Sabtu, 18 September 2010

Ģīlīŗaņ Şcoŗpīo Beŗķīşaħ



V
Şeļamať Ðaťaņġ
Đī Aŗaġūļļī


Pagi telah datang.
Ini adalah hari kedua menuju negeri Aragulli. Kini saatnya untuk Xëylon dan Laya bersiap untuk menyambung perjalanan mereka, Xëylon berkata kalau hari ini mereka akan sampai di sana. Dan cuaca terasa sangat dingin sekali pagi ini. Xëylon membuka sebuah tas besar di salah satu bawaan di pelananya, ada sebuah jaket bulu pendek di sana dan ia lalu memakainya. Ia kelihatan semakin gagah dengan jaket itu. Lalu Xëylon melirik pada Laya,
‘Bagaimana denganmu? Tidakkah kau memiliki baju hangat? Kau bisa memakai punyaku kalau tidak punya.’
Laya mengeluarkan jaket biru dalam ranselnya,
‘Aku akan baik-baik saja dengan jaket ini.’
‘Haha… Baiklah, kurasa itu juga cukup.’
Setelah mengemas semuanya, Xëylon lalu kembali menyampirkan busur di punggungnya, menempatkan kedua tas besarnya di tubuhnya yang juga sebagai dudukan untuk Laya, mengakatnya dan menaruh pedangnya di belakang salah satu tas tersebut. Ia lalu membantu Laya naik ke atas tubuhnya,
‘Baiklah, siap?’
‘Aku siap,’
‘Hmm, kita berangkat. Pegang yang erat.’ ia lalu menaikkan kedua kaki kuda depannya ke atas. Laya terkejut dengan lonjakan tiba-tiba itu sehingga hampir terjatuh, namun cepat ia berpegangan pada tubuh Xëylon, lalu dengan sekali hentakan Xëylon lalu berlari dengan kencangnya.
‘Nah, berpeganglah padaku lebih kuat kalau kau ingin merasa lebih hangat.’
‘Ya,’ namun Laya merasa kalau dirinya sudah cukup hangat kini. Berada di belakang punggung Xëylon juga tidak terlalu buruk. Walaupun mereka melaju kencang namun Laya merasa kalau ia masih dapat menahan laju dingin angin di tubuhnya.
Selama satu jam ke depan mereka kembali melintasi savana yang luas tersebut seperti kemarin, sesekali Xëylon melompat tinggi menghindari batu-batu besar tanpa takut Laya dan bawaannya jatuh di belakang. Ia benar-benar dapat mengendalikan dirinya. Beberapa jam kemudian, entah berada di mana mereka kini, tadi Xëylon mengatakan kalau mereka kini berada di kawasan yang bernama, entahlah… sesuatu yang dimulai (atau yang diakhiri) denga kabuu, Laya tidak mengingatnya dengan baik. Cuaca sepertinya cukup baik hari ini. Matahari tidak bersinar dengan kuatnya namun juga tidak mendung. Lucu bagi Laya melihat Xëylon memacu kaki kudanya berlari. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan seekor kuda lengkap dengan kepalanya berlari dengan keempat kakinya, walaupun ia hanya melihatnya di televisi. Namun kini ia mengalami sendiri berada di belakang tidak hanya kuda namun juga seekor manusia kuda yang memiliki setengah badan manusia pada – yang seharusnya – leher kuda dan memiliki tangan manusia juga. Laya membayangkan bagaimana kalau dirinya sendiri menjadi manusia dengan empat kaki. Apakah ia juga dapat berlari dengan kencangnya?
Kawasan savana sudah terlewatkan di belakang, kini mereka telah sampai pada pinggir hutan pinus dan sebuah sungai kecil yang mengalir di dekat mereka. Laya turun dari punggung Xëylon dan mengisi dua kantung kulit air untuk perbekalan mereka. Xëylon juga mengambil tempat di bawah sebuah pohon yang rendah untuk beristirahat. Tangannya mengambil buah-buahan pohon tersebut yang berwarna ungu. Ia memberikan sebuah pada Laya untuk dirasa.
‘Cobalah, kau akan suka buah ini.’
Laya mencobanya, manis dengan sedikit asam terasa si lidahnya, namun kemudian ia mengambil sendiri buah itu lagi dari pohonnya dan duduk di samping Xëylon.
‘Tuan Xëylon,’
‘Ya,’
‘Kata tuan kita akan menuju Aragulli kan?’
‘Ya, benar.’
‘Apakah Arragulli itu?’
‘Mmm, yah, Arragulli adalah salah satu negeri utama dari sembilan negeri di Dunia Tengah. Aragulli adalah sebuah tempat yang ramai dan sejauh ini kurasa cukup damai untuk ditempati. Walaupun kau tentu menyadari kalau orang yang berniat jahat dapat berada di mana saja. Saat ini Aragulli dipimpin oleh seorang raja yang bernama Erondya.’ Xëylon lalu terdiam.
‘Erondya?’
‘Yah, Erondya. Terus terang, aku sendiri tidak menyukai Erondya.’
‘Mengapa?’
‘Ah… Tidak apa-apa. Dulu, Erondya sendiri sebenarnya adalah seorang panglima perang kerajaan Aragulli. Raja yang terdahulu adalah Agastya yang terbunuh oleh para Fax dalam peperangan bertahun yang lalu. Aku sendiri berada di depannya pada saat itu, dan aku tak dapat menolongnya. Aku menyaksikannya mati di hadapanku. Lalu terjadilah kekosongan kepemimpinan di Erondya. Karena kekosongan pemimpin itulah, maka para tetua dan dewan memutuskan kalau Erondya adalah orang yang tepat untuk memimpin kerajaan, dan alasan yang lain lagi yang lebih pantas adalah, Erondya adalah adik dari Agastya.’
Xëylon lalu terdiam kembali, seakan menyesali saat-saat dahulu.
‘Oya, apakah sudah kubilang tadi kalau Aragulli adalah negeri yang ramai?’
Laya mengangguk, ‘Kau akan suka berada di sana. Mungkin sedikit berbeda dengan kota tempat asalmu, namun kurasa kau akan menyukainya.’
‘Di mana kita akan tinggal di Aragulli?’
‘Kita? Dirimulah yang menjadi perhatianku saat ini. Sedangkan aku dapat tinggal di mana saja yang aku suka. Dan sejujurnya aku tidak suka tinggal di satu tempat. Aku ingin bebas tak terikat. Sebenarnya, mayoritas kaum Chlom sendiri tinggal di perbukitan Ishmar, di antara padang rumput dan lembah. Seperti yang lain, aku juga memiliki satu tempat untuk bernaung di sana. Namun, maaf Laya, kau tidak akan tinggal bersamaku dan aku juga tidak dapat membiarkanmu tinggal bersamaku. Setelah aku pikir-pikir semalam, kau nanti akan kubawa menemui Orakel, akan kuminta padanya agar ia mau menerimamu di sana.’
Laya agak sedikit kecewa mendengar bahwa ia tidak akan tinggal dengan Xëylon, ia sudah merasa akrab dan nyaman bersamanya, namun tak apalah pikirnya, daripada ia harus kembali ke tempat bibi dan …
‘Orakel? Siapa itu orakel? Bagaimana jika tidak?’
‘Orakel adalah temanku. Saat ini, satu-satunya orang yang dapar memahamiku. Bagaimanapun gundah perasaaanku maka orang yang dapat mengerti adalah dirinya. Ia telah menjadi … sahabatku sejak lama.’
Kemudian Xëylon memandang ke arah padang yang telah mereka lewati tadi.
‘Kau tahu Laya, jika kau merasa tidak ada yang mempercayaimu lagi, atau ketika kau merasa semua orang menjauhi dan mengkhianatimu, maka orakel adalah orang yang akan ada di sampingmu untuk memberi semangat yang akan menumbuhkan kembali dirimu yang sesungguhnya. Tenanglah, ia tidak akan menolakmu, ia pasti mau menerimamu di tempatnya. Percaya padaku, ia pasti mau …’
‘Baiklah.’
‘Nah, sekarang taruh air-air itu di punggungku, dan naiklah, sudah cukup rasanya kita beristirahat.’
‘Baiklah.’
Setengah jam kemudian mereka telah keluar dari hutan tersebut,
‘Nah, tak berapa lama lagi kita akan sampai. Kau lihat bukit-bukit yang ada di sana itu. Itulah Aragulli.’ Xëylon berkata sedikit berteriak pada Laya setelah sekian lama mereka diam. Desiran angin telah mengganggu pendengaran mereka. Ia menunjuk ke depan.
Laya menajamkan matanya. Di kejauhan terlihat perbukitan putih yang yang menandakan kandungan granitnya. Tak berapa jauh lagi mungkin dalam tiga puluh menit lagi mereka akan sampai di sana. Laya kagum kepada Xëylon, ia dapat berlari sepanjang hari dengan stamina yang prima. Ia benar-benar seorang manusia kuda yang tangguh.


Ķini negeri Aragulli telah ada di depan mata.
Dari jarak mereka kini Laya dapat melihat sebuah bukit putih kokoh yang tinggi terpahat dengan rapi membentuk sebuah bangunan megah, namun ia tidak dapat melihat dengan jelas karena semakin dekat dengan kawasan itu semakin dekat pula mereka dengan perbukitan granit yang memagari Aragulli. Langkah kaki Xëylon telah berhenti kini. Di hadapan mereka telah berdiri pintu gerbang Aragulli.
Laya dapat melihat kalau pintu gerbang itu sangat besar dan tinggi. Terbuat dari gabungan kayu dan logam yang melengkung dan tingginya kira-kira 15 prill (1 prill = 2 meter). Aragulli sendiri dikelilingi oleh tembok batu yang sedikit lebih tinggi dari pintu gerbangnya dan sangat panjang seperti bersatu dengan perbukitan granit itu sendiri. Di atasnya terdapat beberapa penjaga yang akan memberitahu dan melindungi dari apa saja yang terjadi di luar tembok. Laya bertanya-tanya bagaimana rupa Aragulli di dalam tembok yang luar biasa besar ini?
Beberapa penjaga ternyata telah melihat Xëylon dan Laya yang akan memasuki Aragulli dari kejauhan. Salah seorang di antaranya berteriak memberi aba-aba untuk membuka pintu bagi mereka.
‘Tuan Xëylon ada di luar, buka pintu gerbangnya!’
Tak berapa lama kemudian.
Huuuuurrrh….
Bunyi gemuruh keluar seiring dengan dibukanya pintu gerbang itu. Kini Laya menyadari betapa pintu gerbang itu begitu besarnya. Tebalnya saja kira-kira berukuran empat kali dirinya bila dijejerkan. Tidak, mungkin lima atau enam. Begitu celah pintu itu terbuka, ia masih harus melewati semacam lorong yang panjang. Wajar, diatas mereka bukan hanya sekedar pintu gerbang, namun juga benteng yang kokoh yang selalu diisi para penjaga yang kuat sepanjang waktu yang bertugas melindungi Aragulli. Di ujung lorong sinar matahari menampakkan wajahnya. Semakin mendekati ujung semakin nampaklah bagaimana rupa Aragulli dari balik benteng kokoh yang dilihatnya di luar. Jantungnya berdegup kencang begitu pintu tersebut terbuka, katup penyimpan adrenalinnya juga ikut terbuka dengan semua perasaan ingin tahunya di dalam hatinya.

Benar Aragulli adalah negeri yang ramai. Begitu berada di balik pintu kerumunan orang sudah terlihat bersliweran di mana-mana dengan kesibukan masing-masing. Banyak panji-panji berkibar di banyak bangunan. Xëylon kemudian membawa Laya masuk ke dalam pusat kota Aragulli di mana lebih banyak lagi keramaian di sana. Begitu berwarna, begitu sibuk. Yang membuat Laya kagum adalah bangunan yang ada di sana semaunya didominasi dengan warna putih yang berasal dari batu granit yang halus. Tapi tak sepenuhnya putih karena, yang menarik adalah, terdapat batuan kristal yang menempel di dinding-dinding bangunan tersebut seakan-akan itu adalah hiasan yang yang ditempel di sana layaknya batu bata. Kristal-kristal yang beragam warna itu juga memiliki bentuk yang tak beraturan. Persegi panjang, bulat, kubus, dan lainnya dengan permukaan yang sudah halus maupun masih kasar. Dan ukuran mereka juga beragam, mulai dari yang sebesar kerikil sampai yang sebesar lemari pendingin dua pintu seperti yang ada di rumah bibi Laya. Tiap rumah dan bangunan yang ada menjadi berwarna dengan adanya kristal-kristal itu. bukan itu saja. Jalanan batu yang ada di setiap sudut negeri juga berhiaskan dengan batu-batu kristal raksasa berwarna-warni tersebut.
Dan bangunan-bangunan granit tersebut sepertinya adalah bagian dari bukit granit itu sendiri yang dipahat hingga akhirnya membentuk rumah atau bangunan lainnya. Banyak bangunan yangberdempet satu sama lain atau memiliki tinggi yang seragam.
‘Layaknya negeri dongeng saja.’
Xëylon sengaja membawa Laya berjalan dengan pelan. Ia tahu kalau hal seperti itu tidak akan Laya jumpai di tempat asalnya. Bukan itu saja yang membuat Laya kagum. Penduduk yang tinggal di sana sebagian juga memiliki bentuk tubuh dan wajah yang aneh. Seperti halnya Xëylon. Laya tertawa sepanjang jalan Aragulli, terkadang ia menunjuk ke suatu arah dan melakukan apa ini dan apa itu pada Xëylon karena ingin tahunya.
Seperti yang dilihatnya di suatu sudut, seorang bapak yang sedang berjualan semangka. Ia memiliki tubuh manusia tetapi memiliki rambut kuning keemasan yang menutupi hampir seluruh wajahnya, yang membuat ia terlihat seperti seekor singa. Tangan kanannya memegang semangka tersebut sementara mulutnya terus menawarkan pada setiap orang yang lewat. Atau seorang ibu yang sedang menggendong anaknya yang menangis. Ia dan anaknya memiliki kulit yang berbelang dan bermata layaknya mata ular. Mereka sedang menaiki sebuah kereta yang ditarik oleh seekor hewan berkaki dua yang terlihat seperti seekor burung yang sangat besar berwarna hijau namun tidak memiliki bulu dan sayap, hanya dua tangan kecil yang seperti cakar pada dadanya, bentuknya lebih mirip seperti salah satu spesies dinosaurus atau burung unta hijau yang bertangan dalam bentuk yang lebih jelek dan lebih besar, pikir Laya, matanya merah begitupun dengan paruhnya. Ada semacam antenna pada atas kedua matanya dengan ujung yang seperti bola golf. Ibu dan anak itu sepertinya berasal dari golongan berada karena mereka terlihat seperti itu.
Dommu, kata Xëylon. Saat Laya bertanya binatang apa itu. Dommu. sepertinya nama itu cocok untuk binatang itu, lalu terlihatlah dommu-dommu yang lain yang berkeliaran di jalan-jalan Aragulli sebagai kereta atau tunggangan.
Masih belum terbiasa dengan apa yang dilihatnya, di satru sudut laya melihat seorang perempuan yang memiliki telinga yang panjang seperti halnya kucing namun berwajah biru, yang sedang berjalan bersisian dengan temannya yang berbentuk seperti manusia normal layaknya.
Hey, benarkah mereka itu manusia?
Atau ada sekumpulan lelaki dan perempuan yang berpakaian jubah putih yang - dalam pandangan Laya sepertinya mereka - bersinar dan berjalan dengan tenang seperti tidak menapak bumi. Seseorang dari mereka melirik kepada Laya,
‘Kaum peri Lembah Radu. Mereka tidak berjalan di atas tanah namun melayang. Jangan menatap mereka terlalu lama, pandangan mereka dapat menarikmu.’ Xëylon tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kata ‘dapat menarikmu’. Ia sendiri bahkan berbicara dengan melihat lurus ke depan.
‘Benarkah?’
‘Ya,’
Laya menatap mereka semua dengan heran.
‘Tuan Xëylon, apakah wajah mereka memang seperti itu?’
‘Maksudnya?’
‘Maaf, tapi semua ini sangat aneh bagiku, sebagian orang-orang ini memang berbentuk manusia namun sebagian lagi adalah perpaduan binatang.’
‘Seperti aku?’
Laya terdiam, ia tidak bermaksud begitu pada Xëylon.
‘Ya. Kau harus sadar Laya kalau ini bukanlah Dunia Atasmu. Masing-masing dari kami, atau mereka, berasal dari golongan yang berbeda. Aragulli kadang mendapat tambahan penduduk dari beragam golongan yang datang karena mereka ingin mendapat perlindungan dari peperangan yang terjadi di negeri mereka. Jadi artinya, kau tidak perlu heran kalau setiap makhluk di Dunia Tengah adalah pribadi yang unik yang bentuknya tidak seperti manusia kebanyakan yang seragam seperti di duniamu. Coba saja nanti kau lihat bagaimana bentuk kaum Abatu. Aku sendiri saja sulit percaya kalau mereka memiliki bentuk seperti itu he he he…’ Mereka terus berjalan hingga tiba-tiba seseorang menyapa mereka.
‘Hey, salam tuan Xëylon, senang sekali dapat bertemu anda di sini. Apa kabar anda? Lama sudah kita tidak berjumpa?’
Seorang lelaki gemuk pendek dengan kuping yang bergerak-gerak seperti kuping kucing dan cambang di wajahnya. Ia mencegat Xëylon dan Laya di tengah jalan. Mukanya terlihat ramah dan lucu.
‘Salam juga untukmu Marco. Apa kabarmu?’
‘Ah, aku baik saja. Hey, kemana saja anda selama ini? Ouw, siapa yang bersamamu itu Tuan Xëylon? Hmm… Gadis kecil yang manis sekali.’ Laya tersenyum padanya. Marco lalu mengambil tangan kiri Laya dan menciumnya. Laya masih terpaku olehnya.
‘Dia temanku, namanya Laya.’
‘Oh apa kabar Laya. Ini untukmu anak manis.’ lelaki bernama Marco itu lalu menyerahkan sebatang gulali kepada Laya.
‘Terima kasih.’ ucap Laya, sekilas ia melihat pada tangan Marco yang penuh dengan tato sulur-sulur tanaman.
‘Terima kasih Marco, tapi kami harus pergi sekarang, ada urusan yang harus diselesaikan. Nanti kita akan berjumpa lagi.’
Lain waktu, kata Xëylon dalam hatinya.
Xëylon memberi salam kepada Marco sebelum meninggalkannya. Dan Marco masih terus menatap mereka walaupun mereka telah pergi menjauh.
‘Siapa namanya tadi tuan Xëylon?’ tanya Laya, tangannya menjejalkan gulali pemberian Marco ke dalam mulutnya.
‘Marco.’
‘Lelaki yang baik.’
‘Hah! Begitukah menurutmu? Jangan terlalu percaya padanya. Dia itu pedagang gelap, kadang ia menjual barang-barang juga kepada para Fax.’ Laya melihat ke belakang pada Marco sekali lagi tapi lelaki itu sudah entah di mana tertutup kerumunan, ‘Kalau ia mau, ia juga dapat menjualmu pada para Fax. dan kurasa itu alasannya mengapa ia masih terus menatap kita walau kita sudah pergi jauh darinya. ’
Laya terdiam lalu melirik ke belakang pada Marco. Benar, lelaki itu masih memperhatikan mereka. Dan ia terseyum saat Laya melihat pada dirinya. Laya lalu melihat gulali pemberian Marco. Kini ia tidak bernafsu untuk menjilati gulali tersebut.
‘Hey, bodohnya aku. Kau pasti lapar Laya, bagaimana menurutmu kalau kita makan sebentar?’
‘Tapi aku baik-baik saja kok. Aku belum lapar’
‘Kau yakin?’
‘Ya,’
‘Hmm… baiklah.’
Sebuah kereta dengan seekor dommu yang lain lewat memotong jalan mereka. Tanpa tumpangan.
‘Laya, keberatankah dirimu kalau aku mengunjungi salah seorang temanku di kota ini?’
‘Tidak tuan Xëylon, aku tidak keberatan.’
‘Baiklah, terima kasih.’
Mereka kemudian menjauhi pusat kota dan berjalan berkelok-kelok menuju ke tempat yang lain dari sisi kota. Melintasi jalan-jalan dan lorong-lorong yang menghubungkan jalan yang satu dengan yang lain. Hingga kemudian Xëylon memasuki sebuah kawasan yang lengang. Tak banyak orang yang melintas di kawasan itu walaupun hari masih siang, beberapa perempuan berjalan-jalan di sana dengan lelaki yang menggandeng mereka dengan mesra. Sebagian lainnya tersenyum pada Xëylon dan menyentuh tubuh kudanya begitu melihat ia mendekat. Xëylon tidak memberi mereka perhatian. Hingga kemudian mereka berhenti di depan sebuah bangunan yang kurang lebih sama dengan yang lainnya, namun letaknya terpojok. Bangunan itu juga lebih panjang dari rumah-rumah di sekitarnya.
Laya turun dari punggung Xëylon dan berdiri di sampingnya. Xëylon mengetuk pintu rumah tersebut empat kali dengan jarak sekitar 1 detik per ketokan, dan menunggu. Agak lama sehingga Laya merasa tidak akan ada orang yang akan mendengar bila ia mengetuk pintu seperti itu, namun, Laya salah. Terdengar suara bergeser dari dalam dan tak lama kemudian pintu rumah itu terbuka,
‘Xëylon! Oh kemana saja tuan. Lama tidak berjumpa.’ seorang perempuan dengan rambut ikal merahnya yang panjang menyambutnya di depan pintu,
‘Maura, apa kabarmu?’ perempuan yang dipanggil maura itu walaupun terlihat sudah berumur, namun wjahnya masih menampakkan garis-garis kecantikan yang belum pudar.
Maura hanya tersenyum,
‘Mari masuk, masuklah bersama kami. Ayo sayang kau juga.’ sebenarnya Xëylon ingin membiarkan Laya menunggu di luar, namun, kemudian ia berpikir lagi kalau kawasan itu bukanlah daerah yang aman untuk gadis asing seperti Laya, dan Maura juga meminta Laya untuk masuk juga.
‘Tidak baik bagi gadis kecil seperti dirimu berada di luar sini.’ kata Maura. Sehingga kemudian mereka berdua memasuki rumah itu. Xëylon meminta Laya untuk duduk di sebuah bangku di pojok sementara ia berbicara dengan perempuan itu. Maura melihat pada Laya,
‘Sayang, lihatlah tubuh kurusmu?’
Laya terkejut, siapakah yang dipanggil Maura dengan kurus. Dirinya?
‘Oh Xëylon, kau tidak memberi anak ini makan yang benar ya? Dasar kau. Tunggu sebentar sayang.’ lalu ia berlalu ke belakang, sementara Xëylon hanya memandang dengan bingung.
Sebentar kemudian Maura telah kembali ke hadapan lay dengan membawa semangkuk makanan seperti bubur dan sekerat roti. Ia juag membawakan segelas besar air berwarna biru ke hadapannya.
‘Makanlah sayang, kau akan membutuhkan nya. Ini tidak begitu enak tapi juga tidak akan membuatmu lupa padaku.’ lalu Maura tertawa, suatu pujian halus untuk dirinya sendiri.
‘Tapi aku…’
‘Ah ah…’ Maura lalu mengeleng-gelengkan telunjuknya. Dari jauh Xëylon mengangguk pada Laya.
Laya lalu mencoba memakan apa yang disajikan baginya.
Hmmm… ini enak sekali. Maura sungguh merendah ketika mengatakan bahwa ini tidak enak. Laya tidak tahu apa nama makanan itu namun ia merasa sayang untuk menghabiskannya cepat-cepat. Dan roti itu juga terasa nikmat.
‘Lihat kan. Kau tahu, dulu Xëylon kecil dapat menghabiskan bermangkuk-mangkuk makanan itu. Tapi sayang, sepertinya ia sudah melupakan makananku sekarang.’ katanya sambil melirik pada Xëylon.
‘Bukan begitu Maura.’ bantah Xëylon.
‘Baiklah sayang, maaf, tapi aku dan tuan Xëylon permisi ke belakang dulu. Kau nikmati sajalah waktumu dengan makanan itu. Jangan terburu-buru.’ kata Maura pada Laya dengan sedikit berbisik. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya.
Laya tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan di belakang sehingga Laya terus saja menikmati makanannya dan berpura-pura saja untuk memperhatikan sekeliling tempat itu dari tempat ia duduk. Namun sesekali tubuh maura dapat terlihat sekilas dari balik dinding. Adakalanya Maura terlihat seperti gusar atau membantah Xëylon hingga menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Xëylon lalu memegangi pundak Maura dan mengelusnya.
Makanan di hadapannya telah habis dan minuman biru itu juga sangat segar di kerongkongannya. Laya kembali melirik ke Maura. Ia tidak dapat melihat Xëylon, namun ia dapat melihat tangan Xëylon menyerahkan sebuah kantung kain kecil dan mengeluarkan isinya. Laya hanya dapat melihat beberapa koin yang sepertinya emas berpindah dari tangan Xëylon ke tangan Maura. Maura bersikap seperti menolaknya namun Xëylon memaksa dan menggenggamkan koin-koin tersebut ke dalam tangan Maura. Lalu kemudian Maura meletakkan satu tangannya di dada Xëylon sementara tangan yang lain masih menutup mulutnya. Ia terlihat sedih.
Lalu Maura dan Xëylon kembali ke ruangan depan di mana dirinya berada. dan,
‘Sayang, bagaimana makananmu?’
‘Enak sekali bu, terima kasih.’ Maura tersenyum.
‘Baiklah Laya, kita harus cepat ke tempat Orakel.’
‘Kalian yakin tidak berniat untuk tinggal semalam saja di sini dulu?’
‘Maura.’
‘Hey, aku hanya bertanya. Ya ya ya baiklah. Kalian pergilah dan berhati-hatilah.’ lalu Maura menghampiri Laya,
‘Anak yang manis sekali, senang sekali bertemu dengan dirimu. Jaga dirimu baik-baik Xëylon. Dan kau juga harus menjaganya ya.’ pintanya pada Xëylon.
Xëylon hanya mengangguk pelan lalu keluar dari rumah tersebut. Laya mengikuti dari belakang.
‘Ayo naik Laya.’ Laya menuruti Xëylon dengan naik ke atas punggung kudanya. Xëylon kemudian berbalik lagi menghadap Maura.
‘Kau juga jaga diri Maura. Keadaan sering kali tidak aman sekarang.’
‘Ah, apalah yang bisa diambil dari perempuan tua ini. Tak ada. Dan kalaupun aku harus mati, aku sudah siap.’
‘Hey!’ Maura tersenyum,
‘Sudah, kalian pergilah, aku tidak akan apa-apa. Berhati-hatilah ke sana, mungkin sang Orakel telah menanti kedatangan kalian.’
‘Baiklah,’ Xëylon mengangguk, lalu mulai berjalan menjauhi bangunan itu. Laya masih sempat melirik ke belakang, Maura masih ada di depan pintu dan melambai padanya, Laya membalasnya dengan senyuman hingga kemudian maura kembali masuk ke dalam rumah.
‘Jadi, bagaimana makanannya tadi?’ tanya Xëylon pada Laya.
‘Itu enak sekali.’ Laya senang mengatakannya pada Xëylon.
‘Dan aku senang kau menyukainya. Dan dia tidak bohong, aku dapat menghabiskan bermangkuk-mangkuk pakia itu.’
‘Ya, aku sangat yakin itu.’ sambung Laya.
Xëylon lalu mempercepat langkahnya. Mereka melintasi keramaian dan menuju suatu jalan arah keluar dari kota. Dari jauh Laya dapat melihat sebuah bangunan seperti menara yang besar yang seakan terpahat menyatu dengan bukit granit besar di belakangnya., Istana kerajaan Aragulli. Istana yang bangunannya juga sama seperti yang lainnya, didominasi dengan warna putih granit dan bermacam kristal besar yang menempel di dindingnya. Istana itu terlihat sangat tinggi dan kokoh. Terdapat jalan menanjak yang melintasi bukit di sisi-sisinya.
‘Itulah istana Aragulli.’ kata Xëylon.
‘Wah, besar sekali…’ kata Laya seperti berbisik.
‘Ya memang besar.’
‘Di sanakah Orakel temanmu itu tinggal tuan Xëylon?’
‘Tidak, kita tidak akan ke sana. Istana itu adalah istana raja Araguli. Orakel tidak tinggal di situ, ia memiliki istananya sendiri, kuilnya sendiri. Kita akan berbelok mengambil jalan yang lain untuk ke istananya, nah nanti di sana kau akan ….’ Xëylon masih membicarakan sesuatu sambil berjalan, namun Laya tidak menangkapnya lagi. Matanya terus melihat ke arah istana Aragulli yang megah.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar