Senin, 26 Juli 2010

KUCING

Seorang perempuan datang ke rumah Harun. Harun sadar bahwa ini masih dini hari, sangat dini malah. Perempuan itu memakai baju sutra merah menyala yang dihiasi sulaman bunga-bunga dari benang emas. Di belakangnya ada 6 atau 7 orang pelayan wanita. Perempuan itu sendiri kelihatannya telah berusia setengah baya tapi garis-garis kecantikannya tak dipungkiri masih jelas terlihat di wajahnya. Rambutnya yang panjang diikat sanggu ke atas.
‘Aku titip ini padamu.’ Hanya itu yang dikatakannya. Lalu Ia menyerahkan sebuah benda yang tak terlalu besar yang sedari tadi ada di tangannya. Benda tersebut dibungkus dengan sutra merah pula. Wajahnya selalu dihiasi senyum, begitupun wajah para pelayannya di belakang.
Dipandanginya kotak itu, kain dibuka, ternyata sebuah sangkar yang berukir indah. Lebih terkejut Ia. Di dalamnya bukan seekor burung atau ayam tangkapan seperti lumrahnya tetapi kucing. Kucing tanggung yang berwarna hitam, legam tapi terlihat sangat bersih terawat, kucing yang tidak terlihat seperti kucing yang biasa dilihatnya selama ini. Kucing yang sehat, sangat sehat dengan ekor yang tak terlalu panjang. Kucing itu dipandangi Harun lekat, lama.
‘Untuk apa kucing ini, saya…,’ belum selesai Ia bicara, Harun tak melihat ada siapa-siapa lagi di hadapannya. Kosong. Hanya ada halaman rumah nya yang luas dan rimbun berkabut. Dan dimana-mana berserakan kelopak bermacam bunga.
Harun tersentak,
‘Ya Allah, Astagfirullah al ‘aziiimm, mimpi mimpi! Wajahnya bercucuran keringat dingin. Dilihatnya tangannya, dilihatnya kolong tempat tidurnya. Tak ada apa-apa. Kosong

Di sisi lain tempat tidur dilihatnya Alina. Perempuan yang dinikahinya dua setengah tahun yang lalu. Alina masih teridur dengan pulasnya. Terdengar alunan nafasnya yang berhembus teratur berirama. Ia nampak sangat cantik dan damai.

Harun bangkit dan berjalan ke luar kamar. Pergi ke dapur mengambil gelas dan sebotol air dingin. Dari jendela kaca dapur Ia memandang ke luar rumah. Di halaman itulah mimpi itu terjadi.
* * *

Ranto yang mendengar cerita mimpi itu manggut-manggut.
‘Oh apa ya artinya. Pasti ada apa-apa. Nanti kulihat di primbon mimpi. Pasti ada artinya, apalagi kucingnya warnanya item, kucing item kan biasanya bawa sial.’
‘To, yang pasti itu cuma milik Tuhan. Manusia gak berhak tahu apa yang jadi milik-Nya.’ teman yang lain, Irwan, ikut-ikutan andil sambil bejalan ke meja perdebatan.
‘Oh enggak…, mimpi yang begitu itu ada artinya. Nanti kulihat run, nanti kulihat.’
Harun bengong. Ada perasaan menyesal mengapa Ia harus menceritakan mimpi anehnya semalam. Kenapa Ia tidak bersikap tak peduli saja, seperti mimpi lainnya.dan ia juga tipe orang yang percaya begitu saja dengan tahayul
* * *

‘Lin tanganmu?’ Harun langsung bertanya pada Alina begitu pulang dari kantornya.
‘Oh tadi ada anak kucing, di pukul sama kucing besar, dia lari ke halaman depan, tapi dipukul lagi sama kucingnya Pak Amin. Jadi kuusir kucing itu, untung pak Amin gak melihat jadi dia gak marah. . terus kuambil. Dia manis kan? Kucing jalanan tapi bersih.. bulunya hitam kilat lagi. Mungkin sebelumnya dia kucing piaraan ya bang?’
‘ Gak tau. Lalu Harun diam. Dia teringat dengan mimpinya. Mimpi tentang kucing hitam, semua terasa menjadi nyata. Harun berpikir, mungkin tinggal bad luck saja yang belum datang. Pikirannya kalut, ia belum habis piker, sebagian otaknya menerima hal-hal mistis dan tahayul, sementara sebagian lagi menentang habis-habisan.
‘Apa itu, mimpi dipercaya. Itu Cuma kebetulan run.’
‘Bukan, bukan kebetulan. Ini memang gara-gara mimpi, hati-hati!’
‘Enggak, enggak apa-ap. Mimpi ya mimpi, cuma bunga tidur, gak lebih. Semua sudah diatur sama Yang di Atas. Kalaupun itu pertanda dari-Nya, bukan begitu mimpi yang ditunjukkan.’
Terus…, terus…, kata-kata yang pro dan kontra akan tahayul terus terngiang di kepalanya. Mereka adalah ada dua versi lain dari dirinya yang terbang bergantian ke depan dan ke belakang. Membisik dan membentaknya untuk memilih satu pilihan.
‘Allahuakbar, Allahuakbaaar!’ Azan Maghrib menggema di kejauhan. Harun tersentak dari lamunannya
‘Huuuuuh, ya Allah!’ segera ia bangkit dan mengambil wudhu.
* * *

‘Iya kan, apa ku bilang, itu bukan mimpi biasa. Pasti ada makna di balik itu semua. Sekarang kamu buang kucing itu jauh-jauh. Jangan kamu bunuh. Kamu buang aja, kalau tidak, takutnya kamu bakal kena sial nanti.’ Ranto terus memperingati harun karena firasatnya yang diyakininya benar.
‘Gak usah dengar si gemblung ini, mimipi kok dipercaya. Kalo mau mimpi ya mimpi aja, puas-puasin sana, tapi begitu bangun ya udah, abis.’ A Lie, rekannya yang lain juga berkomentar. Dia menjadi pihak yang kontra. ‘Aku bilang ya, kucing itu makhluk Tuhan juga, ya udah anggap aja rejeki yang datang ke rumahmu, piara aja udah, kok repot. Kalau istri kamu Alina suka kan berarti itu hal yang bagus, berarti ada yang bikin dia senag, bikin dia terhibur, ada kawan kecil yang menemaninya selama kamu tidak ada di rumah. Kucing kecil bisa apa coba?’
Harun tersenyum, Ia sedikit terpengaruh sekaligus lega mendengar kata-kata A Lie.
‘Ya udahlah, kulihat dulu, sementara biar aja ad di rumah.’

Di rumah, ia melihat Alina dan kucing kecil, si keeling nama yang diberikan Alina, itu berdua. Mereka sterihat selalu berdua, kemana Alina pergi, si keling ikut. Ke dapur, menonton tv, ruang tamu, dapur, bahkan waktu tidur. Hup, tapi hal ini tidak bisa dibiarkan. Si keeling harus ada di luar kamar kalau mereka tidur, syukurnya Alina juga menyetujui hal ini.
* * *

Si keling berjalan dan kemudian diangkat oleh tangan seseorang. Ranto!. Ranto lalu memeluk kucing itu dan tertawa terbahak-bahak. Kucing itu mendadak menjadi aneh. Ia seketika melihat tajam kepada Harun, mulutnya seakan menyunggingkan senyum, senyum sinis.
‘Hah!’ keringat dingin mengucur dari dahi dan dadanya.
‘Mimpi mengerikan.’ dilihatnya Alina, masih tidur, pulas. Tapi si keling, kucing kecil itu, ada di sana dan melihatnya lekat-lekat. Darimana ia bisa masuk? Mungkin ia masih terkejut saat Harun bangun. Atau mungkin ia sudah melihat Harun sejak ia terlelap tadi. Lama ia memperhatikan kucing itu. Sekilas ia merasa kucing itu sedang dala posisi siaga siap untuk menggigit dan menggoyak-ngoyak wajahnya dengan mulut dan kukunya, ia segera bangkit dan pindah ke sofa di ruang tamu. Harun enggan memikirkannya lebih lanjut.
‘Kok kamu tidur di kamar sebelah semalam?’ Tanya Alina saat sarapan.
‘Panas.’ Harun malas menjawab dan segera mencium kening Alina, lalu berangkat, tapi tunggu…
‘Si keeling kok bisa ada di kamar semalam?’
‘Oo, iya maaf bang, semalam nampaknya dia kedinginan, jadi kubawa masuk. Cuma untuk semalam saja kok. Gak papa kan bang?’
‘Hemm, aku berangkat dulu yah.’
* * *

Harun kecewa, ia merasa hari-hari Alina selalu lebih disibukkan untuk si keling daripada untuk dirinya. Malam itu ia tidak tahan lagi, jatahnya bermesraan dengan Alina kembali di serobot kucing itu. Si keling meminta masuk kamar ingin tidur di kaki Alina, tapi langsung di tolak Harun.
Kucing itu ternyata masuk lagi ke dalam mimpinya, hingga harun merasa di siksa habis-habisan. Dan seperti mimpi sebelumnya, si keling ada di pelican Ranto, tapi bukan dia saja, ternyata di mimpi yang sama juga ada A Lie, Irwan, bahkan pak Darman bosnya. Mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat kepada dirinya, seakan mengejeknya. Bahkan di bibir kucing aneh itu juga tersungging semacam senyum mengejek. Ada apa ini semua?
* * *

Harun ingin rasanya membuang si kucing kecil itu, ke pasr yang terdekat atau bahkan ke selokan asl jauh dari dirinya. Tapi Alina selalu berada dekat dengan dirinya, dan si keling pun semakin manja dengan Alina.
Lagi, kucing itu ad dalam mimpinya. Padahal itu tidur siang! Bahkan di mimpi itu juga ada kucingnya pak Amrin, bukannya berantam malah bermain-main dengan si keling. Segera ia terbangun dan pergi, sepertinya rasa muak pada dirinya akan mimpi yang sama telah membuatnya mudah untuk bangun dari tidur dan mimpinya. Tapi Harun benar-benar muak dengan itu semua. Bahkan untuk melamun sajapun ia taku. Ia takut untuk jatuh tertidur da memimpikan hal yang sama.
* * *

Pagi yang cerah, harun keluar dari pintu lift kantornya. Ia meletakkan tas di mejanya dan duduk di sana. Betapa terkejutnya ia melihat pemandangan di depannya. Di sana telah berdiri ranto dengan si keling di tangannya. Bukan hanya itu di sampingnya juga ada A Lie, Irwan, pak Darman hingga sekretarisnya, bahkan tukang sapu kantor, pengantar minum, petugas katering, dan… dan Alina juga ada di sana. Mereka semua ada di depannya, mereka dan seluruh ruangan semua tertawa, mengejek dan menunjuk pada dirinya.
Harun bingung, kalut, takut. Ia menyeruak kerumunan, berlari kemana saja ia bisa walau tak ada seorangpun yang menahannya. Mereka terus tertawa. Kini ia melihat si keling ada di pangkuan setiap orang. Harun terus berlari. Apak ini sebuah mimpi? Karena kalau ini sebuah mimpi, ia pasti akan menari jalan keluar atau sebuah pintu yang bertuliskan ‘Dunia Nyata’.
* * *

Ky
Akhir Mei 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar