Rabu, 14 Juli 2010

SISA MALAM

Kata orang,

Bulu kuduk adalah radar alami manusia

yang peka terhadap rangsangan, rasa geli, cemas, kaget, takut,

dan kehadiran makhluk dari alam lain

Namaku Ranti. Aku berumur 29 tahun. Aku tinggal bersama suamiku Mas Yoga, dan seorang yang membantuku untuk urusan rumah tangga. Seperti asisten. Asisten rumah tangga? Mungkin terdengar membingungkan. Asisten rumah tangga adalah kata lain dari pramuwisma atau pembantu…

Mengapa bukan pembantu? Aku tidak enak hati menggunakan kata pembantu (walaupun dia bertugas membantu kita di rumah), karena berkesan perbudakan. Mungkin memang kata asisten terlalu berlebihan apalagi pramuwisma, yang terakhir ini lebih mirip pramugari kurasa ha ha ha. Ada kata lain lagi yaitu ‘orang bawaan’. Tapi lebih terasa aneh lagi. Masak orang dibawa-bawa. Gimana sih?

Terserahlah mau di sebut apa tapi yang jelas aku sendiri gak pernah memanggil Mbak Surikah atu Mbak Sur sebagai Asisten atau pramuwisma di depannya. Aku selalu memanggilnya Mbak Sur. Karena bagiku dia bagian dari keluargaku juga.

Perempuan yang dipanggil Mbak Sur sebenarnya seorang yang bekerja di rumah keluarga Ranti dulunya. Surikah atau Sur telah bersama keluarga Ranti saat Ranti masih berusia 15 tahun. Sur memutuskan untuk melajang dan melayani keluarga Ranti karena dia sendiri tidak memiliki sanak saudara lagi.

Kemudian ketika Ranti menikah, ia meminta pada Ibunya agar diijinkan membawa Sur bersamanya.

Sekaligus hal ini adalah hal yang justru menunjukkan ketidaksiapanku untuk lepas dari rumah orangtua sepenuhnya untuk mengurus rumah tangga yang baru saja kujalani, tapi hal in tidak berlaku untuk Mas Yoga suamiku, dia sudah terbiasa untuk hidup mandiri bahkan sudah memiliki rumah yang dibelinya dengan dicicil sejak kami sma-sama kuliah dulu. Ia bahkan sudah mapan ketika kuliah dulu.

Rumah mereka sendiri adalah rumah yang terletak dipinggir jalan Veteran di kota P di Pulau Sumatera. Rumah ini dibeli Yoga dari pasangan tua yang ingin pindah rumah karena anak sulung mereka ingin orangtuanya ikut dengannya. Anak yang berbakti, kata Ranti. Rumah yang pas untuk ditempati mereka bertiga dengan halaman yang masih menyisakan lahan untuk menanam beberapa pohon dan bunga-bungaan.

Ada pohon Belimbing yang tidak tinggi tapi cukup rindang dan lebar di dekat pojok halaman, yang buahnya cukup manis menurutku. Yang lainnya hanya bunga-bungaan yang tersusun rapi. Sedangkan rumah orangtua kami berdua ada di Jawa Tengah.

Ranti berhenti bekerja dan memutuskan untuk berwiraswasta membuka usaha butik pakaian khusus anak-anak di salah satu pusat perbelanjaan mewah di kota itu. Yoga adalah seorang Insinyur Pertambangan yang bekerja di Kilang Pengeboran Minyak di lepas pantai.

Aku sadari kalau ini sebenarnya hubungan yang beresiko. Karena kami pasti sering tidak akan berjumpa mungkin selama berbulan. Bukan apa-apa, sebenarnya dia dapat kembali ke darat setiap dua minggu sekali, tapi kalau setiap dua minggu dia menemuiku di Sumatera ini, bisa dibayangkan berapa banyak ongkos yangakan terbuang untuk perjalanannya, maka itu klami memutuskan untuk bertemu melepas rindu paling lama tiga bulan sekali. Keputusan ini sebenarnya tidak disetujui suamiku, mas Yoga tidak keberatan menemuiku sesering mungkin yang ia bisa, tapi aku sendiri yang memutuskan kalau hal itu tidak perlu.

‘kamu yakin dengan itu semua? Dan aku menjawab ‘Ya!’ dengan mantap. Dan Mas Yoga setelah itu selalu berusaha meneleponku paling tidak empat kali dalam satu minggu (tap isms-nya setiap hari terus di kirim kepadaku), atau berkirim e-mail dengan ucapan penutup ‘Kamu masih istriku kan?’ atau ‘Aku masih suamimu kok.’ konyol! Tapi itulah yang membuatku rindu padanya. Pada saat kepalaku sudah mau pecah akan rindu, di sinilah peran Ibuku, dan Mbak Sur sangat berperan. Mbak Sur-lah yang selalu menyadarkanku untuk sabar dan terus membimbingku ke ‘jalan lurus’ lagi jika aku sudah merajuk dan mau marah pada mas Yoga atas pekerjaannya itu.

‘Ti, kamu tu seharusnya bersyukur kalau Yoga memiliki pekerjaan dan penghasilan yang lumayan. Jarak itulah sebagai resiko yang kalian tempuh sebagai pasangan. Aku memang tidak memiliki pasangan hidup tapi, yang kutahu. Kalau kau memilih suamimu, maka kelak kau harus menerima dia sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan baik itu pekerjaannya, masa lalunya, keluarganya. Terima dia lengkap, utuh. Kalau kamu ridho, Insya Allah semua akan baik.dan ingat keputusan ini kamu sendiri yang mengambil.’

Untunglah aku juga punya kesibukan yang sedikit banyak bisa melupakanku kalau kami berjauhan. Tapi rasa itu akan muncul bila malam tiba dan aku pasti akansangat rindu padanya. Kalau sudah begitu ku langsung meraih telepon dan ngobrol sampai dua atau tiga jamlamanya dengannya.

Ini sudah memasuki bulan ke dua aku tidak bertemu dengan suamiku. Katanya dia akan pulang seminggu lagi dan menetap menemaniku selama kurang lebih dua minggu. Aku sudah tak sabar.

* * *

Hari ini hari kamis. Dan inilah hari dimana Mas yoga-ku akan pulang. Aku sudah tak sabar. Nanti sore kalau tidak ada halangan dia sudah berada bersamaku di rumah. Sebenarnya aku mau menjeputnya di bandara tapi ia menyuruhku untuk tidak usah bekerja di butik hari itu dan menunggu saja di rumah. Ya sudah

‘Assalamualaikum... Ranti. Aku…’

Aku langsung menghambur padanya sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

‘Hei hei kolokan ah. Udahlah masuk dulu.’

Aku dan Mbak Sur sangat senang dengan kedatangannya. Sore itu aku bahkan mandi bersama-sama dengan Yoga untuk melepas rinduku.

Malamnya, kami bertiga makan malam di luar sebagai perayaan dariku atas kepulangannya. Hingga kami kembali lagi ke rumah pada pukul 21.15 WIB

Dan di kamar tidur. Yoga seperti benar-benar menjadi milikku dan aku menerima seutuhnya seperti kata Mbak Sur. Dan aku memang menerima dirinya secara ‘utuh’.

Kami bercinta seperti takkan ada hari esok malam itu. Dan esoknya, aku terpaksa harus pergi ke butik pukul sebelas siang dan disambut dengan senyuman dan godaan dari tiga orang karyawanku. Ah bodo amatlah.

Hari berlalu, dan esok adalah hari terakhir Yoga ada bersama istrinya. Siangnya ia kan kembali ke tempatnya bekerja dan Ranti harus bersiap untuk ditinggal pergi lagi selama berbulan-bulan. Aku tidak rela.

Hari ini aku mengantarnya ke bandara dimana ia akan naik helikopter perusahaan dari sana untuk menyeberangkannya ke laut lepas lagi. Di bandara aku menangis sesegukan, begitu jua Mbak Sur. Di saat seperti itu aku jadi teringat dengan Ibu pada saat melepas kepergianku untuk pindah bersama suamiku.

‘Aku akan merindukanmu Mas.’ Dan pada saat itu aku juga rindu Ibu.

‘Iya, kan kita masih bisa telepon-teleponan. Kalau sudah sampai nanti aku akan langsung telepon kamu. Ok?’ aku cuma mengangguk.

* * *

Sudah hampir dua bulan Ranti pisah dengan Yoga, dan ia baru menyadari kalau belum kedatangan tamu bulan ini. Apa aku…?

‘Ibu Ranti, selamat ya. Anda hamil enam minggu.’

‘Yang benar bu dokter?’

‘Iya sudah enam minggu kok, gak terasa ya?’

Aku sudah tak bisa berkata-kata. Langsung aku menelepon Mas Yoga. Dari sana aku bisa mendengar dia mengucap asma Allah dan teriak-teriak saking gembiranya. Pasti teman-temannya menyangka dia sudah stress karena terlalu lama di lautan.

Setiba di rumah sorenya. Aku langsung memberitahu hal ini pada Mbak Sur, dan tentu saja Mbak Sur langsung menelepon Ibu di Jawa ,dan Ibu atau Mas Yoga (pastinya!) sudah memberitahu mertuaku akan hal ini.

Dan seperti sudah kuduga. Ny. Kartika Subagio, mertuaku, meneleponku malam itu langsung dengan ceramah-ceramahnya seperti; kamu harus lebih jaga diri sekarang, jangan kerja yang berat-berat, tidur jangan terlalu larut, makanan jangan sembarangan, bla bla bla. Sepertinya dia tidak tahu kalau aku baru saja diomelin dengan kalimat-kalimat yang kurang lebih sama dengan ibu yang meneleponku sebelum dirinya.

‘Iya ma, Nti ngerti.’

‘Iya, kamu jangan banyak gerak dulu. Kan ada Mbak Sur. Kamu…’ dan masih panjang lagi.

Pukul 21.42. Ranti merasa kalau ia harus tidur lebih cepat, sekitar setengah jam dari biasanya. Sur sendiri sudah masuk ke kamarnya kalau sudah pukul 21.00 teng.

Tapi aku tak bisa tidur. Dan aku merinding

Ia berusaha memejamkan matanya berkali-kali. Tapi tak bisa. Hingga itu membuatnya gelisah, seperti ada …

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.05 WIB. Ia meraih laptopnya dan mencoba browsing ke dunia maya.

Siapa tahu radiasi computer bisa membuat mataku lelah. Tapi tetap tak bisa. Dan aku masih merinding. Kenapa ini?

Ranti lalu mematikan laptopnya dan kembali masuk ke kamar. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di jendela, maka ia mendekat.

Aku tak tahu. Seperti ada yang menyuruhku untuk melakukan itu.

Ranti menyingkap tirai jendela dan melihat keluar.

Walaupun samar tapi ia yakin ada seseorang di seberang jalan, di luar sana yang memperhatikannya. Memperhatikannya dengan lekat.

Siapa dia? Sepertinya dia bisa melihatku, padahal lampu kamarku mati dan lampu teras tak terlalu terang.

Sosok itu berjarak sekitar 12 meter darinya. Ia tetap melihatnya untuk memastikan siapa karena dalam jarak dan cahaya seperti itu siapapun takkan bisa melihat jelas muka orang lain.

Jangan-jangan orang yang berniat jahat padaku dan Mbak Sur, mungkin rampok?

Dan dengan sangat yakin Rantimerasa kalau sosok itu juga bisa melihatnya karena tatapannya sangat lurus tertuju pada dirinya. Dan tidak ada seorangpun yang melintas pada saat itu.

Sosok itu mengenakan baju yang kelihatan kumal. Terlihat seperti seorang yang sedang menunggu sesuatu. Tapi bukan, dia bukan menunggu tapi jelas sedang menatap ke arah Ranti.

Dia sepertinya seorang perempuan. Aku yakin dia perempuan.

Sosok itu tiba-tiba dia memiringkan kepalanya seakan ingin melihat Ranti dengan lebih jelas dari kejauhan.

Ranti langsung menutup tirai dan naik ke tempat tidur.

Dan aku masih merinding.

Ranti terbangun dengan muka pucat dan tubuh yang basah dengan peluh. Ia tertidur karena pikiranku bekerja terlalu keras untuk memerintahnya untuk tidur dan berhasil. Tapi badannya terasa sangat letih. seperti terkuras. Capek sekali.

‘Mbak, semalam Nti liat ada orang yang melihat rumah kita terus. Mungkin niat merampok. Mbak jaga-jaga rumah ya. Kalau Nti pergi nanti jangan lupa dikunci ya.’

‘Iya, gak usah kamu ingatin, aku juga udah tau.’

Ranti merasa kalau ia sangat tidak berkonsentrasi pada pekerjaannya di Butik. Beberapa pelanggan yang biasanya ditangani sendiri harus diserahkan pada karyawannya untuk dilayani.

Aku sangat lelah. Aku ingin pulang. Dan tidur. Aku sangat butuh tidur.

Sekarang pukul 20.00 WIB. Ada pembukuan yang harus dilihat dan diperiksa. Karena itu ia pulang telat hari ini dari butiknya. Sur membukakan pintu pagar dan membantunya turun. Begitu kakinya menjejak, ekor mata kanannya seperti menangkap ada sesosok yang berdiri di bawah pohon Belimbing di pojokan. ia tersekat dan langsung melihat. Tapi tak ada siapa-siapa.

Aku yakin ada seseorang tadi.

Hal itu langsung membuatnya bergerak mengikuti Sur ke dalam.

Tapi begitu di depan pintu, tiba-tiba ia merasakan seperti ada tangan yang memegang bahunya dari belakang.

‘Haah.!’

Sur kaget,

‘Mbak, ada yang nyolek aku barusan!’

‘Istighfar Nti, istighfar.’

‘Astaghfirullahalaziim! Benar Mbak aku dipegang dari belakang.’ Aku mulai meringis.

Sur memandunya dan langsung menutup pintu.

‘Mungkin kamu cuma cemas. Kamu hamil muda dan lelah., banyak-banyak istirahat dan berdoa aja ya.’

‘Ya, mungkin.’

Lebih baik aku tidak berpikir yang macam-macam. Cukup sudah. Bila diteruskan hal ini tidak baik untukku dan calon bayiku. Anak ini sudah kutunggu selama tiga tahun.

Selesai mandi Ranti langsung mencoba tidur. Dan sama seperti malam kemarin, ia tak bisa tidur. Ia meraih teleponnya mencoba menghubungi Yoga. Mengapa dia belum meneleponku selama empat hari ini?

Tut tut tut. nadanya di luar jangkauan. Mungkin sinyal yang tidak bagus atau lagi ada gangguan cuaca. Ia mencoba untuk tidur tapi tetap tak bisa. Dan seperti semalam bulu kuduknya berdiri lagi, ia merinding. Walaupun merasa takut ia memaksakan matanya untuk terpejam.

Tapi pada saat matanya terpejam, ia seperti bisa merasakan ada sosok lain selain dirinya di kamar. Dan Ranti merasa kalau dirinya benar.

Dalam pikirannya ia melihat satu sosok di sudut kamar seperti menggantung di pojok atas, sampai menyentuh langit-langit, sambil menatapnya dengan lekat.

Sosok itu kemudian merayap dengan tangan dan kakinya dari satu sisi dinding ke sisi yang lain, pelan, dan terus bergerak.

Kaki dan tangannya meninggalkan jejak lumpur di dinding.

Perempuan!

Rambutnya panjang dan kusut, terjulur ke bawah menutupi kepala dan wajahnya.

Bajunya kumal dan bau.

Tapi Ranti terlalu takut untuk membuka matanya.

Aku bisa mencium baunya, sangit sekali.

Dan sosok itu mencoba turun ke lantai.

Mataku masih terpejam.

Perlahan ia turun dari dinding dan mencoba berdiri di lantai. Tak… tak…

Aku bahkan mendengar suara kakinya menjejak dan engsel-engsel kakinya bergemeletuk, Ya Tuhandarahku berdesir cepat, aku gemetar.

]Perlahan tapi pasti sosok itu mendekati tempat tidur.

Aku tak bisa bersuara bahkan merintihaku tak sanggup.

Dan dia bahkan telah berada di ujung tempat tidur.

Perlahan membungkuk, mencoba untuk naik.

Ya Tuhan… aku bisa merasakan dirinya dekat denganku tapi aku tak sanggup untuk membuka mata.

Kasur bergerak,

ada yang bergerak naik ke atasnya.

Berat.

Perlahan… dan terus bergerak.

Ranti merasa pasti kalau sosok itu sudah berada di belakangnya,

Yang terus menggeser tubuhnya secara perlahan untuk dapat berada di belakang dirinya.

Dan kini ia berada di belakangku. Tidur bersamaku

Kepala sosok itu mendongak seperti ingin melihat dan dilihat oleh Ranti. Tapi rambut yang kusut menutupi setiap jengkal wajahnya.

Padahal mataku masih terpejam…

Dan Ranti bisa merasakan kalau satu tangan sosok itu ingin menyentuh dirinya,

menyentuh perutku

bahkan ia bisa merasakan ujung pakaian sosok tersebut.

Ya Allah, jangan biarkan dia menyentuhku, jangan biarkan ia menyentuhku Tuhan.

Mulutnya terkunci tapi hatinya terus-terusan berdoa.

Seperti mendapat kekuatan atau saking takutnya, ia lalu meronta sekuat tenaga, berlari menjauhi tempat tidur mencoba menemukan switch lampu utama.

Byarr! Dalam terang dirinya bisa melihat kini. Kamar tidur itu kosong. Sisi sebelah dimana ia tadi tidur masih rapi. Tak ada jejak lumpur di dinding. Tak ada siapapun di kamar.

Ia sendiri. Berdiri bermandi peluh dan gemetaran.

Nafasnya tak beraturan.

Dan Ia masih merinding.

Aku sendiri

Lalu Ranti langsung bergegas menuju kamar Mbak Sur. Dan tidur di sana, sesegukan. Sur hanya heran tapi tak berani bertanya.

* * *

‘Kamu semalam kenapa sih?’ Kangen sama Yoga?’

‘Mbak, semalam aku diganggu. Aku gak mau tidur sendiri lagi. Aku mau Mbak menemani aku mulai sekarang.’

‘Diganggu siapa sih? Kok kamu gak teriak?’

Lalu ranti bercerita, tentang sosok yang dilihatnya di pinggir jalan sampai peristiwa semalam.

‘Astagfirullahal’aziim. Nti mungkin kamu berkhayal, makanya baca doa sebelum tidur. Berserah sama yang Di Atas. Insya Allah tidak ada apa-apa. Lagian semalam apa kamu lihat langsung? gak kan? Mata kamu saja terpejam. Perasaaan kamu sedang mempermainkanmu.’

Ranti diam. Mungkin benar ia berhalusinasi. Tapi ia tidak berani masuk ke kamarnya untuk untuk mengambil baju kerjanya.

Begitu ia pergi kerja. Sur mulai membersihkan rumah. Dan ketika ia membersihkan tempat tidur Ranti ia menemukan sesuatu. Beberapa helai rambut yang terasa kasar terserak di bantal Yoga. Rambut yang panjangnya sekitar satu meter. Yang jelas bukan rambut kedua perempuan di r umah itu. Sur langsung keluar membakar rambut tersebut setelah membungkusnya dengan kertas, lalu membuang abunya di selokan depan rumah. Abu kertas tersebut lalu terbawa air. Ia kini sadar kalau Ranti tidak berhalusinasi.

* * *

Malam ini Ranti memutuskan untuk tidur bersama Sur. Sur tak keberatan, baginya terserah di mana Ranti mau. Di kamarnya atau kamar Sur. Ranti lebih memilih di kamar Sur. Pukul 21.00 WIB mereka pergi untuk tidur. Tapi tak bisa. Ia menunggu selama dua puluh menit, sementara Sur sudah pulas. Ranti mencoba menenangkan dirinya.

‘Kali ini aku mau tenang.’

Lalu ia mencoba tertidur, tapi kemudian ia seperti mendengar suara menciap, mirip anak ayam. Terdengar seperti berada di atas atap rumah. Sedikit gaduh.

Mungkin musang, atau musangnya lagi memangsa anak ayam.

Lalu ia tertidur. Dan bermimpi.

Ia bermimpi kalau anaknya sudah lahir. Dan Yoga menggendong makhluk kecil itu. Mereka berjalan bersama memasuki rumah tapi Ranti terjatuh. Ketika Ia melihat ke kakinya, Sosok perempuan itu ada di sana entah datang darimana. memegang kakinya seolah tak mengizinkannya pergi. Ia berteriak tapi seketika hari menjadi malam. Mas Yoga dan bayinya tak kelihatan. Ia berteriak dan terbangun. Dan di ujung tempat tidur, matanya melihat satu sosok berdiri. Perempuan itu! Kuntilanak! Ia berdiri di ujung tempat tidur sambil memegang satu kaki Ranti. Tapi matanya terus menatap kearah perut ranti. Ranti kaget bukan main. Ini bukan mimpi! Ia mencoba meronta melepaskan kakinya dari tangan kuntilanak. Mencoba menendangnya. Tapi sia-sia. Kakinya selalu terasa mengenai ruang kosong. Keringatnya bercucuran saat itu juga. Secara samar ia bisa melihat mata si makhluk. Hitam semua tak menyisakan putih sedikitpun.

Ia mencoba berteriak, tapi tak bisa. Tangannya refleks memukul tangan Mbak Sur, Sur terbangun…

‘Apa sih?’ dan di sana mata Sur terfokus pada satu hal. Ia melihat hal yang sama dengan Ranti, sosok kuntilanak itu!

Kuntilanak berdiri menatap mereka berdua sambil menggeram. Kelihatan sangat tidak senang. Mereka menjerit. Sur segera membaca doa-doa yang bisa diingatnya saat itu. Sosok itu seperti tak rela melepaskan pegangannya sebelum akhirnya mundur lalu menghilang di balik tembok. Sementara Ranti sudah pingsan di sisinya. Sur tidak bisa tidur hingga azan subuh memanggil.

Mereka berdua siuman saat matahari sudah sangat tinggi. Ranti langsung menangis dan meraih telepon, mencoba menelepon Yoga atau Ibunya. Sur mencoba menanyakan ke tetangga mereka apakah mereka bisa menolong.

Sur diberitahu bahwa kandungan Rantilah yang menjadi incarannya kuntilanak. Malam itu diadakan pengajian di rumah mereka yang dihadiri beberapa tetangga. Dengan harapan bisa mengusir hawa gelap dari rumah tersebut dan melindungi janin yang dikandung Ranti. Ranti masih terlihat murung. Masih teringat jelas di wajahnya bagaimana kuntilanak itu mencoba meraih rahimnya. Dalam ketermenungannya. ia seperti melihat kuntilanak itu berada di ujung jalan seperti malam sebelumnya. Orang-orang yang lalu lalang seakan tak memperhatikan. Rantipun pingsan kembali. Beberapa tetangga mencoba menenangkan dan meyakinkan Yoga yang terdengar kalap di telepon. Ia sangat ingin pulang tapi di cegah Sur dan tetangga yang lain.

‘Biar kami yang melindungi Ranti di sini.’

Malam itu beberapa ibu-ibu bahkan rela tidur menemani Ranti dan Sur di rumah. Lingkungan rumah tempat mereka tinggal segera heboh dengan adanya kedatangan kuntilanak yang menggangu.

* * *

Keesokan harinya diadakan ritual pengusiran kuntilanak dengan menghadirkan seorang Kyai, yang dianggap bisa mengusir sosok tersebut. Ranti sendiri diberi doa-doa khusus yang dianggap dapat mengembalikan semangatnya kembali. Rumah mereka pun dipagari dengan doa dan beberapa ritual yang melibatkan tenaga dalam. Beberapa tetangga juga meminta ulama tersebut melakukan hal sama pada rumah mereka.

‘Sebenarnya, kalau kita lebih berserah diri pada Yang Kuas, Insya Allah semua akan berada dalam lindungan-Nya. Saya di sini hanya membantu hal itu, tak lebih. Saya sudah selesai di sini. Insya Allah. Kalau kita yakin sama Dia. Maka tidak ada gangguan lagi yang akan terjadi sejak malam ini. Saya bersedia dipanggil kapan saja kalau bapak-bapak, ibu-ibu semua membutuhkan. Insya Allah.’

Lalu Kyai itupun menutup ceramahnya dan pamitan pada warga. Saat itu sudah pukul 22.00 WIB. Tetangga masih berkumpul. Tapi yang jelas, ada sepasang mata hitam yang menatap mereka semua dari kejauhan. Jauh di atas pohon Mahoni tua yang menjulang yang berada puluhan meter dari

rumah Ranti.

-Oktober 2007-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar