Rabu, 14 Juli 2010

BURUNG API

Pertemuan Chimera kali ini bertempat di lantai tiga Jade Club yang terletak di tengah kota. Chimera adalah sebuah club yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap dunia hewan. Tetapi hanya untuk diburu. Dan hari itu, seperti biasa semua anggota Chimera Club datang menghadiri pertemuan itu. Selain nama yang diambil dari hewan mitologi Yunani, Chimera juga disesuaikan dengan nama masing-masing anggotanya.

Ada Tuan Callimus Stanz, millioner export-import berbadan kurus dan tinggi hingga mencapai dua meter. Callimus Stanz adalah sebuah pribadi yang selain tertarik dengan dunia aves juga mengagumi Hitler dan faham komunisnya. Di Villanya di Brazil ia mempunyai sebuah sangkar raksasa yang dihuni ratusan burung macaw dan jenis kakatua lainnya. Callimus selalu memakai kemeja putih bersih yang kancing atasnya selalu terbuka dan ditutupi dengan jas hitam. Sebuah tongkat kayu mahoni dengan ujung kepala gagak dari perak yang selalu ada dalam genggamannya.

Lalu ada Hanto Darmawan, pengacara yang berbadan besar, tapi ke samping, karena nafsu makan yang berlebihan dan pendek, dan seringkali beretika rendah bila berhadapan dengan makanan. Ada sebuah noda coklat berbentuk tak beraturan di pelipis kanannya yang diakuinya sebagai tanda lahirnya.

Satu-satunya wanita di Chimera adalah Ny. Inggrid Chan, yang selalu menyembunyikan pandangannya dibalik kaca mata minusnya. Ia adalah pemilik bangunan Jade Club yang mereka tempati sekarang dan beberapa restoran dan club untuk kaum kaya lainnya. Nyonya Chan adalah seorang janda yang memiliki anak lelaki satu-satunya yang kini tinggal di Inggris mengurus sebagian bisnis mereka. Inggrid Chan masih memiliki tubuh yang langsing dan kulit yang bersih terawat di usianya yang kini memasuki kepala empat. Dari bibirnya yang berkarakter judes, Ia berterus terang kalau itu adalah hasil dari rajin menyantap otak monyet dan sup kalajengking secara rutin.

‘Selain tuntutan batin tentunya.’ Dan ia menyunggingkan senyumnya. Bukan rahasia di antara anggota Jade dan bawahannya, Inggrid sering menggaet lelaki muda sebagai budak nafsunya. Beberapa diantara mereka adalah sopir dan mantan pengawalnya.

Marco Da Villa, seorang petualang dan pedagang pasar gelap. Ia akan menjual apa saja yang dinilainya memiliki nilai dagang, tak terkecuali para imigran gelap, yang kebanyakan dibawanya dari Korea atau China. Dalam hal ini ia kerap berhubungan dengan Inggrid. Tetapi juga tak lebih beda dari Albert. Ia biasa berkencan dengan pelacur-pelacur kelas atas secara sadomasokis.

Enda Ganarsa adalah seorang aktor panggung dan juga seorang sosialita terhormat. Tapi tak banyak yang tahu kalau ia juga anggota bergabung dengan kelompok separatis yang berniat menggulingkan pemerintahan.

Dan Ruttler Art yang berprofesi sebagai kurator museum, ia juga kerap kali memberitahukan di mana letak benda antik buruan dan juga hewan buruan langka yang baru ditemukan kepada anggota lainnya

Albert Van Bröen, adalah seorang psikiatris yang selalu berpikir kritis dan logis. Ironisnya ia tidak hanya selalu melahap tiga surat kabar sebagai bacaannya pagi hari tapi juga anak-anak perempuan kecil untuk pelampiasan nafsu pedofilnya.

Sebagai pemburu ulung, ketujuh anggota Chimera mengklaim bahwa mereka telah memburu dan membunuh banyak hewan. Moose, paus Orca, komodo, gajah Afrika, apa saja yang terlintas di benakmu. Kalaupun tidak mereka akan berkata bahwa mereka pernah melihat dan memiliki bukti atas hewan-hewan langka di dunia, bahkan hanya selembar foto sekalipun untuk menunjukkan bahwa mereka paling tidak pernah berada dekat atau hampir memburu hewan tersebut. Tapi jika kita berpikir mereka akan ada untuk melestarikan keberadaan hewan-hewan tersebut, kita salah. Mereka akan melakukan apa saja demi mendapatkan hewan-hewan tersebut dan menempatkannya dalam sangkar atau bahkan menjualnya dengan harga yang tinggi pada kebun-kebun binatang di seluruh dunia atas nama popularitas dan prestise.

‘Bagaimana kabar keartisanmu Enda?’ Albert membuka percakapan dengan Enda.

‘Waktu-waktu sekarang bisnis menjadi sepi. Kalau tidak pintar-pintar kita akan terseret krisis. Benarkan Callimus.’ Callimus hanya mengiyakan dengan berdehem sambil terus menatap keluar dari balik tirai tebal jendela tinggi di ruangan tersebut.

‘Berapa usia telur-telur ini sebenarnya Inggrid? Tanya Albert pada Ny. Inggrid tentang pajangan telur burung unta yang dikelilingi dua puluh butir telur kecil lain di bawahnya yang terletak dalam sebuah kotak kaca di tengah ruangan besar tersebut. Inggrid yang sedang menyeruput teh hijaunya seperti belum siap dengan pertanyaan tersebut.

Sebelum Inggrid menjawab, Ruttler Art telah mendahului,

‘Telur Burung unta itu sendiri telah berumur 120 tahun, sementara ke dua puluh telur Vervain hummingbird (Mellisuga minima) itu telah berumur 70 tahun.’

‘Hmmm.

‘Mengapa?’

‘Burung langka apa yang pernah kita buru?’

‘Well, kita pernah berburu Elang Jawa (Spizaetus bartelzi), Burung Penggerutu Merah (Lagopus l. scoticus), Eider (Somateria mollissima). Dan secara pribadi aku pernah berburu Elang laut ekor putih (Haliaeetus albicilla).’ Kali ini Hanto yang memotong untuk menjawab. Kalimat terakhir sengaja dilepaskan dengan maksud menyombong.

‘Bagaimana kalau kita berburu burung lagi…?’ Ide itu seperti sudah sangat ingin dilepas Albert sedari tadi. Ia yakin kalau yang lain akan bersemangat mendengar kata ‘berburu’.

‘Kalian tahu, seminggu yang lalu aku orang-orangku melaporkan bahwa mereka melihat Oa dari Kauai (Moho Braccatus) di hutan rawa-rawa Alahari di Hawaii. Bagaimana menurut kalian?’

‘Kau yakin, bukankah terakhir penampakannya kalau tidak salah pada tahun 1981?’ Inggrid menanyakan keraguannya pada Marco.

‘Ya, benar?’ Marco membenarkan.

‘Maka itu patut di coba.’ Kata Albert.

‘Bagaimana dengan bagaimana dengan Guam Rail (Rallus owstons)? Terakhir dilaporkan terlihat pada tahun 1985 sebanyak tiga kali. Atau Crested Shellduck (Tadorna cristata), burung itu dilaporkan terlihat terakhir kali pada tahun 1971, tapi diyakini masih hidup bertahan di daerah pantai Jepang atau dekat perairan.’ Enda mencoba idenya pada semua anggota.

‘Mungkin ia telah benar-benar punah sekarang?’ Inggrid meragukan ide tersebut.

‘Mungkin, tapi patut kita coba kan? Seperti sebelumnya.

‘Bagaimana dengan Phœnix?’ Callimus yang sedari tadi diam saja kini membuat yang lain terkejut.

‘Bagaimana dengan... apa?’

‘Hah! Hahaha… bagus sekali Callimus tua, kau membuatku tertawa.’

‘But I’m not trying to make any joke Inggrid.’

‘Callimus, hallo… Burung itu tidak ada. Kau sadar tidak?’

‘Ya. Mitos hanyalah mitos.’ Albert berkata sambil mengangkat kopinya untuk dituang oleh seorang pelayan. Matanya tak lepas memandang, tetapi bukan kopi yang menjadi perhatiannya melainkan si gadis pelayan kecil berwajah oriental itu yang masih berusia sebelas atau dua belas tahun. Darahnya serasa bergolak melihat dada yang baru tumbuh dan pinggang kecil itu. Si pelayan mengetahui sikap Tn. Albert tetapi tidak berani melihat padanya. Dengan gugup ia segera meninggalkan ruangan tersebut. Begitu si pelayan itu pergi, seketika Albert melirik pada Ny. Inggrid seakan meminta sesuatu. Tanpa berbicara pandangan mereka telah menjelaskan banyak hal, Inggrid hanya menarik sedikit ujung bibirnya dan melanjutkan menyeruput tehnya.

‘Burung itu telah membuat dirinya menjadi mitos di banyak belahan dunia dengan banyak nama. Tapi ia tetaplah makhluk yang sama.’ Callimus berjalan perlahan ke ujung ruangan lainnya. Tangannya mengayunkan tongkat mahoni itu mengikuti langkah kaki.

‘That thing is impossible Callimus darling, seperti mengejar angin.’ Inggrid mengutarakan pendapatnya dengan sangat anggun dan mengejek.

‘Apa yang tidak mungkin bagi kita selama ini, hah! Kita telah berburu banyakj binatang hebat dan langka. Binatang yang bahkan hampir tidak diketahui oleh dunia lagi. Tapi apa? Kita tetap bisa memburunya.’

‘Ya, tapi ini….’

‘Ini apa tuan Da Villa? Tidakkah adrenalin kalian rindu untuk terpacu pada perburuan lagi?’

‘He is not exists. Dia tidak ada. Mitos!’

Brak!!

Tangannya menggebrak meja di hadapan semua. Di bawahnya terdapat sebuah buku kecil, sebuah agenda tua.

‘Ini adalah jurnal kakek buyutku. Wiliam Stanz. Ia menulis tentang perjalanan dan petualangan selama hidupnya. Tapi tidak hanya itu...,’

Enda mengambil jurnal kecil itu dan membolak-balik halamannya.

‘Kakekku tidak hanya menulis tentang perjalannannya tapi juga pertemuannya dengan…,’

‘…burung api. Phœnix.’ Enda Ganarsa menyambung Callimus sambil meletakkan jurnal tersebut dalam keadaan terbuka. Di satu halamannya terdapat penuh tulisan tangan dan sebuah sketsa gambar burung yang sedang mengepakkan sayapnya pada sisi lainnya.

‘Tepat sekali.’

Sementara yang lain mencoba melihat pada jurnal tersebut.

‘Tapi ini adalah tahun 1856. Itu lebih dari seabad lalu.’

‘Lalu…’

‘Lalu? Apa yang kau coba pikirkan Tuan Callimus Stanz. Kalaupun ada burung itu sudah punah. Dia pasti sedang terbakar di dalam neraka sekarang.’

‘Itu dia! Tepat sekali Ruttler.’

Semua masih tidak mengerti dan memandang heran pada Callimus.

‘Phœnix adalah hewan yang indah yang terbuat dari api. Dia tidak akan mati, bahkan oleh api. Katakana padaku Ruttler, apa yang kau ketahui tentang mitos Phœnix?’

‘… yah, Phœnix dipuja di banyak kebudayaan. Pertama kali muncul dalam kebudayaan Mesir, lalu Funisia, lalu menyebar ke Yunani, China, kemana-mana. Di China, namanya Fenghuang, ia dianggap sebagai lambang permaisuri dan perempuan. Seperti halnya naga yang diangap sebagai raja. Dalam budaya Yunani, ia adalah peliharaan Helios, sang Dewa Matahari, yang kerap mandi dalam sebuah sumur dan bernyanyi di sana. Dikatakan juga bahwa air matanya adalah penyembuh segala luka dan penyakit. Bahkan saat kita sedang meregang nyawa.’

‘dan…’ Callimus berharap Ruttler melanjutkan bagian yang tertinggal

‘Dan Phœnix adalah burung yang dapat meremaja. Dalam siklus hidupnya, bila ia sudah mencapai waktunya, ia akan meregang nyawa dan mati dalam sarang dan nyala apinya sendiri. Lalu tak berapa lama ia akan terlahir kembali dari abu bakarannya sendiri sebagai seekor burung Phœnix muda. Begitu seterusnya.’

‘Begitu seterusnya… Phœnix adalah makhluk yang mengagumkan dan kakek buyutku menulis bahwa ia menangkap burung itu sewaktu dalam perjalanannya.’

‘Dan dimanakah burung itu kemudian. Mengapa tidak ada dalam keluargamu kini?’

‘Kalau kalian membaca jurnal tersebut sampai habis. Kalian akan tahu bahwa ia kemudian menikahi seorang perempuan Suku Bali dalam perjalanannya. Dan perempuan sialan itu kemudian melepaskannya kembali ke alam bebas karena apa? Karena ia menganggap burung itu adalah garuda, kendaraan Vishnu sang dewa yang tak patut ada di tangan manusia. Hanya perempuan bodoh yang melakukan itu!’

‘Dan kau mewarisi darah mereka.’

‘Yah, satu hal yang kusesali sampai sekarang. Tapi sadarkah kalian, bahwa burung itu masih ada di luar sana. Menunggu untuk kita temukan. Kita buru. Kita tunjukkan pada dunia bahwa ia adalah sepotong makhluk purba yang mengagumkan yang akan mengubah sejarah dalam dunia aves. Dan mungkin ia adalah satu-satunya Phœnix yang ada dan terus bertahan sejak ia diciptakan dahulu. Karena kau tahu, Ia dapat hidup selama 500 hingga 1000 tahun untuk kemudian menjelma menjadi burung muda.

Tn. Hanto menaikkan pandangan matanya ke atas sebagai tanda ketidakpercayaannya.

‘Baiklah, seandainya burung itu memang ada, kemana kita akan mencarinya?’

‘Kemana saja. Arab, China, kemana saja.’

‘Mengapa tidak di sekitar Indonesia saja? Mengapa harus jauh-jauh mencari? Dia adalah garuda.’

‘Karena aku sudah melakukan itu dan tidak bertemu dengannya! Itu alasannya. Kita harus mencarinya ke negeri asalnya.

‘Entahlah, aku tidak yakin akan hal ini.’

‘Jadi…?’

Yang lain terdiam, … ada pertemuan mata diantara mereka dalam jeda itu, yang seakan meminta persetujuan satu dengan yang lainnya.

‘Baiklah, aku ikut.’

‘Aku juga.’

‘Ya ya ya. Aku ikut.’ Hingga semua mengiyakan untuk ikut dalam pencarian.

‘Maka bersiaplah teman-teman. Bebaskan diri kalian dari pekerjaan dan rutinitas. Kita akan melakukan perjalanan panjang.’

Callimus lalu tersenyum dalam kepuasan.

*

Seminggu setelahnya mereka telah berkumpul kembali dan siap untuk terbang. Tujuan selanjutnya adalah adalah Kota Matahari, Heliopolis, di Kairo, Mesir.

Berbekal dengan peta dan pengetahuan Ruttler Art. Mereka berusaha mencari lokasi di mana burung api itu pernah menjejakkan kakinya puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu.

‘Sejujurnya, Callie, aku tidak pernah mendengar ada tempat bernama Heliopolis di Cairo.’

‘Tempat itu ada Marco. Ia benar adanya.’

‘Benarkah Albert? Ruttler?’

‘Well, sejujurnya, tempat itu hanya mitos. Tempat itu ada, tapi dulu di masa Yunani kuno. Secara pastinya, kita tidak tahu ada di mana?

Ia ada di sana teman teman, ia benar adanya. Callimus menegaskan dalam hatinya.

‘Apa yang kau bawa dalam ransel itu Callie tua?’

‘Rempah.’

‘Apa maksudmu?’

‘Phœnix sangat suka dengan wewangian. Dikatakan kalau ia bersarang di atas pohon kayu manis atau membuat sarangnya dari kayu tersebut.

‘Dan kau membawa rempah-rempah itu semua?’

‘Ya, kayu manis, minyak saffron, ekstrak bunga tanjung dan jasmin, jeruk, minyak zaitun, saffron, pala, dan yang lainnya.’

‘Aku tidak percaya. Kau seperti membawa seluruh dapur dalam ransel itu.’

‘Ha ha ha. Kita tidak tahu bagaimana burung ini kan…’ Callimus menyanggah Hanto dengan candaan. Lalu ia menambahkan, ‘Tapi tidak hanya itu. Aku juga telah membuat suatu sangkar khusus yang dapat menenangkan dirinya.’ Callimus lalu mengajak mereka semua untuk melihat sesuatu di belakang pesawat.’

‘Ini adalah sebuah sangkar khusus yang kusiapkan untuk tempatnya nanti. Terbuat dari titanium, ringan, namun sangat kuat. Sangkar ini dilengkapi dengan pendingin udara yang dapat meredakan panas yang dibawa oleh burung itu nanti. Tidak hanya itu. Pendingin tersebut juga didisain tidak hanya mengeluarkan hawa dingin tetapi juga aroma rempah seperti kayu manis, jeruk, ekstrak jasmin.

‘Wao, sepertinya kau sudah mempersiapkan segala sesuatunya jauh sebelum pertemuan kita kemarin?’

‘Burung itu istimewa Tuan Enda. Makhluk yang istimewa harus mendapat perlakuan istimewa juga.’

Tak lama terdengar suara pilot yang mengingatkan para penumpang untuk kembali ke tempat duduk masing-masing karena pesawat akan take-off beberpa saat lagi. Para pramugari yang ada segera membantu para penumpang itu di kursi mereka. Lalu terlihat para anggota Jade Club seperti melakukan ritual yang sama. Masing-masing dari mereka segera merogoh kantung dan tas kecil mereka mencoba menemukan butir-butir penenang dari dalam sana dan berharap menemukan kedamaian surga kecil di sana sebelum tinggal landas.

‘Kau mengganti obatmu?’

‘Ya, yang lama tidak berfungsi lagi.’ Hanto menjawab Enda sambil tetap berkonsentrasi poada apa yang akan diminumnya. ‘Aku mendapatkan ini atas saran Albert. Kau sendiri bagaimana?’

‘Masih yang lama. Apakah itu bagus? Kalau iya, aku mau mencobanya nanti.’

‘Ya, menurutku.’

Lalu tak lama mereka semua telah berada dalam alam bawah sadar masing-masing.

*

Di Mesir, telah menunggu pemandu dan beberapa anggota Callimus yang akan membantu mereka selama dalam perjalanan. Semua kelengkapan telah diturunkan dan disiapkan. Tenda, senjata yang dibutuhkan dan perlengkapan lainnya.

Dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan melintasi Kairo dengan jeep. Melewati padat pemukiman dan pasar. Melewati jejeran rumah dan gedung tua. Bersentuhan dengan debu, hawa dan angin panas gurun. Hingga akhirnya sampai pada sebuah apsar dimana terdapat banyak jejeran Kahwa di depan gedung-gedung itu. Banyak turis dan wisatawan asing yang berjejalan tapi tentu saja bukan mereka. Perjalanan Jade Club bukan untuk melihat-lihat Kairo. Rombongan jeep kemudian berhenti di sebuah hotel kecil sederhana yang bernama Naura. Sesosok pria gemuk berumur 40-an mengenakan gamish berdiri di depan tangga hotel. Garis-garis tegas dan tampan masih tersirat di roman dan bulu-bulu wajah yang tumbuh di sana.

Sesuatu di pikiran Inggrid berkata bahwa pastilah pria ini dan pria Arab kebanyakan lainnya tidak mengenakan apapun di balik gamish panjang mereka. Lalu ia tersenyum sendiri bermain dengan pikirannya.

‘Selamat datang Tn. Callimus, selamat datang di penginapan saya yang sederhana ini.’

Lelaki itu menyambut Callimus begitu Callimus turun dari jeep. Lalu ia memperkenalkan dirinya pada yang lain sebagai Barkah As Salaam bin Salaam.

‘Nyonya, senang bisa menerima anda di tempat saya.’ Barkah As Salaam hanya mengatupkan kedua tangannya di dada begitu ia memperkenalkan dirinya pada Inggrid.Tetapi matanya menyiratkan bara nafsu untuk bercinta dengan Ny. Chan

Inggrid hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Mereka kemudian diantar ke kamar masing-masing oleh Barkah sendiri. Penginapan ini kecil tetapi cukup bersih dan eksklusif, pastilah ini bukan penginapan sembarangan yang dipilih Callimus untuk mereka semua. Itulah yang terlintas di benak Marco.

Menu makan malam malam itu cukup menghibur. Kambing bakar ala Maroko dan salad zaitun. Barkah benar pandai untuk menghibur dan membuat para tamunya nyaman di penginapannya. Apalagi para tamu sekelas para anggota Jade Club.

‘Barkah, apakah kau juga tinggal di penginapan ini?’

‘Ah tidak Tn. Hanto, aku tidak mencampurkan bisnis dan pribadi. Penginapan ini tetaplah sebuah penginapan. Rumahku sendiri berada di belakang penginapan tetapi, dipisahkan oleh kebun zaitun.’

‘Dan dia telah beristri dua.’ Calllie tua mengatakan itu sambil mengangkat gelas anggurnya.

‘Wah, wah, kuharap kami tidak menahanmu saat ini.’

‘Ah, tidak, istri-istriku sangat patuh dan pengertian padaku. Terima kasih atas perhatiannya.’

‘Kalau begitu, bagaimana jikalau kita menghabiskan malam ini sampai sangat larut. Apakah istri-isrimu juga keberatan?’

Sejenak Barkah As Salaam berpikir, tetapi matanya kemudian beradu pandang dengan Ny. Inggrid Chan. Dalam pandangan yang hanya sedetik itu, Ia tahu bahwa Inggrid juga menginginkan hal yang sama sepeti yang ia pikirkan. Lalu, ‘Saya rasa mereka tidak keberatan kalau hanya untuk malam ini saja.’ Dan ia tersenyum penuh arti.

Malam yang semakin larut akhirnya membawa masing-masing dari mereka ke kamarnya. Hanya satu dua petugas hotel yang masih berjalan di lorong sesekali.

Tok, tok! Ketukan di pintu kamar membuat Ny. Inggrid Chan beranjak dari tempat tidurnya. Ia merasa sudah mengantuk tapi memang ada yang ditunggunya malam ini.

‘Apakah aku mengganggumu Ny. Chan?’ Barkah As Salaam telah menunggu di depan pintu.

‘Tergantung keperluannya Tuan Barkah.’ Dalam senyumnya ia menyiratkan sesuatu yang mereka berdua sudah tahu apa artinya Lalu ia mempersilakan lelaki itu memasuki kamarnya. Dan malam meninggalkan mereka semua dalam pelukannya di bawah purnama gurun yang diselimuti awan.

*

Keesokan harinya, Barkah As Salaam, telah membawa seorang tua yang dianggap mengetahui keberadaan burung api. Farouk Muba’in, yang ternyata adalah cucu dari Muchsin, pemandu William Stanz. Ia menyerahkan sebuah jurnal tua miliki William Stanz yang tertinggal oleh Muchsin kakeknya. Di dalamnya dipercaya ada beberapa petunjuk mengenai keberadaan burung itu. Hal ini semakin membuat Callie tua semakin bersemangat untuk berburu.

‘Sepertinya Heliopolis bukan lagi tempat yang tenang bagi burung api.’

‘Apa maksudnya?’

‘Burung itu telah meninggalkan Heliopolis sejak lama. Kalaupun ia masih ada, ia hanya berputar jauh tinggi di langit dan tidak akan menyinggahi Heliopolis lagi.’ Farouk bercerita dengan suara yang pelan dalam dan nafas tuanya. ‘Aku terakhir melihatnya ketika aku berumur delapan tahun. Waktu itu,’ ia terbatuk beberapa saat dan mengambil nafas panjang. Pembicaraan yang singkat sudah membuatnya terengah.

‘Waktu itu, ia berputar di atas kebun kurma kami dan bertengger di salah satu pohonnya untuk memakan buahnya. Tak ada orang lain di sana selain diriku. Lalu ia berhenti makan dan menatap padaku. Aku berpikir kalau ia adalah salah satu makhluk tuhan yang paling indah yang pernah diciptakan ke dunia. Seakan-akan ia mengerti kekagumanku padanya.’ Ia mengatur nafasnya lagi sebelum menyambung ceritanya. ‘lalu, ia terbang denga cepat di antara pohon-pohon kurma mengelilingiku. Hanya berputar-putar beberapa saat lalu terbang melesat seperti bola api yang ditembakkan ke langit. Ia meninggalkanku di sana. Di tengah-tengah lingkaran di antara pohon-pohon kurma yang telah hangus. Tapi tak ada api dan panas yang kurasa. Hanya lingkaran batang-batang kurma hangus yang telah mengabu dan berasap. Tak berapa lama, orang-orang sewaan ayahku menemukanku di tengah kebun karena mereka melihat sebuah bola api yang memancar dan terbang ke langit dari kejauhan. Setelah itu aku tahu dari ayahku bahwa burung api telah mengunjungiku dan aku bersyukur telah melihatnya. Dan aku masih mengaguminya.’ Semuanya hanya terdiam mendengar cerita Farouk Muba’in.

‘Dan kau yakin itu yang terakir kalinya kau melihatnya?’

‘Ya, itu yang terakhir kalinya aku melihatnya. Maksudku. Terkadang aku memang melihat cahaya seperti bintang berekor yang melintas dan berputar di atas langit malam. Tapi kemudian menghilang. Burung api hanya melintasi kairo saja kini. Ia tidak akan pernah singgah lagi di sini.’

‘Mengapa?’

Farouk menggelengkan kepalanya pelan.

Dan begitulah. Hari itu mereka mulai menyusuri tiap petak Cairo. Setiap sumur tua yang dianggap memungkinkan pernah dikunjungi, bahkan situs-situs tua. Tapi belum ada petunjuk. Dalam perjalanannya sendiri, mereka telah pergi menyeberang antar benua, kota dan desa. Berkelana dengan pesawat pribadi, disambung dengan mobil jeep, menaiki unta, bahkan berjalan kaki saat mereka melintasi tebing di mana tidak memungkinkan untuk menaiki unta menuju ke tempat yang dituju. Dilanjutkan lagi dengan menaiki unta hingga beristirahat di tengah gurun dan tebing karang purba di malam hari.

Hingga mereka memutuskan untuk berkelana lebih jauh untuk menemukan jejak burung api menuju ke gurun pasir hingga melintasi bukit-bukit Amonites.

‘Kemana kita ini sebenarnya Callimus?’

Callimus juga tidak mengetahui akan kemana mereka kini. Ia melemparkan pertanyaan teman-temannya kepada para orang-orangnya.

Dan jawaban yang diterima adalah mereka kini tersesat.

Pemandu mesir yang di sewa juga seperti bingung. Tapi ia dengan begitu angkuhnya tak mau mengakui ketersesatan mereka.

‘Arab Bodoh. Aku membayar mahal dirimu untuk menunjukkan tempat dengan benar. Bukan ke tempat antah berantah ini!’

‘Tn. Callimus. Percayalah kita tidak tersesat. Kita hanya berada jauh dari mana-mana. Aku masih mengetahui kita ada di mana?

‘Lalu kita ada di mana hah!’ Hanto juga mulai tidak sabar dengan semua ini. Panas gurun memaksa keringat mereka keluar lebih banyak dari yang biasanya. Ny. Inggrid Chan merisaukan kulit indahnya akan terkelupas dan berkerut dengan cepat. Losion anti sinar matahari yang dipakainya seperti tidak mempan untuk menahan laju panas matahari yang menyengat.

‘Kita memang tersesat. Lebih baik kita mencari tempat berteduh menunggu malam tiba. Tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Unta-unta sendiri sudah kelalahan.’

‘Aku tak percaya hal ini terjadi.’ Ruttler Art merogoh kompas dari sakunya.

‘Sia-sia saja Tn. Ruttler. Pernahkah tuan mendengar istilah kompas menari. Inilah yang terjadi saat ini.’ Dan orang itu benar. Kompas yang ada padanya tidak berfungsi. Ia berputar searah jarum jam dan lalu ke arah sebaliknya dengan cepat. Tak ada sesuatu yang dapat dibaca di sana.’

‘Apa yang…’

‘Anda lihat di sana.’ Orang itu menunjuk pada barisan bukit batu besar. ‘Bukit-bukit itu adalah bukit batu yang mengandung magnit. Merekalah yang merusakkan jarum kompas, jam dan bisa jadi peralatan elektronik lainnya. Jadi saran saya kita semua menunggu hingga subuh tiba dan berharap kita bisa mengikuti arah dari bintang. Semoga saja.’

‘Dan apa maksudmu dengan semoga saja?’

‘Karena terkadang semua bisa menyesatkan.’

‘Mengapa kita harus menunggu subuh. Mengapa kalau kita berangkat malam hari? Kita bisa melanjutkan perjalanan dengan elihat gugusan bintang.’

‘Tuan,’ orang sewaan yang lain ikut berbicara. ‘Bepergian pada malam hari sangat beresiko. Badai gurun dapat menyerang kapan saja yang membuat kita kehilangan jejak dan pandangan. Kita dapat berpencar satu sama yang lainnya. Dan aku ragu kita dapat mengatasi dinginnya gurun di malam hari. Nasib baik bersama kita bila kita mendapati cuaca yang baik tanpa badai nanti malam. Karena itu ada baiknya kita bepergian ketika hari sudah subuh atau mendekati pagi.’

‘Sudah semuanya. Jangan mengeluh. Kita tetap akan berangkat menuju kea rah bukit itu. Mungkin kita akan menemukan arah yang lebih baik bila kita berada di sana. dan kau. Pemandu bodoh. Aku menyesal mengetahui bahwa teman-temanmu yang lain dapat lebih pintar dan lebih bijak dari padamu untuk mengakui bahwa kita semua tersesat karena arahmu.’ Callimus melihat marah pada pemandunya. Pemandu itu malu sekali.

‘Turunkan bawaannya, kita dirikan tenda di sini!’

‘Sialan.’ Marco menggerutu karenanya.

Dan merekapun bermalam di tempat itu.

*

Keberuntungan nampaknya berpihak pada Jade club dan rombongan. Malam ini gurun terlihat cerah. Tidak ada badai pasir yang menakutkan dan langit terlihat bersih tanpa awan.

‘Entah mengapa aku mau melakukan perjalanan kali ini. Aku merasa ada yang tak beres dengan kita semua.’

‘Tenanglah Albert, pada akhirnya kita semua akan mendapatkan hasil yang sepadan. Apa pendapatmu mengenai gadis-gadis Arab, hah?’

‘Kedewasaan tidak membuatku tergugah. Kau tahu hal itu.’

‘Hahaha…, ayolah. Albert

‘Aku bisa mengutus orang-orangku untuk mencarikannya untukmu bila kau mau. Bila kita telah selesai dengan misi ini.

Keduanya kemudian diam, tiba-tiba Albert berkata,

‘Shurnarkabtishashutu!’

‘Apa itu?’

‘Sebutan orang Arab untuk bintang yang terletak di bawah tanduk bagian utara dari rasi bintang Taurus. Callie, aku tahu kemana kita akan pergi sekarang. Bintang itu telah menunjukkan arah pada kita. Beritahu yang lain bahwa kita akan pergi ke arah mana esok.’

Badai pasir menyerang tenda mereka pada dini hari. Perasaan was-was membuat mereka tak berani keluar dari tenda, berharap pusat badai tidak melewati mereka. Alat komunikasi mereka tidak berfungsi bahkan antar tenda yang jaraknya hanya beberapa meter satu sama lain. Marco dan beberapa orang sewaan malah memasukkan unta-unta ke dalam tenda agar tidak hilang, dan mengingatkan yang lainnya untuk terus waspada dan berusaha menahan tenda agar tidak ikut tersaput badai. Badai pasir dini hari yang mencekam itu akhirnya reda dan kembali tenang setelah satu jam membuat rombongan ketakutan. Semua lalu bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju ke arah pebukitan dengan harapan mereka dapat melihat arah yang jelas setelahnya. Hingga akhirnya mereka menyepakati akan kembali berjalan ke satu arah mengacu dari bukit-bukit magnetik tersebut.

Hari ini. Tak ada satu hal yang menarik yang terjadi. Semua berjalan seperti hari kemarin. Hanya panas gerah matahari gurun dan kabut pasir hingga senja menjelang. Semua bersiap untuk beristirahat.

Tapi malamnya. pada saat semua tenda telah berdiri dan waktu makan menanti,

‘At Thö’irun Na’ari! At Thö’irun Na’ari! Simurgh!’

Salah seorang orang sewaan kemudian mengacungkan jarinya pada sebuah titik di langit di selatan. Semua mata kemudian melihat ke arah yang ditunjukkan. Mereka antusias.

Tampak titik kecil terang itu bergerak dengan cepat dari satu sisi ke sisi lainnya di antara bukit-bukit karang magnetis di tengah gurun. Saat ia bergerak, garis-garis cahaya memanjang di belakangnya memendar dan memudar perlahan seperti ekor komet yang melintas di langit. Dan itu bukan komet yang melintas. Hal itu telah cukup untuk membuat mereka yakin kalau cahaya berekor itu adalah Simurh, Bennu, atau Phœnix yang sedang mereka cari.

‘Burung Api! Phœnix! Itulah yang kita cari selama ini kawan-kawan.’

Mereka begitu terpana pada pandangan yang mereka lihat walaupun hanya di kejauhan. Tapi tak lama karena Albert langsung mengambil senapannya. Dan diikuti dengan yang lainnya. Senapan dengan penglihatan malam itu begitu cepat terpasang dan terbidik pada sasaran dengan konsentrasi penuh. Tetapi sayang, cahaya itu kemudian seperti hilang begitu saja seolah sadar bahwa dirinya sendiri telah membuat tanda bahaya. Bahkan modus-penglihatan-malam pada senapan itupun tak mampu membuatnya terlihat.

‘Sial!’

‘Kita akan mendapatkannya. Kita akan mendapatkannya.’ Callie berkata dengan pelan, perkataan itu lebih kepada dirinya sendiri.

Dalam sinar pagi pertama kali mereka semua telah bersiap. Penglihatan semalam akan burung api telah membuat mereka semua bersemangat menlanjutkan perburuan. Ruttler Art sendiri tidak melepaskan pandangannya dri binocular sejak tadi. Ia menyusuri tiap jengkal pandangannya dengan alat itu. Satu jam perjalan mereka pagi itu tidak menemukan apa-apa selain Naura, burung padang pasir dan kadal-kadal yang bersembunyi di antara batang pohon kering dan rerumputan. Hingga kemudian Ruttler Art menaik turunkan binocular-nya seakan mencari keyakinan pada pandangannya.

‘Apakah itu dia?’semuanya lalu mengkat pandangan mereka ke arah yang sama yang dilihat sang kurator.

Langsung para pemburu memacu untanya menuju burung yang paling diburu itu. Tapi semakin mereka mengejar seakan-akan mereka semakin jauh darinya.

‘Ia mempermainkan kita!’ teriak sang pemandu pada semuanya. Derap kaki unta menimbulkan kabut pasir tebal menutupi pemandangan di belakang mereka. Hingga kemudian mereka mendapati burung itu hilang di antara pepohonan kurma dan karang pada sebuah oase. Dengan sedikit mengendap mereka berusaha menyusuri tiap sudut pulau tengah gurun itu. Sedikit gerakan yang mengejutkan dapat membuat burung itu kembali terbang dan lepas.

‘Ia ada di suatu temnpat di sini, mengawasi kita semua. Mempermainkan kita. Aku bisa merasakan hal itu.’ Ny. Chan berkata kepada Callimus yang ada di sebelahnya.

Tapi tak akan lama Chan. Takkan lama.

Callie tua berkata pada dirinya sendiri.

Hingga kemudian burung itu terbang begitu saja dari atas pucuk kurma tak jauh dari mereka. Burung itu terbang tak berapa tinggi, dan dari gesekan-gesekan bulunya timbul percikan-percikan layaknya kembang api.

Tubuhnya sebesar burung rajawali dewasa. Dengan kepak sayap yang mencapai tiga meter. Bulu-bulunya berwarna sangat cerah dalam gradasi yang sempurna. Kuning keemasan dan jingga di dadanya, paruhnya berwarna sebiru lautan, berwarna jingga dan merah di kepala, punggung dan pangkal sayapnya, hingga perlahan membentuk sedikit warna emas dan merah yang bercampur dengan biru dan ungu terang hingga di ujung sayap. Dan ekornya berwarna merah, kuning dan hijau yang indah sempurna. Ada sebentuk jambul di atas kepalanya yang lebih bagus daripada jambul merak yang menambah keanggunan dan wibawanya.

Ia melintas dan berputar-putar di atas mereka semua seakan-akan hendak memamerkan dirinya. Dan semaunya serasa terbius. Diam. Hingga kemudian Marco berteriak menyadarkan semua. Persiapkan diri kalian, senjata kalian. Inilah yang kita cari.

‘Callimus langsung bersiaga dengan senapan biusnya. Begitupun yang lain. Hanto segera melepas satu tembakan saat ia merasa burung itu telah berada tepat dalam jarak tembaknya. Tapi begitu tembakan dilesatkan. Burung itu terbang meninggi hingga tembakan itu meleset.

‘Sialan!’

Phœnix lalu berbalik seperti hendak menyerang mereka. Ia berteriak nyaring dan menukik kea rah para penembaknya. Bulu-bulu sayapnya sudah terbakar dengan sempurna dan ia siap mnyerang. Para pemburu menahan serangan mereka hingga cukup dekat untuk menembak. Hingga kemudian dalam satu aba-aba panah dan tembakan dilepaskan yang berhasil membuat gugup si burung api. Walaupun akhirnya ia berhasil menghindar - dan sebagian panah bius itu terbakar sebelum mengenainya - , Phœnix terbang kembali setelah menukik tajam kea rah mereka. Sebagian rumput itu terbakar terkena percikan dari bulu-bulu Phœnix. Mereka menyadari bahwa ini bukan hewan yang mudah untuk diburu.

Albert kemudian meminta semua orang untuk lebih menyebar dengan harapan mereka mendapat jangkauan yang lebih luas untuk mendapatkan burung tersebut.

‘Ia pasti kembali mendekat untuk menyerang.’

Phœnix berputar-putar di ats mereka dengan ekor dan sayap yang membara. Ia sepertinya menikmati menyerang dan menakut-nakuti para pemburunya. Hingga akhirnya burung seperti kembali mengambil ancang-ancang untuk menyerang dengan menukik beberapa kali. Albert van broen merasa yakin kalau ini adalah momennya dengan si burung api. Ia memfokuskan pandangan dan tangannya agar tidak bergetar. Dan kemudian

Darr!

Burung itu memekik bersamaan dengan pekikan kemenangan dari Albert. Ia telah dilumpuhkan. Panah bius Albert Van Bröen mengenai tepat di pankal sayapnya. Phœnix terjatuh berdebum ke tanah. Seketika rumput-rumput bahkan pasir yang ada di bawahnya terbakar hangus meninggalkan sisa terbakar dan kering begitu tubuhnya menyentuh tanah. Ada pola lingkaran hitam besar efek dari hangus terbakar yang mengelilingi tempat jatuhnya burung api itu.

Kalian lihat out?! Kalian lihat itu. Burung sombong itu telah dilumpuhkan. Aku lumpuhkan. Ada rasa kesal dalam hati Callimus, mengapa bukan dia yang melakukan tembakan tersebut.

Kini burung itu telah jauh tak berdaya. Para pemburu kini berdiri mematung mengelilinginya.

Matahari terasa tak menyengat lagi di gurun pasir itu.

*

Phœnix kini telah ada di dalam sangkar titanium. Pengaruh bius masih ada padanya. Terlihat dari dirinya yang masih terkulai lemas. Semua pemburu menampakkan wajah berseri pada hasil buruan mereka.

‘Aku tak menyangka kalau kita bisa melihat dan menangkap suatu legenda. legenda hidup.’

‘Hahaha. Sudah kubilang dia ada. Dan dia pasti akan kita tangkap.’ Callimus merasakan suatu ekstasi tak terkatakan di hatinya.

‘Lalu apa yang akan kita lakukan padanya?’ Enda mencoba menerka, matanya masih menatap pada tubuh layu di dalam sangkar tersebut.

‘Entahlah. Aku juga belum memikirkannya. Tapi ia akan mendatangkan banyak keuntungan dan prestasi bagi kita nantinya. ‘

‘Ya, sebentar lagi.’

Benar sebentar lagi. Begitu kita semua pulang.

Pada saat mereka sedang mengagumi burung tersebut dalam tenda. Phœnix tersadar perlahan. Semua pemburu semakin tak sabar dan berdebnar mananti apa yang akan dilakukan si burung ajaib ini. Phœnix berkukur sambil menatap pada makhluk-makhluk yang ada di hadapannya. Ia kelihatan bingung.

Marco memberikan sebutir kurma dari tangannya dan burung itu mengambil dengan paruhnya.

‘Ia jinak. Ia bukan ancaman lagi bagi kita.’

‘Ya, ayam ini kurasa akan sangat enak bila bisa dimakan…’

Hanto lalu menyadari perkatannnya setelah anggota jad8e yang lain melihat dengan serius padanya.

‘Hey, aku cuma bercanda.’

Tetapi Phœnix kemudian terlihat gelisah. Ia berteriak mengeluarkan suara-suara erangan layaknya permintaan untuk dibebaskan. Tapi itu tak danggap oleh para anggota Jade Club. Callimus dan Hanto tertawa menyaksikan hal tersebut. Tapi erangan-erangan itu makin kuat. Sangkar besar berpendingin besar tempat mengurung burung itu kini bergerak-gerak karena desakan. Phœnix sudah terlihat tak sabar dan marah. Ia mencoba untuk mengepak-kepakkan sayapnya tetapi tidak sempurna karena sangkar besar itu masih terbatas untuknya. Inggrid mulai menyadari ada yang tidak beres.

‘Mungkin kita lepaskan saja dia. Ini bukan buruan biasa. Lepaskan dia. Aku tidak suka.’

‘Dia memang bukan buruan bisa. Semuanya terkontrol. Dia tidak apa-apa.’ Callimus lalu menyalakan pendingin, bermaksud meredakan amarah Phœnix. Dan itu berhasil. Phœnix merasakan ketenangan dan merasa akrab dengan bau-bauan yang dikenalnya.

‘Lihat kan…’ senyum puas pada bibirnya.

Tapi tak lama. Begitu aroma rempah itu memudar, Phœnix mulai gelisah lagi. Callimus skali ini menaikkan tingkat dingin sangkar lebih tinggi. Tapi turunnya udara secara tiba-tiba malah membuat Phœnix terkejut. Ia menggoncang sangkar titanium ia lebih keras kini. Dan terus mengepak-kepakkan sayapnya. Erangannya keras.

Di luar. Para pemandu dan anak buah mereka telah merasakan ada suatu kekacauan. Beberapa titik api muncul secara tiba-tiba di tanah hingga membuat mereka panik.

Phœnix masih terus meronta untuk keluar. Ia sudah melewati tingkat kesabarannya. Matanya menyala kini dengan kedua sayap yang terentang. Dalam erangannya, semua bulu-bulu itu berubah berwarna hijau kebiruan. Beberapa sisi tenda sudah mulai mengeluarkan asap dan api. Bahkan sangkar Phœnix juga sudah berasap. Dan hawa panas sangat terasa keluar dari sana. Para anggota Jade sudah berhamburan keluar tenda melihat itu kecuali Callimus. Ia masih belum mau meninggalkan tenda dan berharap Phœnix mau meredakan ketegangannya. Walaupun bulu-bulu dan kulit tubuhnya sudah merasakan panas yang tak bisa ditolerir.

Sangkar titanium itu telah mencapai pada tingkat panas yang tinggi dan kemudian membuatnya mengkerut karena tekanan. Sangkar itu serasa menghimpit si burung api yang masih terus diam merentang sayap sambil mengerang. Hingga kemudian sangkar itu menggembung dan

Blaaar…!

Sangkar itu meledak berkeping menampar tubuh Callimus hingga keluar menembus tenda yang terbakar. Di luar tenda yang lain juga telah terbakar bersama dengan semua perlengkapan yang ada di dalamnya. Para pemandu dan anak buah hanya melihat dari balik bukit pasir, batang kurma atau kejauhan. Begitupun para anggota jade yang lain.

Dan di sana. Sesuatu yang terang kemudian terbang melesat tinggi ke udara seperti bola api yang ditembakkan dan berganti-ganti warna dengan cepat. Merah, biru, hijau. Dan terus melesat tinggi. Callimus mencoba bangkit dengan luka-luka bakarnya. Ia mencoba menghindar di kejauhan.

Ruttler Art dan Enda Ganarsa mencoba memberi bantuan padanya dengan menarik dirinya menjauhi areal tenda. Semuanya terasa berantakan kini. Angin gurun yang menderu, panasnya api, kilatan-kilatan cahaya yang memenuhi udara. Semuanya.

Bola api itu tiba-tiba berhenti di udara seakan mengamati. Callimus telah berada di balik bukit pasir kini bersama dengan yang lain.

Dalam diamnya, bola api itu kemudian bergerak turun ke bawah dengan cepat dan semakin membesar tiap saat yang membuat suasana gurun pasir itu seperti siang. Sebelum sampai ke tanah terdengar sebuah erangan panjang dari dalamnya dan kemudian,

Buuum!

Terjadilah ledakan api dahsyat yang menyebar dan membakar apa-apa yang ada di sana. Lingkaran api itu menyebar begitu cepat, begitu jauh membakar setiap yang dapat dijangklaunyanya.

Hingga beberpa saat kemudian.

Hening.

Susanan malam di gurun itu kembali seperti tak pernah terjadi apa-apa. Hanya tenang dan ratusan titik-titik nyala api yang berserakan hingga jauh kemana-mana. Tak ada yang tersisa di atasnya. Hanya onggokan-onggokan hangus mengabu yang membentuk banyak sosok di balik bukit pasir, di balik batu, di antara batang-batang kurma yang masih menyala, rumputan dan dahan kering kering yang terbakar, dan di antara sisa-sisa makhluk hidup lainnya.

Dan di tengah lingkaran hangus itu semua. Sesuatu yang kecil terlihat bergerak-gerak di antara gundukan abu. Makhluk kecil yang mencoba menampakkan kepala dan menggerakkan sayap-sayap kecilnya. Ia mencicit seperti mencari induknya yang hilang dalam hening gurun pasir.

*

Rizky Q.

February 14th - April 28th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar