Senin, 26 Juli 2010

Senandung Mendung

Rizky Q.




‘Kau ambiakkan sandal apak lakeh!’ Amdar menyuruh anaknya dengan sedikit menghardik. Raida melongok ke arah apaknya. Satu dua butir nasi masih menempel di bibir dan dagunya. Ia hentikan makannya dan mulai berjingkat menuruni anak tangga mencari sandal apaknya yang terjatuh di kolong rumah.
‘Lakehlah kalo di suruh urang tu! Mak oii… lambek bana kau.’ Dengan hardik tak sabar Amdar memerintah Raida, anak perempuannya satu-satunya. Piring makannya ia sandarkan ke dinding. Tangannya yang belum bersih benar dicuci dengan sisa air minumnya dari minyak dan kuah lauk, telah ia sampirkan ke mulutnya untuk mengelap sisa makan malam barusan.
Dari dapur, Salamah melirik dengan ekor matanya, tak berani ia melihat pada suaminya. Bibirnya terkunci.
Di bawah kolong, Raida berusaha mencari sandal apaknya diantara sinar lampu minyak yang mengintip dari celah lantai kayu rumah. Setelah sandal lusuh itu didapat, segera Raida naik lagi ke tangga dan mengangsurkan sandal apaknya tepat di hadapan kakinya.
‘Lambek bana kau! Tak baguna. Ketek tak baguna ba’a pulo beko…’ tangannya mendarat ke kepala Raida sambil sedikit keras mendorongnya ke belakang. Raida diam saja, ini adalah hal biasa yang didapatnya dari apaknya. Begitupun, masih saja ia bersandar di pintu melihat ke luar.
Masih terdengar olehnya ocehan Amdar sambil berjalan menuju laut. Malam ini bulan penuh, siluet apaknya jelas terlihat menjauh di antara batang-batang nyiur yang tinggi lalu berhenti di bawah pohon ketapang bergabung dengan siluet-siluet lelaki dewasa lainnya. Lalu terdengar mereka tertawa sebentar dan kemudian bersama berjalan lagi menuju kapal nelayan.
‘Raida, masuklah dikau nak, kancang bana angin di lua, angin malam. Tak baek untukmu.’ Salamah mendekati anak perempuannya itu. Ia menggandeng tangan Raida, menjauhkannya dari pintu dan angin malam di daerah pantai Pasir Jambak.
‘Apakmu mancari ikan, abangmu Si Din-pun lah kalua dari tadi. Bia ajo mereka. Si Ali pun kayaknya lah pai.’ Dari beranda kecil rumah itu, Salamah melihat ke samping, ke arah rumah anak tertuanya Ali, yang telah berbini, berjarak empat rumah di sebelah kiri dari rumah mereka. Raida juga melihat ke arah rumah abangnya.
‘Ayuk, masuk’ Salamah menyuruh Raida masuk ke dalam rumah.
Bukan apak yang hendak aku lihat mak, bukan dia.

Raida terus menatap ke luar. Kapan aku bisa seperti mereka. Berlabuh jauh ke tengah laut, berenang dan masuk menembus ke dalam awan-awan tebal.
Angin tetap berhembus kencang,
‘Raida, alahlah. Tutup pintunya.’ Salamah memanggil,
Mungkin kalau angin sangat kencang, ia bisa mendorongku ke tengah laut dengan cepat. Sendiri berenang bersama ikan.

‘Raida, masuklah dikau ke dalam, angin kencang di luar!’ suara emaknya membuyarkan lamunannya. Ia masuk ke dalam dan menutup pintu.
‘Habiskan makanmu, beko cuci tangan lalu mangaji basamo emak.’ Raida hanya mengangguk. Ia menyelesaikan makannya dan mencuci tangan dan piringnya yang kotor, lalu ia bergabung dengan emaknya yang telah siap dengan Al-qur’an di tangannya.
Raida mengenakan sarung dan selendang sekenanya. Ia lalu duduk berdampingan dengan Salamah membaca kitab suci itu.
Salamah membuka halaman kajiannya, lalu membacanya dan membacanya sekali lagi agar Raida dapat mengikuti. Bibir kecil itu lalu mengucap gagu…
‘ku uowwu aaa….’ Tak jelas apa yang diucapnya tapi Salamah tetap pada bacaannya. Membaca ayat untuk dirinya sendiri lalu membaca sekali lagi untuk diajarkan pada Raida. Inilah alasan mengapa ia tidak membawa lagi anaknya ke langgar untuk belajar mengaji bersama dengan anak-anak yang lain. Mereka akan menertawakan Raida yang gagu karena tak berlafal sempurna. Dan Umi mengajinya yang mengajar tak sabar pada dirinya. Raida juga malu.
Salamah memutuskan untuk mengajarkan sendiri anaknya mengaji. Tak ada rasa bosan dan lelah di wajahnya, walaupun pada saat yang sama ia teriris pada kondisi anaknya. Untungnya, Raida masih mau bersekolah. Memang kondisinya itu membuatnya menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya, bahkan gurunya, tapi ia tetap mau bersekolah, hingga kelas tiga ia kini. Walau ia hanya menulis dan menulis yang diajarkan tanpa pernah sekalipun ditanya oleh gurunya atau hanya menuliskan jawaban di papan tulis.
Di luar, angin bertiup kencang menggisik dedaunan nyiur, terkadang menggoyang buahnya yang tua dan menjatuhkannya hingga mendebum di pasir.
Salamah masih dengan bacaannya, membaca ayat untuk dirinya sendiri lalu membaca sekali lagi untuk diajarkan pada Raida. Raida mengikuti,
‘habbi ii maoob…’
* * *

Kasih melihat almanak yang tergantung di dinding dapurnya. Seminggu lagi bulan Desember.
Apa aku masih harus menunggu di sini? Aku tak tahan lagi.

Ia bimbang apakah harus menyusul Dirman ke Jakarta atau harus menunggu lagi. Sudah setahun setengah ia tidak bertemu dengan suaminya itu. Kabar terakhir dari Dirman adalah sebulan yang lalu pada saat ia menelepon Kasih menumpang lewat telepon tetangga. Kasih berulang kali mengutarakan keinginannya untuk menyusul Dirman dan bersama mencari peruntungan hidup di sana. Tapi Dirman selalu menolaknya. Yang ia tahu kalau Dirman berjualan di daerah Tanah Abang. Beberapa saudara dan tetangganya yang merantau juga mengatakan kalau Dirman sering terlihat di daerah itu. Hanya Uncu Bidin yang sering menelepon memberi kabar padanya bila Dirman menginap di rumah uncunya itu satu atau dua malam. Biasanya Kasih tak heran, karena Dirman juga memberitahu Kasih kalau ia menginap di tempat Uncu Bidin. Setelah itu tak ketahuan lagi ia ada di mana, bahkan Uncu Bidin sendiri tak tahu Dirman biasa dimana. Kasih tahu dan yakin kalau suaminya itu adalah seorang pekerja keras. Sudah tujuh tahun usia perkawinan mereka. Lima tahun lalu mereka pindah dari Medan ke Padang. Menginap di rumah Andungnya Kasih yang kosong.
‘Daripada kosong, biarlah kalian yang menjaganya.’ Itu kata-kata Andung Jasman saat itu. Hingga setahun kemudian Dirman pamit padanya untuk merantau sendirian ke Jakarta. Ia berjanji akan membawa Kasih pergi bersamanya ke Jakarta kalau ia sudah memiliki kehidupan yang sedikit mapan di sana. Sebulan atau dua bulan setelah kepergian Dirman, Kasih menghidupi dirinya dengan uang dari keuntungan membuka kedai kecil di rumahnya, lalu Ia menerima uang kiriman Dirman sekali dalam sebulan atau dua bulan, walaupun cukup besar baginya tapi bukan uang yang ia masalahkan sebenarnya. Kerinduannya yang tak tertahankanlah yang dirisaukan. Belum lagi gunjingan tetangga padanya dan keraguan pada kesetiaan Dirman selama di sana. Bahwa Dirman telah memiliki istri lain, bahwa Dirman tak bertanggung jawab, bahwa Dirman adalah orang jahat. Kasih sudah tebal kuping tapi ia juga tak bisa terus seperti ini. Ia merasa seperti seorang janda, perempuan yang tersia-sia, ada suami tapi seperti tak punya. Hanya sayang dan cintanya yang membuatnya terus bertahan dan mengiyakan keberatan Dirman akan keinginannya untuk turut pindah ke Jakarta.
‘Belum waktunya dik, sebentar lagi, sabar.’ Hanya itu yang selalu didengarnya setiap kali Dirman meneleponnya.
Seminggu lagi bulan Desember. Setelah itu tahun baru kembali, 1979. Apa aku masih harus menunggu di sini? Aku tak tahan lagi. Aku akan naik kapal dari teluk bayur, menyusul suamiku Dirman ke Jakarta.

Matanya menatap ke depan, menyusur ilusi masa depan akan dirinya yang bertemu Dirman.
* * *

‘Alah pulang si Raida?’ Amdar bertanya pada Salamah, setelah ia baru terbangun dari tidurnya. Badannya terasa linu. Ia dan nelayan lain baru pulang pukul 6.30 pagi tadi lalu menjual ikan mereka di pelelangan.
‘Alun bang. Sabanta lai.’
Tak lama, dari jauh Amdar melihat anaknya itu di depan pintu, ia baru pulang sekolah, tak ada sepatu di kakinya, hanya sandal jepit butut yang menemani langkahnya pulang sekolah.
‘Cepat masuk. Kau ganti bajumu dulu trus kau pijitkan badan apak.’
‘Biarlah dia makan dulu da…’
‘Ah, bekolah tu. Ini kan hanya sebentar saja.’
Salamah diam, ia tidak pandai kalau harus menjawab kata-kata suaminya.
Dari dulu ia memang begitu, keras wataknya. Itulah kata-kata yang terus di dengungkan dalam benaknya akan Amdar.
Raida tak membantah, ia patuh pada apaknya, ia ganti baju sekolahnya tapi tidak dengan rok merahnya. Dengan sigap ia ambil minyak gosok dan mulai memijit apaknya yang telah telungkup di depan pintu. Ia dan setiap penghuni rumah ini tahu, bila membantah omongan apaknya, maka rasakanlah akibatnya.
‘Indak taraso, kueklah saketek manguruik tu! Aku capek dari semalam mencari ikan buat kau makan. Tak ada jasa kau untuk apakmu hah!’ ia berbalik badan dan mendorong kepala Raida. Raida hanya diam. Di luar, Din, abang Raida hanya mendengar ocehan apaknya, tanpa sekalipun melirik ke dalam rumah. Tangannya terus mengurai dan menjahit jala yang rusak.
‘Alah udahlah, pergilah kau sana!’ cukup baginya Raida memijit dirinya, kembali ia mendorong tubuh Raida.
Salamah tanggap, segera ia menghidangkan makan untuk suaminya. Dan membawa Raida ke belakang. Memberinya sepiring nasi dan menyuruhnya duduk diam di pojok sudut tangga belakang rumah panggung itu.
‘Wawwa… Aoo wa’aa icii…’ Raida bersuara saat menerima piring dari emaknya.
‘Hah! Makan pun kau ribut. A yang kau kecekan tu? Tak tahu orang apa yang kau bilang! Aaa ooo aaa. Macam mana nasib kau nanti kalau kau bisu gitu. Indak balakik kau beko, indak ada yang mau.’
‘Udahlah da.’ Salamah mencoba melerai.
‘Kau juga. Pasti ada salahmu yang kau buat sewaktu bunting. Sampai anakmu jadi bisu begitu!’
Di belakang, Raida tak sepenuhnya perhatian pada nasinya. Matanya terus menatap pada laut yang luas. Tak dengar ia pada kata-kata apaknya. Dalam pikirannya adalah bila angin dapat membawanya jauh berlayar sendirian ke tengah laut. Bahkan ia akan senang jika angin hanya mengangkatnya lalu mencampakkannya dengan keras, asalkan ia dapat berada di tengah laut. Berenang dengan banyak ikan dan menembus awan-awan. Pergi ke negeri seberang yang riang.

Apaknya pergi entah kemana. Sepengetahuannya, apak pergi ke kota bersama mamak Zal. Emak mengijinkannya untuk bermain. Raida senang sekali. Ligat ia berlari ke pantai. Jika ada apak Raida tak dapat bermain dengan tenang, selalu ada yang disuruhnya, apakah itu membantu emak atau membantunya menjahit jala atau yang lainnya. Tapi kini ia dapat bermain dengan tenang. Di pantai sudah ada Nety dan Ramlan tetangganya. Mereka bermain, mencari kerang, mencari siput, melempar kelapa yang jatuh ke laut dan berenang. Dan Raida memang perenang kecil yang hebat. Kulit mereka yang hitam semakin terpanggang karena sinar matahari yang tak bersahabat.
Suatu ketika Raida terdiam, ia pandangi laut lepas di hadapannya. Luas, biru dengan awan-awan yang terlihat menyentuh laut. Apa dibalik mereka?
Ia berenang menjauhi Ramlan dan Nety. Aku akan ke sana… ia kayuh kaki dan tangannya semakin jauh.
‘Raida! Raida hendak kemana dikau? Raida!’ Nety memanggil Raida, tak tak dihirau. Ramlan mencoba berenang mengejar, tapi arus terlalu kuat untuk tubuh kecilnya. Ia pun menyerah. Nety terus memanggil, kecemasan ada pada wajahnya dan juga Ramlan.
‘Raida! Raida, kembali!’
Raida terhenti, ia sedikit lelah, dirinya sudah jauh dari pantai dan kedua temannya. Tak ada apapun yang didengarnya, tapi ia tahu kalau teman-temannya memanggilnya. Beberapa kali terminum olehnya air laut. Asin yang menyegarkan. Dipandanginya lagi tengah lautan, lalu pada teman-temannya yang memanggil, lalu kembali tengah lautan, terus bergantian. Dirinya tak begitu lelah, ia merasa masih sanggup untuk terus berenang ke tengah menyambut awan yang mulai mendung dan negeri seberang. Tapi temannya tetap memanggil. Raida merasa bimbang.
Aku tak mau berhenti, aku bisa menggapai kalian. Menyeruak awan hingga nanti sampai ke negeri seberang.

Tapi tidak. Ia berbalik, kembali pada teman-temannya. Ombak terasa bersahabat dengannya. Seperti tak sedikitpun menghalanginya laju renangnya. Raida tahu, Ia dan laut adalah satu. Selamanya.
Kini semakin terlihat olehnya Nety yang menampakkan mimik muka meringis, menangis karena takut Raida terbawa ombak tak kembali lagi. Ketika mendekat, Ramlan lalu menarik tangannya dan membawanya menjauh dari laut.
‘Takuik bana ambo tadi kau tenggelam Raida. Jan kau buek macam tu lagi yo.’ Nety memohon padanya.
‘Iyo, mati kau beko ditelan ombak. Apalagi hari mulai gelap karena mendung.’ Ramlan juga takut, tapi Raida diam saja. Berbalik ia memandangi laut. Benar, awan mulai gelap tapi tak apa baginya.
Mungkin ini bukan saatnya, belum, tapi nanti aku pasti kembali.

Mereka lalu pulang bersama. Pasir menempel di kaki, muka dan rambut mereka. Di depan rumah Raida ternyata apak sudah menunggu. Menunggu di bawah nyiur dengan muka tak ramah. Melihat pada dirinya yang basah dan rok sekolahnya! Raida tahu ia bakal dihajar kini.
Plak!
Pipinya ditampar keras oleh Amdar.
‘Anak anjing kau! Habis kau buat kotor bajumu! Indak sekolah kau esuak hah!
Pungggungnya dipukul dengan sandal. Nety dan Ramlan yang sudah takut kehilangan Raida menjadi semakin takut melihat amarah Amdar dan berlari pulang ke rumah mereka. Beberapa orang melihat dengan miris dan menggumam. Salamah turun dan lalu menarik Raida ke dalam rumah dengan keras. Ia hanya bermaksud agar Amdar tak memukuli anak itu lebih lama dan menjadi tontonan orang, tapi Amdar tak berhenti. Ia terus memaki
‘Anak anjing, macam tak dididik kau! Aku pergi kaupun pergi bermain! Tak diajar kau rupanya hah! Kau juga Salamah. Tak bisa lagi kau menjaga anakmu ini diam di rumah?’
Ocehan dan libasan sandal di punggung, tangan, dan kaki terus diterima. Tapi Raida tak bergeming. Ia tahankan sakit di badannya. Terlihat matanya murung dan sedih tapi tak setitik ar keluar dari mata kecilnya. Justru ada pada emaknya yang memohon agar apak berhenti memukuli anaknya. Di luar mulai banyak awan mendung menutupi langit.
* * *

Kasih memegang tiket ditangannya. Kapal yang akan ditumpanginya ke Jakarta akan berangkat empat hari lagi, menyusul Dirman, menyusul kekasih hatinya. Matanya menyusuri lautan dan deretan beberapa kapal yang sandar di pelabuhan Teluk Bayur.
Sebentar lagi aku akan menyusulmu bang.

Kasih pulang dengan perasaan senang tertahan. Ia tersenyum sendiri.

* * *

Besok adalah hari keberangkatan Kasih ke Jakarta. Ia sudah berbenah diri dan memberitahukan pada Andung Jasman mengenai rencananya. Tentang yang terakhir ini. Kasih sudah memberitahukan beberapa hari sebelumnya, dan Andung Jasman sebagai pemilik rumah tak keberatan akan kepergiannya, Ia hanya minta kasih menitipkan kuncinya pada Uni Emmy tetangga sebelah.
Ia pandangi koper dan tas yang akan dibawanya. Ia juga membawa beberapa baju Dirman yang tertinggal agar dapat dipakai kembali oleh suaminya setelah ia sampai dan bertemu nanti di Jakarta. Dari balik jendela kamarnya ia memandang ke luar. Cuaca kembali mendung seperti hari-hari kemarin. Awan gelap dan hitam mulai terlihat. Padahal pagi tadi hari terlihat sangat cerah dan terik.
Semoga tak terjadi badai yang menggangu jalannya kapalku esok hari. Harap perempuan itu.
* * *

Raida baru pulang sekolah. Tas selempang dari kain yang dibuatkan emak tersangkut di bahunya. Ia melewati jalan setapak desa nelayan tapi matanya terus memandang ke arah laut. Hujan sepertinya akan turun. Di belakangnya, beberapa anak lelaki yang baru pulang sekolah berkejar-kejaran. Salah seorang diantaranya menyenggol Raida hingga membuatnya terjatuh.
Salah satu sandal kumalnya terjatuh ke dalam aliran muara di bawah jembatan.
‘Aaawaaaa waaa…’ Ia meminta anak-anak itu bertanggung jawab dan mengambilkan sandalnya, tapi mereka malah tertawa melihat Raida dan melanjutkan berkejar-kejaran. Raida melihat ke dalam muara, muara yang kotor dan penuh kotoran kerbau di dalamnya. Beberapa biawak mengintip dari balik pohon Rumbia. Raida merasa takut, belum lagi ular rawa yang mungin bersembunyi di sana. Tapi ia harus mengambil sandalnya, atau nanti apak akan sangat marah melihat dirinya pulang dengan pakaian yang tidak lengkap. Cuaca semakin mendung, rumahnya tidak jauh lagi dari sini. Ia harus segera mengambil sandalnya dan bergegas pulang.
Raida turun dari jembatan mendekati muara. Di letakkannya tasnya dan digapainya ebilah galah tak jauh dari tempatnya. Dicondongkannya badannya untuk membuat galah dapat menjangkau sandalnya. Tapi malang dirinya tercebur ke dalam muara dan membuat kotor badan dan pakaiannya.

‘Kasih…, Kasih.., dima kau? Ada telepon dari Jakarta, dari Uncu Bidin. Penting.’
Uni Emmy memanggil Kasih dari luar.
Uncu Bidin, biasanya Uncu menelepon waktu malam, mengapa ia menelepon siang begini? Apa bang Dirman ada di sana?
Segera kasih menghampiri Uni Emmy, wajah Uni Emmy kelihatan lain, ia tak bersuara, hanya menyeret kasih ke rumahnya untuk menerima telepon dan berdiri tak jauh darinya.
‘Ya Assalamualaikum Ncu? Halo…’
Di seberang sana Uncu Bidin bercerita menyampaikan berita duka cita. Dirman tewas dalam sebuah perang antar preman dan polisi di Tanah Abang. Uncu Bidin menerima kabar dari orang-orang yang mengenal hubungan Dirman dan dirinya. Semula ia tidak percaya akan berita itu hingga ia memastikan jasad Dirman di rumah sakit yang menampung tubuh bekunya. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dirman adalah salah satu preman yang ditembak polisi karena melawan. Bisa saja ia adalah korban antara preman dan polisi.
Kasih tak sanggup. Telepon itu jatuh dari genggamannya. Ia meraung terduduk di tempatnya. Unny Emmy juga menangis berusaha menenangkannya. Tapi itu tak membantu. Kasih gelap mata, ia melepas pegangan Uni Emmy dan berlari keluar, berlari, dan terus berlari kemana kakinya membawa.

Amdar lewat di dekat muara, malang bagi Raida karena apak melihatnya.
Tak butuh waktu lama untuk amarahnya timbul saat melihat Raida basah dan kotor, sumpah serapah dan tangannya lalu bermain di badan Raida,
‘Anak anjing! Setan kau!’
Ia tarik anaknya itu bersamanya. Raida terseret dan menangis tapi Amdar tak peduli. Mulutnya terus memaki anak perempuannya itu. Sesekali ia berhenti untuk memukul dan kembali lagi menarik Raida dengan keras.
‘Awwaa…, auuu awa.’
‘Diam! Bisu tak tahu malu kau!’
Raida terus terseret. Orang-orang keluar hendak tahu apa yang terjadi, dan miris melihat keadaan gadis kecil itu. Satu dua orang mencoba meredakan Amdar tapi malah kena marah olehnya karena telah ikut campur dalam urusannya dan anaknya. Beberapa ibu-ibu tak tahan melihat Raida meraung. Tapi tetap mereka tak berdaya. Hujan sudah mulai turun gerimis.

Kasih terus berlari. Tak dipedulikannya lagi kakinya yang telanjang menginjak batu dan duri. Tak peduli lagi hujan membasahi diri, tak peduli lagi sesak di ulu hati. Ia terus berlari, membagi duka pada pepohonan, pada hujan pada pasir pantai yang dilaluinya.

Raida masih menangis. Hatinya perih. Apakah dilihatnya awan semakin menghitam, hujan semakin membasahai dirinya. Rumahnya telah nampak kini di depan.
Apak, jangan sakiti aku lagi…
Ia gigit tangan apaknya, ia tinju perutnya. Rasa sakit membuat Amdar melepaskan cengkeramannya pada Raida.
Raida berlari sekencangnya. Berlari melewati deretan nyiur dan pohon ketapang. Amdar masih berteriak menyumpah dibelakangnya tapi ia tak mendengar apaknya lagi. Hujan semakin lebat. Amdar hendak mengejar tapi sakit membuatnya tertahan. Ia hanya memperhatikan Raida berlari dari jauh dan terus memaki.
Raida terus berlari. Melewati kawasan rumahnya (bahkan ia dapat melihta emaknya memangggilnya di pintu), melewati rumah abangnya Ali dan rumah Nety atau Ramlan. Ia sendiri heran mengapa ia bisa berlari sekencang ini. Mungkin angin yang mulai mendorongnya. Diantara airmatanya ia tersenyum lebar.

Kasih lelah, dirinya kini ada di ujung pantai pasir jambak. Diantara laut dan hujan.
Dirman suka laut, ia sangat suka laut. Mungkin aku akan menyusul Dirman saja dari sini. Melabuhkan jiwaku bersama laut.

Dari tempatnya dilihatnya sosok kecil jauh yang berlari kencang, semakin dekat, semakin dekat pada dirinya.

Raida dan Kasih. Keduanya kini berhadapan dalam beberapa jarak langkah. Keduanya memandang terdiam tetapi seperti saling mengetahui isi pikiran masing-masing. Raida melihat ke lautan. Laut yang mulai pekat sudah bergejolak mengombak seperti memanggil dirinya, siap mengantarnya ke negeri seberang.
Di sekitar hujan belum deras, tetapi hujan mengundang angin menderu mendekat, dan angin membawa awan kelabu pekat, dan awan menggandeng kilat dan guruh menyertai, dan mereka segera menjelma badai.
Laut sudah menyentuh kaki telanjang mereka.


Medan, November 29th 2008
For RRS – a birthday present.


Keterangan:
1. Kau ambiakkan sandal apak lakeh = Kau ambilkan sandal bapak, cepat
2. Lakehlah kalo di suruh urang tu! Mak oii… lambek bana kau = Cepatlah kau bergerak kalau disuruh orang. Ampun… lama sekali dikau
3. Lambek bana kau! Tak baguna. Ketek tak baguna ba’a pulo beko = lamban benar/sekali dikau. Tak berguna. Kecil tak berguna, bagaimana pula nanti
4. Kancang bana angin di lua = Kencang sekali angin di luar
5. Apakmu mancari ikan, abangmu Si Din-pun lah kalua dari tadi. Bia ajo mereka. Si Ali pun kayaknya lah pai = Bapakmu mencari ikan, abangmu si Din telah keluar dari tadi. Biarkan saja mereka. Si Ali pun kayaknya telah pergi juga.
6. Habiskan makanmu, beko cuci tangan lalu mangaji basamo emak = Habiskan makanmu, nanti cuci tangan lalu mengaji bersama emak
7. Alun bang. Sabanta lai = Belum bang, sebentar lagi
8. Indak taraso, kueklah saketek manguruik tu = Tidak terasa, kuatlah sedikit mengurutnya
9. Indak balakik kau beko, indak ada yang mau = Tidak bersuami kau nanti, tidak ada yang mau
10. Takuik bana ambo tadi kau tenggelam Raida. Jan kau buek macam tu lagi yo = Takut sekali aku tadi kau tenggelam Raida. Jangan kau buat hal seperti itu lagi ya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar