bahagia dan menariknya untuk dapat bermain bersamanya. Semua menginginkannya. Laya bahagia. Inilah tempat yang diinginkannya. Dan di sana, ia melihat ibunya melihat dari kejauhan di bawah sebuah pohon rindang yang kau bahkan tak dapat melihat ujungnya karena tertutup tingginya awan.
Namun tiba-tiba di dalam mimpinya ia melihat langit terkoyak, seperti kertas minyak layangan yang tersangkut pada paku atau ranting pohon. Dan sebuah tangan raksasa menjulur keluar dari lubang langit itu dan menjangkau dirinya. Ia berontak, namun tak dapat melakukan apa-apa. Dan tiba-tiba ia telah berada di pojok gelap sebuah ruang di menara kastil yang tinggi. Laya tahu bagaimana tingginya menara itu karena ia dapat melihat awan yang bergerak sejajar dengan letak jendela yang ada di satu sisi kastil. Jendela besar satu-satunya di menara ruang itu memberi jalan bagi sinar matahari siang untuk menembus melaluinya. Di bawah sinar tersebut ada seorang perempuan yang sedang memutar roda pada sebuah alat yang berisi dengan benang yang sangat besar gulungannya. Dan gulungan-gulungan benang beraneka warna lainnya berserakan di lantai. Dari sini Laya dapat menebak bahwa kini ia berada di dalam cerita Aurora, si Putri Tidur. Namun sang putri tidaklah seperti yang dibayangkannya selama ini. Tidak seperti cerita ibunya dan cerita di dalam buku cerita, yang ini berwajah bulat dengan pipi yang memerah, bibirnya kecil dan tipis, rambutnya juga keriting dengan warna pirang kecoklatan, badannya cenderung gemuk dengan jari-jarinya yang seperti wortel muda yang bulat pendek, dan kakinya, kakinya tidak dapat menampung sepatunya yang kekecilan (atau kakinya yang kebesaran?) sehingga tumitnya harus memijak sisi belakang sepatu itu. Bajunya cukup bagus dan berkelas. Terbuat dari bahan mahal dan dihiasi dengan manik-manik dan payet-payet yang menunjukkan kelasnya sebagai putri. Namun Aurora kelihatan tidak dapat bergerak bebas karena ukurannya yang kekecilan, dan punggungnya yang menjadi tegak dan kaku karena korsetnya yang membebat ketat. Tangannya seringkali tersandar di perut seakan ingin melepaskan beban yang ada, beberapa kali ia berasa ingin muntah karena korset pakaian ketat itu membuatnya mual. Laya geli sendiri melihatnya. Untungnya Aurora tidak menyadari kehadiran Laya di sana (atau sama sekali tidak melihatnya?) karena pojok di mana ia berdiri memang sangat gelap walaupun jaraknya tidak begitu jauh darinya. Tak lama setelah itu datanglah seorang perempuan tua dengan pakaian bertudung merah darah menaiki tangga menara itu dengan tongkat kayunya seperti hendak menjumpai sang putri, namun sebelum sampai kakinya menginjakkan pada lantai atas,
Plak!! Sebuah gulungan benang besar mengenai kepala si nenek sihir sehingga membuatnya terkejut.
‘Mana benangku?! Mana benang emasku?!’ Aurora berteriak ketus kepada nenek tersebut setelah ia melempar gulungan benang tersebut ke kepalanya.
‘Hamba belum menemukannya, tuan putri, bahkan setiap orang di kerajaan ini belum menemukan benang emas seperti yang tuan putri minta.’
‘Jadi harus berapa lama lagi aku harus menunggu hah! Kalau kalian tidak menemukan benang yang tepat maka tidak akan ada cerita ini. Untuk apa sihirmu kalau kau tidak dapat menemukan laba-laba itu hah! Maka cepat pergi dari hadapanku dan jangan kembali sebelum mendapat benang emas itu atau benang selanjutnya akan mendarat lagi ke kepalamu nenek jelek!!’
Seketika Laya menyadari kalau perempuan tua itu adalah seorang enek sihir. Tapi, apakah dia neneks sihir yang mengutuk Aurora higga tertusuk jarum pemintal dan tertidur panjang? Mengapa ia malah tunduk pada Aurora, bukankah kebalikannya?
Nenek sihir itu lalu pergi dengan wajah lesu lalu menuruni tangga kembali.
Aurora lalu kembali sibuk dengan alat pintalnya sementara mulutnya terus menceracau apa saja. Laya coba berjingkat menggerakkan kakinya karena ia lelah terus berdiri, namun malang tangannya menyenggol tempat lilin di sampingnya sehingga jatuh. Dan Aurora berpaling padanya.
‘Hei, siapa kau? Sedang apa kau di situ? Sudah berapa lama kau ada di pojok dan mengapa aku tidak melihatmnu selama ini?’
Laya gugup ia berusaha lari tapi sepertinya sia-sia. Mau lari kemana sementara ruangan menara itu tidak seberapa besar dan tidak banyak barang di sana untuknya berkelit. ‘Hai! Aku bicara padamu!’ Aurora marah. Ia berusaha mendekat pada Laya dan mencoba menangkapnya. Namun, korset yang dipakainya menahan geraknya. Ia merasa sesak di perutnya dan mual. Segera Laya berbalik menuju jendela dan mengeluarkan isi perutnya. Kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan Laya untuk segera untuk menuruni tangga melarikan diri.
‘Hei, mau kemana kau, aku…’ tapi sebelum kalimatnya selesai, isi perutnya sudah meminta untuk dikeluarkan lagi sehinggga Aurora kembali mengeluarkan kepalanya keluar jendela.
Laya terus menuruni anak tangga dan ia masih dapat mendengar Aurora berteriak di belakang.
Cepat atau lambat ia akan mengejarku, bisiknya.
Entah mengapa menara yang tinggi tersebut menjadi tidak setinggi yang diperkirakan. Kini ia telah sampai di lantai bawah dan masih terus berlari menghindari Aurora, namun langkahnya terhenti karena di depannya ia melihat si nenek sihir yang masih berjalan memunggunginya.
Langkahnya terhenti. Kalau ia maju tentu si nenek sihir akan melihatnya dan menagkapnya, sementara Aurora masih ada di belakangnya, dalam pikiran kalutnya ia melihat sebuah pintu di depan di antara dirinya dan si nenek sihir. Segera saja ia berlari menuju ke pintu tersebut yang untungnya tidak terkunci. Pintu tertutup kembali bersamaan dengan si nenek sihir yang melihat ke arah belakangnya. Ruangan itu ternyata sangat luas. Seakan luasnya tidak sepadan jika di lihat dari arah luar. Dengan banyak pilar dan mewah, dan…
‘Ya. Ada yang bisa kubantu?’ suara seorang perempuan itu mengejutkan Laya dari belakang.
‘A…, aku tersesat.’
‘Yah, sudah sepantasnya.’
Laya memalingkan kepalanya. Maksudnya?
‘Sudah sepantasnya kau tersesat,’ lanjutnya, mengerti dengan apa yang ada dalam benak Laya.
‘Terkadang aku juga tersesat dengan ruangan yang di istana ini, setiap pintu di lorong yang kau lewati tadi mengarah ke tempat yang berbeda, bahkan berubah setiap jamnya. Perlu waktu lama bagiku untuk mengetahui tanda-tandanya. Jadi mengapa kau ada di istana ini?’
Laya menggeleng, ia sendiri tak tahu mengapa ada di sini.
‘Aku Cinderella. Kamu?’
Laya terpana.
‘Cinderella. Ini sungguhankah?’ tapi ia tetap menjulurkan tangannya.
‘Laya.’ balasnya pelan.
‘Di lorong tadi kau bertemu siapa?’
‘Kurasa ia yang bernama Aurora.’
‘Ow, yah, putri pemarah.’
‘Apakah ia memang seperti itu?’
‘Yah, dia frustasi karena kutukannya tidak selesai juga.’
‘Tapi, bukankah si nenek sihir yang mengutuknya? Dan tadi nenek sihir itu itu malah dimarahinya habis-habisan.’
‘Hey, di cerita yang lain itu mungkin terjadi. Tapi di sini tidak begitu. Bukan si penyihir tua yang mengutuknya. Tapi Sang Ratu, ibunya sendiri. Ibunya sangat marah begitu mengetahui kebenaran bahwa Aurora bukan anak kandungnya. Anaknya tertukar. Dan selama ini kelakuan Aurora nya juga selalu menyusahkan dirinya, makanya ia punya banyak alasan untuk mengutuknya.
‘Tertuka?’
‘Ya, Aurora anak dari seorang perempuan yang ditemui raja ketika ia berburu di hutan. Sang Ratu sendiri kini pergi dari istana entah kemana.’
‘Lalu anak ratu sendiri di mana?’
‘Entahlah. Mungkin ratu, maksudku ratu dalam cerita Aurora bukan ratuku, sedang mencari di mana anaknya berada. Aku tidak terlalu peduli mengenai cerita tetanggaku.’
‘Dan dirimu? Apakah kau benar memiliki sepatu kaca dan tikus-tikus.?’
‘Hah! Cerita yang lama sekali. Yah, benar, aku memang memiliki sepatu kaca dan tikus-tikus. Tapi itu dulu. Kau tahu, aku tidak menikahi pangeran seperti dalam ceritamu, yah, iya tapi tidak…’
‘Maksudnya?’
‘Aku menikahi saudaranya.’ Cinderella mengatakannya dengan riang gembira. ‘Setelah ternyata aku tahu dia tidak begitu pandai dan dia bukan penerus langsung raja, maka aku memutuskan untuk mencampakkannya dan beralih ke abangnya. Putra sulung raja, dia lebih pantas. Lebih tampan dan cerdas. Dan sejauh ini tidak ada yang bermasalah dengan itu.’
‘Bahkan juga… ratu dalam versimu?’
‘Tidak! Ssstt… ratu dan raja bukan orang yang pintar. Mereka ada dalam genggamanku hihihi.’
Tiba-tiba pintu terbuka, dan si penyihir tua telah ada di hadapan mereka berdua.
‘Penyusup! Seharusnya kau malu.’
‘Hey, ini ceritaku!’ Cinderella protes ada orang lain masuk ke ceritanya.
Namun si penyihir tak peduli akan itu. Tangannya menggoyang-goyangkan tongkat sihir di hadapan mereka berdua dan sekilas sinar terang muncul dari ujungnya. Cinderella yang sudah tahu apa yang bakal terjadi langsung teriak.
‘Lari!’
Tapi tidak bagi Laya, ia tidak dapat kemana-mana. Kakinya masih terpaku di tempatnya berdiri padahal sinar itu sudah sangat dekat dengannya. Ia hanya bisa mendekapkan kedua tangannya ke depan untuk menghalau sinar itu,
Bruk!
Kepalanya terjatuh pada lantai. Rasa sakit membuatnya membuka mata. Ia bermimpi.
Fajar yang datang mengusik matanya. Menyebarkan hangatnya dan memaksanya untuk tetap membuka mata hingga ia benar-benar terbangun.
Mimpi yang aneh. Cinderella yang ingin kaya.
Jarinya mengucek-ngucek matanya, memaksa kedua bola itu untuk benar-benar terbangun. Ketika matanya sudah bisa menyesuaikan diri, di hadapannya telah berdiri seorang lelaki yang terus menatap pada dirinya. Dengan kepala yang agak botak, perut besar dan dada yang mirip payudara yang lembek karena lemak mengintip di sana-sini dari balik singlet putih kusam yang dipakainya. Entah sudah berapa lama lelaki itu menatapnya, namun laya tahu bahwa tatapan itu buka tatapan yang bersahabat baginya. Dagunya terangkat ke atas dengan pandangan mata yang masih menatap tajam tak suka.
‘Hey, anak kecil. Apa yang kau lakukan di sini hah? Sudah berapa lama kau tidur di sini? Sepertinya kau bukan pengemis. Mengapa kau tidur di sini semalaman? Pulang sana!’
Dari cara berbicaranya dan perintahnya untuk menjauh, Laya tahu kalau ia adalah pemilik toko yang kemudian meminta Laya segera pergi dari tempat itu. namun Laya yang masih dalam keadaan setengah sadar butuh waktu untuk berkemas dan berpikir dahulu.
‘Hey!. Kau dengar tidak? Tokoku akan segera buka dan aku tidak mau ada anak yang tidak jelas berkeliaran disekitar toko ini. Mengerti? Nah pergi sana! Ayo!’
Dan dari sikap dan wajahnya mengusir Laya, ia kelihatan benar-benar ingin agar Laya pergi dari lingkungan tokonya.
Dengan bersungut-sungut, Laya meraih bawaannya, dan lalu pergi menjauh.
Aku akan tetap pergi dari situ walaupun kau tidak menyuruhku. Gendut!
Tiba-tiba ada yang salah. Perutnya terasa melilit, cacing di dalam perutnya telah berbunyi minta makan. Ini sudah waktunya untuk sarapan. Di rogohnya ransel yang dibawanya serta dan mengambil sebungkus keripik kentang dan sebotol air mineral yang telah kosong sepertiganya.
Cukuplah untuk beberapa lama, pikirnya,
tapi tak cukup lama…
Sementara uang yang berjumlah tak seberapa di dalam dompetnya masih utuh belum tersentuh.
Aku hanya akan menggunakan uang ini kalau aku sangat membutuhkannya.
Laya kemudian berjalan terus dan terus. Keripik kentangnya sudah habis dan ia mengambil dua bungkus batangan coklat karamel sekarang sebagai sarapannya. Yah lumayan untuk pagi ini. Batinnya.
Tak terasa sudah entah berapa jam sekarang ia berjalan sejak bangun pagi tadi. Kini telah lewat tengah hari dan dirinya telah berada jauh dari kota, di mana kini ia bisa melihat ladang atau padang rumput dan samar pegunungan yang berwarna biru pupus di kejauhan. Panas matahari masih terasa menyengat di kulitnya tapi ia mencoba untuk tidak terlalu merasakannya. Mengapa hari ini terasa panas sekali? Ia yang tak tahu akan tujuannya hanya berjalan di sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan yang bisa melindunginya sedikit dari sinar mentari.
Kakinya sudah terasa lelah dan ingin beristirahat. Pada sebuah pohon ia bersandar. Apakah ia harus terus berjalan? Tapi kemana? Ia sendiri tidak mengetahui arah dengan pasti. Belum pernah ia pergi sejauh ini sepanjang hidupnya. Terduduk ia sambil termenung dan mengipasi dirinya sendiri dengan sebuah daun besar yang jatuh dari atas pohon yang ia sandari. Tak ada seorang atau kendaraan apapun yang melintasi jalan ini. Laya menoleh ke arah kanannya. Matanya melihat beberapa pohon besar yang membentuk kelompok sendiri di tengah padang ilalang, persis seperti halnya sebuah oase di tengah panas teriknya gurun pasir. Dalam pandangannya terlihat seperti sebuah pulau hijau yang dikelilingi dengan lautan emas yang semakin berkilau tertimpa cahaya matahari. Di atasnya terbentang kontras langit biru dengan awan-awan tipis yang menggaris. Burung-burung kecil terlihat bagai kumpulan camar yang menari-nari menanti gerombolan ikan menawarkan diri mereka untuk disantap. Ilalang-ilalang itu terlihat seperti ombak yang mengalun serentak disentuh angin. Berirama, berkelanjutan.
Terlihat teduh sekali.
Masih memegang daun besar di tangannya, Laya berdiri dari sisi jalan dan mulai menuju padang rumput itu. Semakin jauh semakin ia menyadari kalau padang ilalang itu ternyata lebih tinggi dari kelihatannya. Bahkan lebih tinggi dari dirinya. Tangannya menyibakkan tinggi ilalang itu berusaha melihat arah yang benar menuju pulau hijau tersebut. Tak ada yang terdengar kini selain gesekan ilalang yang tertiup angin seakan saling berbisik dalam bahasa daun yang rahasia. Pijakan kakinya menciptakan jejak tundukan ilalang yang mengular di belakangnya. Dan gerombolan pepohonan itu, ternyata lebih jauh dari perkiraannya, dan semakin jauh ketika ia merasa semakin mendekati. Hingga akhirnya semua ilalang seperti merunduk memberinya pandangan yang leluasa ke depan, begitu dekat dirinya kini dengan pinggir rerimbunan itu. Gugusan pohon-pohon itu seperti tangan raksasa yang membuka dan mempersilahkan dirinya untuk masuk ke dalam mereka. Matanya tertegun begitu menyadari betapa sebagian batang pepohonan itu begitu kecil dan ramping tinggi dengan daun-daun yang lebat, tetapi pohon yang lain terlihat begitu besarnya bahkan untuk oaring dewasa, sangat lebat dan dipenuhi dengan banyak cabang dan ranting.
Semakin ia maju semakin ia menyadari kalau gugusan pepohonan itu sangat mirip dengan pulau kecil yang tumbuh di antara ilalang. Hutan kecil yang sedikit lebih tinggi dari ilalang di sekelilingnya. Begitu ia mencapai pinggiran hutan itu, dilihatnya lagi sekelilingnya. Tak ada sesiapapun di sana, dirinya hanya sendiri di antara ilalang yang tinggi dan kumpulan pepohonan di belakangnya.
…tempat dimana kau temukan padang luas yang ditumbuhi dengan rumput-rumput yang tinggi sehingga bila kau main petak umpet dengan teman-temanmu, maka mereka akan kesulitan mencari dirimu di antara rerimbunannya. Tempat dimana banyak pohon-pohon yang besar yang memiliki banyak ranting sehingga kau dapat memanjat dengan mudahnya sampai ke puncaknya. Berbicara dengan tupai, burung bahkan ulat-ulat yang tinggal di atasnya.
Dirinya kembali teringat dengan perkataan ibunya.
Apakah ini tempat yang diceritakan ibu dahulu.
Perasaan senang mulai menyesaki dadanya. Senyumnya berseri di tengah rasa letih dan lapar. Laya kemudian memasuki hutan mini itu, mungkin ada seratus pohon di dalamnya. Dan benar mereka semua memiliki cabang dan ranting yang rendah sehingga mudah dipanjati,
Persis seperti dalam cerita ibu …
Karena senangnya, Laya melepas sepatu dan ranselnya di tanah. Lalu mulai berlari di antara satu pohon ke pohon yang lainnya, melompat, merangkak, terjatuh, bergulingan, dan tertawa di tanah dan ia merasa seperti burung atau tupai yang bergerak bebas ke sana kemari.
Rumput dan lumut di kakinya terasa lembab bahkan basah. Butiran-butiran air yang terbawa kabut pagi tadi bahkan masih menempel di rerumputan seperti ribuan mutiara kecil yang terbiar terserak di permadani hijau tebal. Ia melihat ke atas. Bahkan sinar matahari sendiri seperti enggan masuk ke hutan kecil ini karena rimbunnya dedaunan. Mereka seperti merapat menjalin diri satu dengan yang lainnya menciptakan suasana teduh di bawahnya. Semak-semak di sekitar mengeluarkan buah berri liar dan buah hutan lainnya yang sebagian sudah ranum bahkan jatuh ke tanah. Merah, hitam, ungu. Mawar hutan, bakung, dandelion, semua terlihat sangat cerah ceria berwarna berwarna. Semuanya.


‘Gadis kecil itu kini seperti dihinggapi perasaan ajaib yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa kalau perasaan inilah perasaan yang mungkin sama adanya kalau ia memasuki negeri dongeng seperti yang sering diceritakan oleh ibunya. Seperti pada saat ia melihat ajaibnya negeri Narnia di dalam film yang pernah ditontonnya, atau cerita Peterpan dan si peri kecil Tinkerbell, atau seperti memasuki negeri pada cerita Keong Mas atau Cinderella yang sering dibacakan oleh ibunya pada saat ia hendak tidur dahulu. Tapi tentu bukan cerita Cinderella seperti yang diimpikannya tadi malam.’ Scorpio mendehem sebelum ia melanjutkan ceritanya.


Kemudian Laya memanjat sebuah pohon dan berusaha untuk mencapai dahan tertingginya, kakinya menapak mantap lalu kepalanya menyeruak dedaunan untuk melihat pemandangan di luar sana.
Matanya lalu beradu dengan padang ilalang yang menguning yang terus bergerak melambai dihembus angin. Beraturan. Jalanan tempat ia melintas tadi kini terlihat sangat jauh dan kecil. Banyak capung yang terbang bermain atau mencari tempat untuk hinggap di atas ilalang. Kalau burung layang-layang melihat capung-capung itu, mereka pasti senang sekali karena banyak makanan untuk ditangkap, pikirnya
‘Benar-benar ajaib…’ serunya.
Lama Laya memandangi pemandangan ajaib itu dari atas pohon hingga kembali turun memasang ransel miliknya. Tangannya kembali merogoh keripik kentang yang tinggal sebungkus lagi dan memetik buah berri pada semak-semak yang ada. Lumayan untuk mengganjal perutnya saat ini, walaupun ia tidak tahu apa yang bakal dimakannya nanti. Tak henti-henti dirinya takjub dengan pemandangan di sekitarnya, kakinya lalu melangkah, lalu kembali berlari kecil, berjingkat, melompat-lompat, dan berputar-putar menyusuri setiap inci hutan kecil itu seperti ia sanggup melakukannya sepanjang hari. Dan kemudian terbaring karena kelelahan di atas rumput dan lumut tebal di tanah. Sejuk dan nyaman. Dan tertidur beberapa lama di sana.
Hingga kemudian ia membuka mata dan mendapati pikirannya begitu tenang sekarang.
Mengapa aku bisa tertidur di sini? Sudah berapa lama?
Tak berapa lama memang, mungkin hanya sejam atau dua. Namun ia merasa sudah berjam-jam lamanya. Ada sesuatu di ujung pandangannya, di sana, di balik batang sebuah pohon besar. Matanya tertuju pada sebuah susunan batu. Ia berdiri dan mendekat ke sana. Susunan batu yang melingkar, rendah, dan tidak utuh lagi karena telah beberapa batunya tersebut telah terserak di sekitarnya. Dan berlubang.
Begitu ia mendekat ia menyadari kalau ternyata itu adalah sebuah sumur kecil yang terlihat sangat tua dan tentu saja tak dipakai lagi. Bebatuan yang terserak dan dinding-dindingnya tertutup oleh tumbuhan merambat dan lumut. Bahkan sebuah bakal pohon telah menjulur keluar dari dalamnya bersiap-siap untuk kelak menjadi satu dari pohon-pohon besar lainnya di hutan kecil itu. Laya melihat ke dalamnya dan menyadari kalau itu adalah sumur yang memiliki air yang dangkal dan jernih, tidak cukup dalam untuk ukuran orang dewasa, hanya setinggi tiga meter, tetapi cukup dalam untuk tubuh kecilnya. Dirinya kemudian bermaksud untuk turun atau setidaknya mengambil airnya untuk mengganti air minumnya yang telah habis. Lidahnya terasa seret dan kerongkongannya terasa kering sekali.
‘Aduh, aku haus sekali. Bagaimana caranya untuk mengambil airnya. Badanku masih terlalu kecil untuk dapat mengambil masuk ke dalam.’ ia tidak yakin kalau masuk ke dalam maka akan dapat keluar lagi dari sana. Siapa yang bakal menolongnya kalau hal itu terjadi. Tidak ada orang yang melintasi daerah ini apalagi tinggal di sini.
Ia mencari cara bagaimana agar dapat mengambil sedikit air sumur tersebut. Matanya kemudian melihat sekeliling mencari sesuatu yang mungkin dapat membantunya untuk mengambil air. Apapun.
Tapi nihil.
Tak ada sesuatupun di sekitarnya yang dapat dipakai untuk mengambil, atau setidaknya menciduk air sumur itu.
Tangannya mencoba meraih air yang ada di dalam sumur, walaupun ia kemudian menyadari kalau air itu masih terlalu jauh untuk diraih tangan kecilnya. Tentu saja hal itu sia-sia. Tapi ia tetap saja mencoba menjulurkan tangannya sejauh mungkin dan bahkan memasukkan sebagian tubuhnya ke dalam sumur. Sementara tangannya yang lain tetap menjadi tumpuan untuk menahan beban berat tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia tidak mau terjatuh ke dalam, namun sedikit air sumur itu pasti akan cukup melepaskan dahaganya.
‘Tak ada cara lain.’
Laya merasa kalau bagaimanapun ia harus turun ke sumur itu. Ia lalu mencari tali atau sesuatu yang mirip dengan itu agar dirinya dapat turun dan naik kembali ke permukaan dengan aman. Ia panjat pohon-pohon yang ada, ia susuri semak-semak, ia cabuti ranting-ranting yang halus berharap mereka dapat dijadikan semacam sulur yang dapat membantunya turun ke sungai. Tapi mereka kemudian putus atau patah begitu tangan kecilnya memegang mereka. Laya berpikir keras untuk mencari pengganti tali yang dapat membantunya turun ke sumur tersebut. Dirinya tak pernah menyangka kalau untuk mendapatkan seteguk air dari sumur tersebut ia harus bekerja keras dan mengeluarkan keringat lebih banyak dari seteguk yang mungkin didapatkannya. Matanya lalu melihat ke sebatang patahan batang yang panjang. Tersembunyi di balik pohon yang paling ujung di hutan kecil itu. Ia lalu berlari untuk melihat apakah dahan itu cukup kuat untuk ditaruh ke dalam sumur sebagai tangga yang akan membantunya naik turun.
Kelihatannya cukup kuat dan panjang.
Kayunya juga tidak terlalu besar sehingga sedikit memudahkan dirinya untuk menarik dan melemparnya ke dalam sumur. Itu pikirnya.
Ternyata tidak. Batang kayu itu lumayan berat untuk gadis berusia dua belas tahun tersebut.
Tapi Laya tetap menyeret dahan itu dengan semua kekuatan yang ia punya. Walaupun sebenarnya ia seperti tidak punya kekuatan lagi. Dirinya sudah terlalu lelah. Sedikit demi sedikit dirinya menyeret dahan itu. Hingga akhirnya sampai di bibir sumur.
Tubuh kecil itu berhenti sebentar mengambil nafas. Dirinya sudah tidak kuat lagi. Tapi entah mengapa, seperti ada kekuatan yang menyuruhnya untuk jangan berhenti di situ sebelum ia masuk ke dalam sumur dan mendapatkan air yang diinginkannya. Dengan sisa tenaga yang dia punya. Ia seret batang itu terus mendekat pada sumur, ia angkat, dan akhirnya mencoba untuk memasukkannya ke dalam lubang sumur dan …
Terdengar suara jatuhannya beradu dengan air.
Berhasil!
Batang itu telah ada di dalam. Berdiri secara diagonal dengan ujung yang satu mencapai dasar sumur sementara ujung yang lain menyentuh hampir bibir sumur yang dirasa cukup untuk menjadi pijakannya turun dan naik kembali nantinya.
Ia mulai melangkah masuk dan mencoba menuruninya dengan pelan. Pelan… sambil ia juga berdoa untuk tidak terpeleset dan jatuh ke dalamnya.
Dingin. Dan sesuatu menahannya dari belakang, bajunya tersangkut pada ujung tepian sumur. Ia mencoba menariknya secara perlahan-lahan tapi malah membuatnya terkoyak dan menyisakan sisa bajunya di atas. .
Yah sudahlah. Hanya koyakan kecil. bisiknya. Ia melihat kembali ke bawah dan coba untuk kembali turun. Pijakan pertamanya dirasa cukup sukses.
Dan hup!
Pijakan kedua telah membuat kedua kakinya menapak di atas ujung batang. Sementara tangannya masih memegang ujung bibir sumur. Perlahan ia menurunkan tangan kanannya untuk memegang ujung dahan tempat kakinya berpijak. Seiring dengan kaki kanan yang diturunkan untuk meraih pijakan yang lebih rendah. Terasa sulit dilakukan ditambah dengan ransel yang masih juga dibawa di punggungnya. Ia merasa was-was. Kalau ia lepaskan tangan kirinya dari bibir sumur maka kemungkinan dirinya akan jatuh. Ia mencari batu atau permukaan timbul lainnya yang dapat dijadikan pegangan untuk kedua tangannya.
Ya, di sana.
Ada sebuah ceruk yang memungkinkan tangannya untuk menahan dirinya agar tidak terjatuh. Diraihnya ceruk itu sehingga ia mendapat pegangan yang lebih rendah. Perlahan kakinya turun selangkah dan selangkah lagi. Dan tangannya yang lain berusaha mencari ceruk-ceruk yang lain untuk pegangan. Ia melihat ke atas. Sinar matahari terlihat seperti bintang yang berkedip di waktu malam. Menyeruak di antara rerimbunan daun pohon-pohon yang besar. Begitu hening di dalam sini. Seakan suara dan waktu berhenti berputar. Senyap.
Hup!
Dirinya sudah sampai di bawah kini. Gelap dan lembab. Air sumur itu tidak dalam, dangkal malah hanya setinggi lututnya. Bening dan terasa dingin sejuk. Segera ia meminum airnya dengan senangnya. Air yang membasahi kerongkongannya bagai menghapus dahaganya selama berhari-hari. Hilanglah hausnya kini.
Ia membasuh mukanya di dalam sumur itu. Dan memandang ke atas ke bibir sumur. Di atas, sinar masih terlihat seperti bintang yang berkedip di waktu malam. Bibirnya tersenyum.
Aku akan menghabiskan malamku di sini sebelum aku melanjutkan perjalananku esok hari, pikirnya.
Kembali ia meminum air itu, membuka ranselnya, dan mengisi tempat minum kecilnya sampai penuh dan menaruhnya kembali dalam ransel.
‘Kurasa cukup sampai aku tak merasa haus lagi nanti.’ ia berbicara pada dirinya sendiri, kedua ujung bibirnya naik membentuk kurva kecil. Manis sekali. Ransel ini terasa membebaninya, maka dicobanya untuk melempar ranselnya ke atas melewati sumur agar bebannya untuk memanjat berkurang, tapi sia-sia, ransel itu terlalu berat untuk dapat mencapai bibir sumur. Dan sekali lagi, Hup! Tetap sia-sia. Dua kali mencoba sepertinya sudah cukup untuk meyakinkannya berhenti melempar ransel ke atas.
Baiklah, ransel ini akan tetap ada di punggungku hingga di atas nanti.
Kini ia berusaha untuk kembali naik ke atas dan berharap untuk beristirahat setelahnya.
‘Aku akan mencari makan setelah berada di atas. Buah-buahan dari pohon-pohon besar itu sepertinya boleh juga.’
Tangannya mulai mencari pegangan pada dinding sumur, sementara kakinya mulai menapak pada batang dan dinding yang berlumut.
Satu, dua langkah. Semuanya menjadi amat berarti kini.
Nafasnya satu-satu karena ia berhati-hati agar kalau ia terjatuh, maka jatuhnya tidak terlalu menyakiti dirinya.
‘Uh, Sedikit lagi, … ya, Laya sedikkit lagi. Ayo angkat kaki malasmu. Ayo cepat. Uhh.’ pada saat ia mendesak untuk naik, ternyata ranselnya tersangkut pada sebuah batu sampai menghalangi geraknya untuk naik kemudian, akibatnya...
Byurr!
Ia kembali ke dasar sumur. Dirinya jatuh terjerembab, tercebur ke dalam sumur hingga sebagian kepalanya ikut terbenam merasakan air sumur dan seketika membuat Laya megap, nafasnya tercekat di kerongkongan. Ia berusaha membalikkan tubuhnya ke atas dan meraih udara segar tetapi kemudian kepalanya terasa berat sekali ditambah dengan punggung yang sakit karena terjatuh. Batang dan dinding sumur pasti akan menjadi semakin susah untuk dinaiki. Air yang muncrat ke atas mengenai kulit batang kayu dan lumut pada dinding sumur membuat permukaan menjadi licin sekali,
Sekali lagi ia berusaha bangkit dan berdiri bersandar di dinding sumur. Dengan nafas yang mulai tersengal dan tangan kecil yang berusaha mencari pegangan yang pas, Laya kembali mencoba naik ke atas batang kayu tersebut. Satu kaki, dua kaki, lalu merubah posisi tubuhnya sedemikian rupa untuk dapat menjangkau sisi terjauh yang dapat diraih tangannya. Lalu ia terdiam mencoba berpikir sisi mana lagi yang akan diraihnya untuk menjadi pegangan yang pas. Dalam keadaan seperti itu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pada dinding di hadapannya terdapat sebuah lubang yang tak begitu besar. Namun, bukan lubang itu pokok penglihatannya, tetapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang berkilauan, seperti kilau logam. Sekilas saja, namun cukup baginya untuk menhgetahui kalau ia adalah memang sebentuk logam. Tak ada cahaya yang cukup yang masuk ke dalam sumur itu apalagi ke dalam lubang itu, namun benda itu entah bagaimana seperti mengeluarkan kilaunya sendiri, kecil tapi cukup menarik perhatiannya. Laya lebih mendekatkan wajahnya pada dinding sumur di hadapannya, dan mendekatkan matanya untuk melihat jauh ke dalam lubang.
Benar. Ada sesuatu di sana. Tapi entah apa itu?
Jari-jarinya kini berusaha menjangkau.
Terlalu kecil. Lubangnya terlalu kecil.
Ia memaksa untuk membongkar dinding sumur itu. Berusaha membongkar beberapa batu tuanya sementara kakinya terus berusaha menyeimbangkan badannya agar tidak terpeleset lagi. Dan berhasil. Batu-batu dinding sumur itu sudah terlalu lama dan lapuk karena lembab sehingga tidak terlalu sulit untuk dibongkar. Ia sibakkan jari-jarinya di antara tanah dan batuan dinding sumur, Dan kini… ia dapat melihat benda itu. Memang sebuah benda yang berkilau. Sebuah besi atau…
Ia mencoba mencongkel lagi lebih dalam dan,
Auu! Tajam!
Tangannya refleks menarik kembali. Sisi-sisinya tajam dan itu melukai ujung jarinya hingga berdarah kini. Benda apa itu?
Ia mencecap darahnya sedikit dan kembali berusaha mengambil benda itu dengan lebih berhati-hati. Tangannya membongkar batuan lebih besar dan leluasa untuk menarik benda itu keluar.
Dapat! Sebuah besi, bukan, sebuah pisau! Pisau yang…patah.
Ia menarik keluar pisau itu dan bukan pisau yang baik. Telah tertutup dengan lumpur kotor dan karat. Tapi itu hanya dipermukaannya saja.
Laya mencoba menjatuhkan dirinya ke dasar sumur dan membasuh pisau itu dengan airnya. Tangannya mengusap permukaan gagang pisau itu dengan lembut. Ada sebuah batu permata di ujungnya berwarna hitam. Lalu usapannya berpindah pada mata pisaunya. Sepertinya ini bukan sebuah pisau. Ia memang patah, namun masih saja ukurannya terlalu besar untuk menjadi sebuah pisau. Ini sebuah pedang, pedang yang patah. Dan ketika ia terus membasuhnya, semakin kelihatan bahwa itu adalah sebuah pedang dengan gagang keemasan yang berkilauan.
Wow. Ternyata ini pedang yang bagus sekali. Bukan karat. Pedang ini tak berkarat sama sekali. Hanya lumpur yang menutupinya.
Pedang itu bukan seperti pedang yang selama ini dilihatnya di televisi, bukan juga seperti pisau yang terang mengkilap karena logamnya. Tapi pedang itu berwarna hitam. Laya mencoba membersihkan lagi untuk meyakinkan dirinya. Siapa tahu itu adalah kotoran atau karat yang masih menempel. Tetapi bukan. Pedang itu bersih dan ia memang berwarna hitam. Hitam yang mengkilap. Saat Laya masih melihat benda yang ada di pegangannya, pedang kemudian itu mengeluarkan sinar. Bukan karena tertimpa cahaya mentari di atas tapi ia memang bersinar. Betul-betul bersinar dengan cahayanya yang biru kehijauan. Dan sepertinya ia mendesis atau mendesing. Merasa tidak yakin Laya lalu mendekatkan telinga pada pedang itu. Benar. Ia mendesing. Padahal laya tidak melakukan apapun pada pedang itu. Belum habis rasa kagumnya pada sinar pedang tersebut, tiba-tiba Laya merasakan angin yang berhembus kencang masuk ke dalam sumur. Menusuk dingin hingga ke tulangnya. Kembali ia melihat ke atas.
Baiklah, saatnya untuk mencoba kembali naik k atas.
Segera ia menyelipkan pedang itu di antara pinggang dan celananya. Kaki-kakinya kembali memijak pada batang pohon yang melintang tersebut. Mudah-mudahan kali ini ia dapat berhasil mencapai bibir sumur dan keluar dari situ.
Pada saat itu, kembali angin berhembus. namun kini lebih kencang, sepertinya ada angin dari atas sana yang sengaja masuk ke dalam sumur dan berputar di sana.
Ada apa ini? Laya bingung.
Hingga kemudian angin itu terus berputar lebih kuat di dalam sumur seperti tornado kecil. Laya mulai panik dan menjerit. Angin itu begitu kuatnya kini hingga batang pohon tempatnya berpegangan ikut bergerak. Saat matanya melihat ke bawah, ia dapat merasakan air sumur itu bergerak dan turun, seakan ada lubang di dasar sumur yang membuat arus datang entah darimana. Padahal ia yakin kalau dasar sumur bening itu adalah batu-batuan dan air mengalir masuk melalui celahnya. Tapi mengapa air sumur terus bergerak seperti mencipta arus sendiri atau ada kekuatan gaib yang memerintahkannya untuk bergerak berputar dan naik perlahan.
Laya benar-benar panik kini.
Dirinya berusaha untuk meraih apa saja yang dapat dipegang tangannya untuk naik ke atas lagi. Tapi tak bisa, nafasnya mulai terengah tak beraturan. Angin masih terus berputar dan perlahan batang pohon itupun sepertinya semakin tersedot turun ke bawah perlahan.
Tidak! Tidak! Aku harus mencapai ke atas. Aku tak mau ada di sini.
Tangannya mencoba mendaki ke atas kayu yang dijadikannya pijakan tadi lebih cepat kini. Tak peduli ia dengan licinnya dinding dan batang itu sendiri. Tapi usahanya sia-sia. Lumpur di dasar sumur seakan melembek dan segera kini semua yang ada di dalam sumur itu berputar semakin kencang dan kencang.
Entah kemana semua batu dan dasar yang keras tadi.
Kini air mulai merambat naik ke pahanya dan mulai meraih pinggangnya.
‘Aku mau keluar! Aku mau keluar! Tolong, siapapun di atas sana tolong aku, toloooong!’
Laya histeris, dirinya menolak dimakan hidup-hidup oleh sumur itu. tangannya meraba-raba dan menggapai semua yang ada di sekeliling sumur. Semua lumut telah terserabut oleh jari-jarinya.
Tapi sekali lagi itu semua tak ada artinya. Lumpur di dasar sumur seperti memegang erat kaki dan pinggangnya. Dan air sumur itu sendiri seperti mengikatnya dari segala arah yang bisa untuk menjeratnya tetap berada di dalam. Semakin ia mencoba untuk meronta, semakin cepat lumpur dan arus itu menariknya ke dalam. Kini seperti ada lubang yang membuka di dasar sumur yang menelan kayu itu dengan segera.
Hingga akhirnya semua yang ada di dalam sumur itu ikut berputar dengan arus dan tenggelam bersama.
Byuuur…
Air sudah menenggelamkan semuanya kini. Dan semua seperti bergerak dalam gerakan yang pelan, dirinya, batang pohon itu, bahkan arus air yang membawanya. Masih dalam kebingungan dan ketakutan Laya seperti berusaha mencari yang ia sendiri tidak tahu apa. Pandangannya mengabur di dalam air. Pikirannya bercabang kemana-mana. Ia masih bisa merasakan kalau ranselnya masih menempel di punggungnya. Di antara ketakberdayaannya, Laya masih bisa melihat sinar mentari yang berkelap-kelip seperti bintang di antara rimbunan dedaunan, bibir sumur yang tak seberapa jauh dari kepalanya. Ia masih bisa berpikir kalau sumur itu tetaplah sumur yang dangkal, dan tak habis pikir mengapa ia bisa tenggelam di sumur yang dalamnya hanya setinggi lututnya. Mulutnya menggembung karena udara yang disimpan paksa. Hingga kemudian tubuhnya kembali tersedot lebih dalam, entah menuju kemana, hingga kemudian ia melayang, ringan sekali. Laya tidak sadarkan diri untuk sesaat, beberapa detik yang terasa sangat lama.
Dimana aku? Mana sumur tadi?
Kini Laya melihat bahwa sumur itu seperti telah berubah menjadi sungai gua bawah tanah yang luas tetapi tidak gelap. Dan ia tenggelam di sana. Matanya masih dapat melihat sekelilingnya walaupun kabur. Tak nampak apapun di bawahnya selain hitam dan hitam. Sementara ia tidak tahu di mana jejak sumur yang dimasukinya tadi. Di atasnya adalah batuan karang solid yang sama gelapnya. Tak ada tanda-tanda permukaan atau udara di sana. Ia bingung sekali, pada saat ini ia merasa beruntung memiliki kemampuan berenang dan menyelam seperti yang diajarkan ibunya walaupun ini bukan di kolam tapi air yang luas yang tidak diketahui di mana dasarnya. Selain itu ia juga takut karena ia dapat tenggelam dan mati. Ia mencoba membuka mulutnya tetapi air segera menyergap masuk. Laya lalu menutup mulutnya dengan cepat.
Ini bukan sungai yang sering diceritakan ibu dalam cerita-ceritanya yang dapat dimasuki dan kita masih dapat bersuara di dalamnya bahkan bercanda dengan makhluk-makhluk air yang baik dan cantik. Bukan, ini nyata dan aku dapat merasakannya sekarang.
Dan ia tak tahu berapa lama akan bertahan. Kemudian matanya menangkap sinar mentari yang muncul dari balik bebatuan beberapa meter darinya dan memendarkan warna-warna pelangi dari kristal-kristal yang timbul di antara stalagtit dan stalagmit gua itu dan entah dari mana lagi. Dirinya masih mempertanyakan apakah ini penglihatan yang nyata atau tidak karena dirinya tidak tahu lagi harus bagaimana. Dan mungkin sinar itu satu-satunya jalan. Maka dicobanyanya berenang menuju sinar itu dan berharap mendapatkan permukaan.
Paru-parunya yang sesak menyadarkannya. Ia butuh udara saat ini.
Aku tak bisa menyelam lebih lama lagi, apa yang harus aku lakukan? Aku akan mati lemas tenggelam di sini. Aku akan mati di sini… aku tak mau!
Terus ia berusaha berenang menuju asal cahaya tersebut, semakin mendekati dan mendekati, hingga kemudian…
Laya tersekat. Ia ia tak dapat bergerak maju. Apa ini?
Ia merasa kakinya seperti dipegang oleh sesuatu.
Apa yang mengganjal kakiku!?
Ketika ia melihat ke belakang, samar, namun ia dapat melihat bahwa ada sesosok makhluk yang memiliki rambut yang panjang terurai melayang-layang menutup wajahnya,
Laya terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Darahnya berdesir. Ia menjerit di dalam air. Tapi tentu saja tak ada suara yang keluar. Air malah masuk mengisi mulutnya yang terbuka. Dirinya meronta mencoba melepaskan pegangan makhluk air tersebut. Tapi tangan itu memang kuat mencengkram kakinya.
Kembali ia melihat ke belakang, tangan makhluk itu memiliki sisik dan selaput layaknya katak dan mencengkram mata kakinya dengan erat, dan ia ….
Siapa itu?
Belum habis terkejutnya, kini tangannya tiba-tiba juga ditarik dari atas, dan kini Laya dapat melihat bahwa makhluk itu tidak sendirian, ada temannya yang juga menarik satu tangannya ke atas, seperti mengajarinya berenang,
… atau malah menenggelamkannya?
Siapa kalian, apa yang kalian mau dariku?
Laya terus meronta untuk melepaskan diri. Sedikit air telah tertelan olehnya. Nemun mereka seperti tidak peduli dan terus mencengkeram tangan dan dua kaki Laya pada pegangan masing-masing. Dan Laya dapat melihat mereka dengan jelas kini. Mereka seperti telanjang tetapi pinggang mereka ke bawah layaknya ikan. Mata mereka besar sekali tetapi hanya hitam, atau satu warna gelap yang dapat ditangkapnya. Pikiran Laya lalu teringat pada cengkeraman pamannya di saat ia dinodai.
Laya kembali mencoba menjerit tetapi sia-sia. Ia memberontak dan semakin gigih dengan semua daya yang dimilikinya. Tangan dan kakinya berusaha untuk melepaskan diri dari pegangan, tapi itu juga sia-sia. Apalah daya tangan dan tenaga anak perempuan berumur dua belas yang tenggelam di dalam air tahun di bandingkan dengan dua makhluk yang berukuran sama dengan orang dewasa. Lalu ia teringat dengan pedang itu, mungkin jika ia dapat melepaskan diri ia dapat membuat mereka takut. Laya seperti dikejar waktu. Ia semakin kehabisan udara tapi ia juga tak berdaya melepaskan diri. Hingga di dalam takutnya ia merasa putus asa dan memberontak sekuatnya. Satu tangannya yang dipegang dapat lepas tapi tidak untuk lama. Makhluk itu berusaha kembali memegangnya walaupun ia hanya berhasil mendapat tangan kanannya kini. Dengan cepat lalu Laya meraih pedang itu dari pinggangnya dan disabitkan sekenanya.
Cess!
Pedang patah itu berhasil mengenai lengan makhluk itu sehingga ia membebaskan tangan kanannya lalu berenang menjauh. Laya tak bermaksud untuk melukai, ia hanya ingin makhluk-makhluk itu pergi dari sekitarnya. Kini laya berusaha berbalik untuk melakukan hal yang sama pada makhluk kedua yang menyadera kakinya. Pedang itu tiba-tiba kembali bersinar danlebih terang kali ini sehingga berhasil membuat makhluk kedua gusar dan seperti berteriak. Tak seperti temannya, makhluk itu melepaskan kaki Laya dengan sendirinya. Sepertinya keduanya takut akan cahaya pada pedang itu. Laya dapat melihat mulut makhluk itu terbuka lebar dan mereka menjauh.
Ia semakin lelah. Kadar udara dalam paru-paru dan mulutnya sudah hampir dan hampir habis. Begitu juga dengan perlawanannya, ia begitu lelah, tak ada lagi tenaga yang tersisa. Air mulai masuk dan menyesaki kerongkongan dan paru-parunya. Tapi kemudian ia melihat makhluk pertama yang dilukainya itu datang kembali dan menyerangnya. Ia datang dan menubruk dirinya dan menghempas Laya dengan ekor ikannya yang besar. Bukan itu saja, dalam pikirannya yang telah memasuki antara alam sadar dan tidak, sepertinya Laya melihat makhluk yang satu lagi juga mendekat padanya, dan… entahlah. Yang ia tahu air terasa berputar dan bergerak sangat cepat membawanya menjauh dari dari tempatnya berada dan ia tak dapat melakukan apapun selain hanya dapat mengikuti arus itu.
Hingga matanya kemudian memberat dan mulutnya dibekap dengan sesuatu dan dirinya terasa seperti ditarik. Akhirnya ia tak dapat melihat apa-apa lagi, semua menghitam, …
hitam,…,
hitam,
dan Laya tak ingat apa-apa lagi.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar