Senin, 26 Juli 2010

SEMPRÉ VIVA

Rizky Q.




U know, this is my second nights staying in this room. Room that I rent for a week indulging my passion of writing. But still…, I have nothing in mind to jot down in my notebook.

Kata-kata tersebut tertulis di layar notebook applenya mengawali cerita yang akan ditulisnya, tetapi kemudian ia merasa hilang, blank dalam kebuntuan.
Majalah FHM, surat kabar terbitan hari ini dan The Book of Lost Things-nya John Connolly terserak di atas kasur. Tidak ada dipan di kamar itu, hanya sebuah kasur yang isi tengahnya sudah terbagi ke sisi samping, di bungkus seprai putih yang bersih dan sederhana. Dan kasur itu diganjal dengan ambal merah di bawahnya yang dilipat sedemikian rupa sehingga menjadikannya lebih tinggi menghindari dinginnya lantai. Tak ada meja juga. Hanya ada sebuah kipas angin yang kipasnya berhasil mengumpulkan debu setengah millimeter mungkin dan berbunyi layaknya mesin Robin pada kapal nelayan. Tak ada lemari pakaian, sebagai gantinya hanya ada sebuah keranjang plastik biru persegi empat yang biasa digunakan sebagai tempat menaruh pakaian bayi pada rumah-rumah keluarga kelas menengah ke bawah, dan dalam keranjang itupun masih tersisa beberapa pakaian anak-anak yang kemudian ditimpa oleh semua pakaian Bara diatasnya.
Baiknya, kamar ini terlihat bersih ketika ia pertama kali melihatnya dengan cahaya yang baik.
Dan lampu itu mungkin satu-satunya benda terbaru yang menghuni kamar ini.
Itulah pikirnya sewaktu kemarin.
Rumah ini adalah rumah yang terbuat dari kayu yang dihuni pasangan tua yang ketiga anak-anaknya sudah pergi entah kemana menjalani hidup sendiri-sendiri. Pak Tun dan Mak Rogayah adalah nama mereka. Dalam kesehariannya Pak Tun dan Mak Yah hanya ditemani oleh seorang perempuan yang bertugas sebagai emban yang meringankan banyak kerjaan bernama Rohimah atau Bi Imah. Dalam pandangannya mereka adalah orang-orang yang ramah. Hanya saja Pak Tun tidak terlihat sebagai orang yang banyak berbicara. Ia hanya bicara seperlunya. Tapi ia merasa kalau itu hanya pandangannya saja.
Kamar Bara sendiri terletak di lantai tingkat dua. Dan hanya Bara sendiri yang berada di lantai ini. karena kamar di sebelahnya juga kosong. Oleh karena itu, otomatis kebanyakan perkerjaan dan hunian dilakukan di lantai di bawah kamarnya.
Kukira mungkin mereka sedikit terkejut malam kemarin ketika aku mengajukan diri untuk menginap di rumah mereka dan menyewa kamar ini selama seminggu (atau dua minggu…?).
Bara memperkenalkan diri sebagai seorang mahasiswa yang sedang membutuhkan kamar untuk menulis risetnya. Biar saja, toh takkan ada yang mengenalinya sebagai seorang penulis yang sudah punya nama di desa ini, rumah Pak Tun dan Mak Yah didapat dari orang-orang sekitar desa setelah dirinya bertanya ke sana-kemari. Dan kebanyakan mereka menunjuk rumah pasangan ini sebagai tempat yang memiliki kamar kosong dan bebas dari bising dan jahilnya anak-anak yang kemungkinan dapat mengganggu pekerjaan. Dan itu baginya adalah …
Sempurna!
Bara memang tidak menyukai anak-anak.
‘Mungkin kapasitasmu sebagai paman keponakanmu harus dipertanyakan Bar, atau bagaimana nanti kalau kau menikah? Kau kan akan dihadapi dengan munculnya makhluk baru yang akan keluar dari rahim istrimu.’
Ia hanya diam ketika Joe menanyakan hal itu padanya setelah ia menyuruh Ren, anak kakaknya yang berkunjung ke rumah, untuk pergi main menjauh darinya.
Ah, itu bisa dipikirkan nanti. Itu yang ada dalam benaknya yang dipelihara selama bertahun.
Joe sendiri telah menikah dan memiliki anak satu dan segera satu lagi beberapa bulan mendatang. Usia mereka sama, 33 tahun. Tapi Bara seakan tidak mau dipusingkan dengan perkawinan dan …anak!
Baginya, anak-anak, apalagi di bawah 10 tahun tak ubahnya seperti jamur yang siap menjalar menggerogoti tubuh secara perlahan. Menggelikan sekaligus mengiritasi. Ia bergidik sendiri mengenai hal itu. Entahlah, sebenarnya Ia pernah mempertanyakan hal tersebut pada dirinya sendiri. Mengapa Ia bisa tidak menyukai anak-anak? Apa yang istimewa pada mereka. Terkadang ia (sedikit) menyunggingkan senyum bila melihat tingkah menggemaskan yang dibuat Ren atau saudara kembarnya Jan. Tapi segera seperti ada sensor dalam kepalanya yang berbunyi mengingatkannya untuk menarik tarikan tipis di mulutnya tersebut ke posisi awal dan berpalinglah dari mereka segera. Dan Iapun melakukannya.
Dan itu pulalah yang menjadi alasan bagi Nia, pacar terakhirnya untuk tidak melanjutkan hubungan dengannya. Bara belum siap dengan anak-anak. Tetapi ia sangat siap dengan prosesnya. Ia menyenanginya. Tidak ada satu orangpun mantan pacarnya yang tidak takluk pada dirinya dan menolak tidur dengannya. Dan untungnya mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Hanya Nia. Perempuan terakhir itu adalah yang terlama menjalin hubungan dengannya dan dialah yang (mungkin) sedikit memberikan rasa sakit pada hatinya ketika mereka berpisah.
Sebagai penulis yang cukup produktif ia merasa kini ia harus fokus pada kerjaannya. Artikel mingguannya yang ditunggu 3 surat kabar dan tulisan lepasnya yang menghiasi satu atau dua media tiap bulannya.
But married and kid? Oow, they have to wait.

Satu halaman cerita mengisi lembaran words-nya. Mungkin ini bukan untuk buku yang akan terbit selanjutnya, tapi bisa untuk sebuah cerita pendek. Hanya satu halaman, kemudian pikirannya mandeg, dan matanya terserang kantuk yang sangat.
‘Pukul sebelas sudah.’ Ia putuskan untuk segera tidur.

* * *

Tak lama tertidur, sesuatu mengusiknya.
Bruk, bruk bruk!
Suara riuh dari luar kamarnya membuatnya terbangun dalam keterkejutan. Semua berguncang. Seperti sesuatu yang besar berjalan dengan sangat tergesa berasal dari beranda luar kamarnya.
Tergesa? Tidak, berlari lebih tepatnya.
Dan itu seperti gempa yang seakan hendak merontokkan semua lantai kayu di tingkat dua itu untuk kemudian naik ke atas atap. Gaduh dan cepat!
Dan begitu gaduh itu menghilang, belasan anjing liar di luar kemudian melolong serentak seperti dikomando. Dari yang terdekat sampai yang terjauh yang bisa ditangkap oleh telinganya.
Bara yang tersentak oleh guncangan hanya bisa mendongak dan terdiam.
Apa itu di luar?
Berkelebat banyak tanya di benaknya tapi tetap tidak membuatnya beranjak dari kasur untuk beberapa saat. Entah kenapa ia merasa jantungnya berdegup kencang dan tak keruan. Ia meraih jam yang terletak di samping kasurnya, meraih ponselnya dan menyalakannya untuk memberi sedikit penerangan padanya untuk melihat.
00.36 dini hari!
Siapa yang berlari di rumah kayu ini malam-malam? Tidak mungkin ia tidak tahu kalau hal itu akan membuat riuh satu rumah.
‘Pencuri!’
Ia singkap kainnya untuk kemudian berdiri. Perlahan ia menuju pintu kamar untuk melihat ada apa di luar. Pikirannya masih dapat memanggil kembali rasa kaget karena lantai yang goyang dan riuh. Ia masih dapat merasakan getaran setiap lantainya.
Perlahan ia membuka pintu kamarnya dan melirik, tak ada siapapun di luar!
Lampu jalanan hanya memberi sedikit penerangan di hadapannya dan anjing-anjing sialan itu masih terus melolong.
Benar, tak ada siapapun di luar.
Di kejauhan ia dapat melihat bulan separuh meredup tertutup awan.
‘Anjrit! Bikin kaget aja!’
Bara menyusuri beranda atas itu. tangannya meraih satu tiang dan memanjat ke atas pagar pembatas untuk melongok ke atas atap rumah yang memang rendah. Di atas juga tak ada sesiapapun atau apapun. Kembali ia melihat ke beranda dan berjalan ke ujung.
Mungkin pencuri itu bersembunyi diantara rimbunan semak di samping rumah dan masih di sana.
Dari atas ia pandangi sekeliling dengan penglihatan terbaiknya di daerah yang minim cahaya itu. Sedikit cahaya dari lampu jalanan dan lampu halaman tetangga membantunya.
Tetap, tak ada siapapun di sana.
‘Kampret, sialan! Gerutunya, Ia kembali ke arah kamarnya.
Satu tanya mengalir di benaknya,
Mengapa Bapak dan Emak Yah tidak terbangun ya? goncangannya cukup keras, dan itu bukan gempa. Atau Bi Imah? Kenapa ia juga tidak merasakannya?
Ia menepis pikirannya. Mungkin sepasang musang atau kucing sedang dalam masa birahi yang berkejaran melintasi rumah. Ada-ada saja…
Bara mengarahkan pikirannya ke peristiwa semacam itu, dan melanjutkan tidurnya.
Benarkah?

* * *

Ini adalah hari yang biasa seperti kemarin. Biasa dengan langit berawan yang tetap menggantung di atas desa ini. Biasa dengan hawa yang sejuk dan semilir angin yang melewati tiap telinga. Biasa dengan orang-orang yang telah terbiasa dengan terasa lambannya waktu berjalan di sini. Bara telah bangun dari tadi. Ia bahkan sudah berjalanjalan dengan kaki telanjang di kebun samping rumah, dan mencuci mukanya di sumur pompa di belakang kandang kambing kosong. Kandang yang kini hanya menjadi tempat timbunan kayu dan alat pertukangan Pak Tun.
Dan Bara, memutuskan untuk menyusuri desa dan daerah sekitarnya pagi ini setelah pamitan pada Mak Yah untuk sarapan.
Lambungnya diisi dengan sepiring nasi pecal di pasar dan bergegas berjalan setelahnya. Ia lewati jalan desa, dan halaman sambil tersenyum sesekali menyapa orang yang berpapasan. Ranselnya tergantung di belakang berisikan perlengkapan perang untuk menulisnya, sementara di tangannya tergantung kamera untuk pengabadi rute perjalanannya. Beberapa gadis dan ibu-ibu yang mencuci di sungai melihat padanya ketika ia melintasi jembatan kecil. Dan malah ia yang tersipu malu.
Beberapa orang berpapasan dengannya sedang memanggul rumput gajah dan menggiring sapi mereka, beberapa dengan kambing. Kakinya membawanya melewati sawah, kebun, dan jalan-jalan setapak desa. Tapi ia belum berhenti.
Hingga akhirnya ia sampai di setapak ujung lereng dengan pemandangan kebun teh yang luas terhampar di bawahnya, dan hutan pinus di atasnya.
Amazing!
Ia segera membidik kameranya pada pemandangan ini. Pemandangan yang bisa bagi orang-orang sekitar tapi tidak bagi dirinya. Sederhana tapi mengagumkan. Sementara kabut terlihat seperti belum mau beranjak dari lereng-lereng tersebut. Ia mengancingkan sweaternya tinggi. Udara semakin dingin.
Bara turun menyusuri setapak di antara kebun. Beberapa buruh petik acuh tak acuh padanya. Dan malah tersenyum ketika Ia mengambil gambar mereka. Dan hari memang telah menunjukkan maksudnya sedari awal. Gerimis perlahan turun membuat ia harus berlari mencari tempat berteduh. Sebuah saung kecil menjadi tujuannya. Tapi hanya dia. Para buruh petik tetap melanjutkan pekerjaan mereka walau hujan membasahi. Mereka telah terbiasa dengan ini.
Bara menggelengkan kepala melihat mereka, dedikasi yang luar biasa.
Di saung itu ia melap kameranya dan mulai mengeluarkan isi ranselnya. Apple-nya di letakkan di atas lantai bambu saung dan jarinya mulai memainkan tuts-tuts di keyboard. Bara merasa memiliki banyak hal yang bisa ia tumpahkan saat ini untuk tulisannya. Beberapa buruh petik melirik padanya dan mulai berbisik sambil tersenyum. Dan Bara tahu kalau ia jadi pusat perhatian.
‘Ehmm.’, Ia mendehem untuk dirinya sendiri.

* * *

Hari telah senja. Tak terasa berlalu dengan singkatnya bagi Bara. Gerimis telah berhenti beberapa jam yang lalu. Ia kini berada di lereng bukit. Tak berapa jauh dari kebun teh tempatnya bernaung tadi. Bara merapikan perlengkapannya dan bersiap untuk kembali.
‘Nak Bara, darimana saja? Baru pulang.’
‘Ah baru selesai jalan Mak. Jalan sampai ke kebun teh dan lereng sana.’
‘Untung kamu gak tersesat. Ayo mandi dulu, habis itu kita makan malam sama-sama. Ya.’
Bara menggangguk. Benar. Ia belum ada mengisi perutnya sedari siang tadi. Undangan makan malam itu disambut dengan baik.
‘Iya, mak.’

* * *

Hari ini adalah hari yang baru. Bara memiliki rute yang lain lagi untuk dijelajahi. Kawasan hutan pinus yang juga dijadikan sebagai daerah tujuan wisata oleh Pemerintah Daerah setempat. Dan benar. Hutan itu memang memberikan aura tersendiri baginya. Ia dapat menyelesaikan sepuluh halaman untuk bukunya kelak. Dan itulah saat dimana Ia harus kembali kerumah sebelum kemalaman seperti kemarin.
Bara sampai di rumah ketika hari sudah mulai gelap. Ketika ia akan masuk dari sampaing rumah, ia melihat seorang anak kecil berusia mungkin 7 atau 8 tahun berdiri di samping sumur pompa. Memakai kaos kucel bergambar spiderman, celana pendek dan tanpa sandal. Ia basah. Setidaknya, baju dan celananya menegaskan hal tersebut. Dan Ia melihat pada Bara.
Apa yang dilakukan anak itu senja begini?
‘Halo.’ Bara menyapa sekenanya. Anak itu hanya diam dan memandangnya dengan ekspresi heran. Tapi kemudian ia tersenyum pada Bara memperlihatkan beberapa giginya yang rusak dan ompong.
Hah! Barapun tersenyum. Anak yang aneh. Ia pun lalu mengatur kameranya dan membidikkannya pada anak tersebut. Kemudian,
‘Hei, sudah pulang sana! Sudah maghrib. Ntar di cari ibumu.’
Anak itu lalu cemberut tapi menuruti kata-katanya. Ia berlari dan menghilang di antara pepohonan dan rumah tetangga.

* * *

Hari ini Bara tidak kemana-mana. Ia harus menyelesaikan paling tidak sepuluh atau lima dua puluh halaman untuk apa saja. Bukunya, cerpen, artikel surat kabarnya. Apa saja. Ia tidak terlihat banyak keluar kamar. Sedari pagi setelah mandi ia hanya menghabiskan hari di kamar, dan turun untuk makan siang. Itupun setelah Bi Imah memenggilnya untuk turun. Dan kemudian, ia merasa semua tenaganya terkuras. Pikiran yang dipaksakan akan mempengaruhi seluruh kinerja organ tubuh, dan itu lebih melelahkan dari kegiatan fisik. Ia tertidur dengan laptop yang menyala.

* * *

Bara tersentak. Ia terbangun tiba-tiba.
Gila, jam berapa ini? Mengapa aku bisa sampai tertidur?
Lampu di kamarnya mati, semua gelap.
Ini belum tengah malam kan? Ia raba sisi tempat tidunya mencari ponsel yang diletakkan di sana. Layarnya dinyalakan,
19.12. Masih awal sekali dari malam.
Bara bangkit meraih sebuah senter kecil dari ranselnya. Mempermainkan saklar lampu untuk mengecek fungsinya. Sialan memang mati. Dirinya bisa membayangkan betapa gelapnya di luar kini.
Ia keluar dari kamar. Dari beranda bisa dilihatnya para tetangganya telah menyalakan lampu minyak dan obor di rumah dan halaman mereka. Ketika ia hendak berjalan menuju tangga, entah kenapa bulu di kuduknya meremang naik seperti merasakan sesuatu, seperti ada sesuatu di belakangnya, yang sedang duduk dan juga memperhatikannya
Ia berbalik cepat.
Kosong!
Sinar senter mengarah hingga ke pojokan beranda Tapi tak ada siapapun di sana. Cuma dirinya. Bergegas ia turun ke bawah.
Gelap sekali. Kemana orang-orang semuanya? Tangannya meraba dinding, sementara tangan yang lain masih memegang senternya yang tetap menyala.
Pada pojokan dinding dapur ia menemukan lampu teplok tergantung dan berinisiatif menyalakannya. Cahayanya meremang, tapi setidaknya dapat memberi sedikit bantuan untuk melihat ruangan. lalu Ia taruh senternya di meja makan.
‘Mak! Pak Tun, dimana? Bi Imah! Haloo.’ Tetap tak ada jawaban.
‘Gila, masak rumah ditinggal gitu aja lagi ada aku sendiri. Mati lampu lagi.’
‘Maaak Yah! Bik Imah! Bara terus memanggil. Tapi tetap tak ada jawaban.
Ia lalu membuka pintu belakang untuk keluar rumah. Tapi tak bisa. Pintu terkunci.
‘Apa-apaan ini?!’ aku ditinggal sendiri, terkunci lagi. Mati lampu.’
Bara berjalan ke depan untuk membuka pintu depan. Tapi sama saja. Pintu dikunci juga.
Ia mulai panik.
‘Woooi, Mak! Pak Tun! Bi Imah!
Tap! Tap! Tap! Tap!
Bara berpaling. Ada sesuatu di atas, sesuatu yang berlari di beranda. Bara berlari ke tangga. Dari bawah ia mengarahkan pandangannya ke atas.
Siapa di…
Perlahan, sesosok bayangan menyembul dari atas. Terlihat seperti seonggok kepala yang melongok kepadanya.
Hitam.
‘Hah!’
Bara kaget setengah mati! Cepat ia merogoh sakunya mencari senter. Tapi tak ada.
Sialan di mana senter tadi?
Lalu ia teringat pada meja makan. Cepat ia menuju meja menyambar senter kecilnya. Dan Duk! Kakinya terantuk kursi tapi tidak dihiraukan.
Cahaya diarahkan ke atas.
Kosong!
Dengan tertatih karena sakit ia menaiki tangga dan menyinari apapun yang bisa.
Kosong!
Jantungnya berdegup kencang. Satu dua keringatnya mulai membasahi.
Apa itu tadi?! Bayangan aneh tadi masih memenuhi kepalanya.
Begitu ia ingin memasuki kamar, sesuatu menghentikannya. Ada suara seseorang di pintu depan yang memanggilnya.
‘Nak Bara! Bara!’ Pak Oyong tetangga depan sudah berada di depan pintu.
‘Oh sudah bangun. Maaf ya kamu dikunci dari luar.’
Bara tak berkata-kata.
‘Tadi Pak Tun dan Mak Yah menitipkan kunci pada saya. Mereka pergi tahlilan di ujung desa. Bi Imah juga ikut makanya rumah jadi kosong. Katanya, mereka tadi berinisiatif mengajak nak Bara ikut tahlilan, tapi mereka lihat nak Bara tertidur pulas sekali, jadi mereka gak tega untuk membangunkan.’
Bara tetap tak berkata-kata. Mukanya pucat. Ia hanya mengangguk.
‘Kenapa nak? Bagaimana kalau menunggu mereka di rumah bapak saja?’
‘Iya,’ Bara menjawab pelan. Dan mengikuti Pak Oyong.
‘Beginilah di sini, kadang-kadang mati lampu, jadinya ya cuma pakai lampu minyak.’ Tapi Bara tidak memperhatikan lagi apa kata-kata Pak Oyong. Ia hanya mengikutinya dari belakang.
Dari beranda rumah Pak Oyong Bara masih memperhatikan beranda kamarnya di atas. Ia seakan-akan mencari pembenaran akan ada sesosok bayangan yang bergerak-gerak menandakan ada seseorang yang menyelinap ke rumah. Bila ia melihatnya, kali ini Ia berencana untuk segera kembali ke rumah, naik ke atas dan menyeretnya keluar.
Sialan! Enak aja masuk rumah orang lain!
Tapi ada sisi lain di hatinya yang meragukan keberadaan seseorang di atas sana.
Sisi lain yang kecil dalam hatinya yang mengatakan kalau itu bukan seperti sosok apa yang ingin Ia harapkan.

* * *

Ini adalah malam ke sembilan Bara berada di sini. Artikelnya untuk kedua surat kabarnya telah diselesaikan. Beberapa puisinya juga sudah selesai. Kini ia mau fokus pada bahan untuk bukunya selama beberapa hari ke depan. Dan malam ini ia juga tidak bisa terlelap. Mata yang mengantuk dan badan yang terlalu lelah malah membuatnya semakin sulit tidur. Ia beranjak untuk keluar dan ke kamar mandi. Kantung kemihnya terasa sangat sulit untuk menahan beban yang ada di dalam. Setelah dari kamar mandi ia mengambil sgelas untuk membasahi kerongkongannya, tapi kemudian telinganya seperti menangkap suara air dari arah luar.
Seperti ada yang mengambil air? Tengah malam begini?
Ia melihat ke tiap-tiap pintu kamar dan memastikan bahwa tak ada penghuni rumah yang keluar rumah untuk mengambil air dari luar.
Hal itu tidak penting bukan?
Kemudian Ia menuju pintu depan memastikan kalau memang bukan salah satu dari Pak Tun, Mak Yah ataupun Bi Imah yang keluar mengambil air.
Dan hal itu memang tidak penting bukan?
Tak ada pintu yang terbuka. Tak satupun dari penghuni rumah yang keluar dari kamarnya kecuali dirinya.
Bara lalu kembali menuju dapur dan mengambil kunci yang tersangkut di dinding dan memutuskan untuk mencoba melihat siapa di luar. Suara deburan air masih terdengar.
Tetangga yang manakah yang mengambil air dari halaman rumah? Bukankah air ledeng telah masuk ke tiap-tiap sudut desa. Apakah sebegitu pentingnya memompa air di tengah malam begini? Di luar rumah lagi. Suara air masih terus terdengar bahkan ketika ia memutar anak kunci. Dan,
Kreeek…pintu terbuka. Dan ia berlari ke belakang kandang.
Kosong.
Tak ada siapapun di luar sana.
Hanya ada ember yang terletak di samping pompa dan air yang masih menetes dari mulut pompa engkol itu. Bara keluar dan memperhatikan sekeliling. Benar-benar tak ada siapapun. Hanya dirinya dan gelapnya malam.
Tak mungkin ia bisa secepat itu menghilang tanpa ada sedikitpun suara. Bahkan tidak ada suara tumit dan telapak kaki yang melangkah atau kresekan daun semak tempatnya mungkin bersembunyi.
Tak ada. Semua hening. Benar hening. Ia melongok ke dalam ember. Ember itu sendiri memang seperti baru diisi dengan air. Ia berisi setengah dan tempat sumur pompanya sendiri masih becek karena air yang jatuh.
Tapi benar barusan ada yang mengambil air.
Bara masih tak habis pikir, lalu segera kembali ke dalam dan mengunci pintu. Kembali ke kamar dan mencoba untuk tidur.

* * *

Hari ini cuaca cerah. Hari yang sangat cerah malah. Dan Bara juga sudah melupakan kejadian semalam. Ia sedang membantu Pak Tun menyusun kayu-kayu di kandang dan membersihkannya. Pak Tun adalah orang yang ulet dan rajin. Bara bisa melihat itu. walaupun sudah cukup berumur tapi ia tetap tidak membiarkan dirinya terdiam tidak melakukan apa-apa. Pergi ke ladang, merapikan gudang, membersihkan kebun, ini, itu, apapun. Selalu saja ada yang dilakukannya. Tapi, Pak Tun memang bukan orang yang banyak ngomong.
‘Sepertinya teh manis dingin enak untuk kita sekarang ini, bukan begitu nak Bara?’
‘Heeh, engg. Iya pak, sepertinya begitu.’
Pak Tun tersenyum,
‘Tunggu bapak buatkan yah.’ Bara mengangguk, dan pak tun pergi ke dalam mempersiapkan teh mereka. Dan saat itulah bara melihat anak kecil itu kembali. Masih dengan pakaian yang sama, basah dan kucel, berdiri di antara sepasang pohon lengkeng sekitar dua puluhan meter ke depan. Tapi kali ini ia menatap serius ke arah Bara. Bara melambaikan tangannya, memanggil dan berharap anak itu dapat mendekat dan berkenalan dengan dirinya.
‘Sini.’ Anak itu diam saja. Tapi ada yang aneh. Sepertinya ada air yang merembes di sekitarnya, merembes jatuh dari pakaiannya yang basah. Banyak sekali. Bara merasa kasihan padanya.
Gila! Anak itu habis darimana? Ia bisa masuk angin dengan pakaian seperti itu?
‘Orang tuanya mana sih?’ Bara kemudian berdiri hendak menjemputnya,…
‘Bara, ini teh kamu.’ Pak Tun muncul dari dapur membawa teh manis dingin mereka. Dan Bara berpaling. Konsentrasinya pada anak itu buyar. Ia tak menjawab Pak Tun tapi kemudian kembali menoleh ke arah sepasang pohon kelengkeng tersebut. Tapi anak itu sudah pergi entah kemana. Bara berlari ke arah pohon kelengkeng itu. Ia melihat sekeliling.
Tak ada.
Hanya sedikit genangan air yang tersisa di bekas tempatnya berdiri tadi, yang sebagian telah terhisap oleh tanah.
‘Ada apa nak Bara? Nyari siapa?’ Pak Tun bertanya heran padanya dari jauh.
‘Ah, gak pak, gak ada apa-apa.’ Bara berkilah,
Ada apa ini?

* * *

Malam itu Bara kembali tidak dapat tidur, dan sayup ia kembali mendengar suara gemericik air di luar. Pelan, tapi ia pastikan kalau hal itu berasal dari sumur pompa belakang. Pasti ada yang main air lagi. Ia lalu keluar kamar dan mencoba melihat ke belakang dari beranda atas tapi,
Sialan, terhalang atap kandang!
Hal itu membuat matanya tak dapat menangkap, setidaknya, bayangan seseorang. Ia bergegas untuk turun menuju dapur, mengambil kunci yang tersangkut di dinding dan memutuskan untuk mencoba melihat siapa di luar. Suara deburan air masih terdengar. Ia mencoba membuka pintu belakang. Kreeek…pintu terbuka. Dan ia berlari ke belakang kandang.
Kosong.
Tak ada siapapun di luar sana.
Hanya ada ember yang terletak di samping pompa dan air yang masih menetes dari mulut pompa engkol itu. Bara keluar dan memperhatikan sekeliling. Benar-benar tak ada siapapun. Hanya dirinya dan malam. Tapi malam tak begitu gelap, masih ada cahaya remang lampu jalanan belakang rumah, masih ada cahaya bulan separuh.
‘Sialan!’ Umpatnya. Tapi tiba-tiba…
ia merasakan tangannya dipegang.
Salah! Ada yang memegang tangannya. Refleks dan terkejut membuatnya menoleh ke belakang dengan cepat.
Anak itu!
Anak itu kini berdiri di hadapan Bara. Memegang tangannya. Tapi ada yang aneh… badannya terlihat basah kuyup, kulit tangannya sangat lembek berair, seperti ada berton-ton cairan yang mengisi jaringan bawah kulitnya. Bara tidak memperhatikan benar wajah anak itu hingga ia melihat matanya, matanya… seperti menyiratkan sesal yang dalam dan sedih sekaligus. Bara dapat melihat belakang kepala anak itu, ada semacam luka menganga yang masih basah berdarah di antara rambutnya yang lengket.
Ia melihat kembali pada wajah anak itu, matanya kini seperti terbalik. Bagian hitamnya naik ke atas bingga hanya menampakkan putihnya saja. Mulutnya kini terbuka, menganga lebar seperti ada dua buah tangan yang siap mengoyaknya
Bara menghentakkan tangannya mencoba melepas pegangan anak tersebut, tapi tak bisa. Seperti ada rantai besi yang mengikat dan menarik tangannya.
Bara terus berusaha mencoba melepas dan meronta dari pegangan anak tersebut tapi… tak ada setitik suarapun yang keluar dari kerongkongannya. Tak sedikitpun hingga…
Bara merasa malam semakin gelap.
Tapi tidak,
malam tak begitu gelap,
masih ada cahaya remang lampu jalanan belakang rumah,
masih
ada
cahaya bulan,
separuh.

* * *

Sinar matahari telah tinggi di atas. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela di atas dipan. Bara terbangun. Matanya masih berusaha menyesuaikan terangnya sinar. Ia mengucek matanya dan termenung.
Aku di kamar? Aku bermimpi?
Ia tidak memiliki penjelasan apapun mengenai bagaimana ia bisa berada di kamar. Apakah kejadian semalam hanya mimpi atau nyata.
Tapi itu begitu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. Bergegas bara menuju ke bawah dan mendapati Mak Yah dan Bi Imah terbengong melihatnya. Tetapi mereka segera melanjutkan pekerjaan mereka.
‘Mas, tadi saya bikin nasi goreng buat sarapan, dicoba ya? Itu di meja, tapi sudah dingin, habis Mas Bara-nya bangun kesiangan.’ Lalu Ia melanjutkan pekerjaannya di dapur.
‘Eh, iya, makasih Bi,’ Ia lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya.
Semalam adalah kejadian yang nyata, aku yakin itu. tapi orang-orang di rumah bersikap seperti… dan mengapa aku sdah ada di kamar. Sekilas apa yang dilihatnya semalam kembali terulang, tetapi tetap saja Ia tidak bisa menentukan apakah ia bermimpi atau tidak.
Pasti ada yang mengangkatku ke dalam kamar. Tapi siapa?
Hal itulah yang semakin menambah tanda tanyannya. Dan ia tetap tidak mau bercerita mengenai apa yang dialaminya selama ia tinggal di rumah ini.
Seminggu lebih Bara ada di rumah ini, ia ingin pamitan kembali ke tempatnya semula. Ia tidak mau lagi mengalami kejadian aneh di rumah ini. Cukup baginya.
Bara mengutarakan keinginannya untuk pamit pulang pada Mak yah, tak nampaknya Pak Tun, mungkin pergi ke ladang atau kemana Ia tidak tahu. Mak Yah mengiyakan, malah mengatakan mengapa ia begitu cepat pergi? Mungkin basa-basi. Tapi Bara cuma tersenyum. Sudah cukup baginya untuk menulis laporan atas penelitiannya di daerah ini. Ia beralasan.
Bukan itu sebenarnya alasanku Mak, bukan itu.
Ia memberi uang sewa berapa lama ia tinggal, sesuai kesepakatan sebelumnya, lalu naik ke atas dan membereskan segala sesuatunya. Laptopnya masuk ke dalam tas, buku-buku, dan pakaian. Ketika ia hendak merapikan pakaian yang ada dalam keranjang tersebut. Ia melihat hal yang sangat di kenalnya. Baju kaos anak-anak bergambar spiderman, berada di tumpukan bawah tepat setelah tumpukan bajunya. Ia tersekat. Ia angkat baju tersebut. Pas. Ini adalah ukuran baju anak aneh tersebut. Rekaman-rekaman semalam terputar kembali. Cepat ia bergegas kemas dan turun ke bawah. Ia pamit pada Mak Yah dan Bi Imah.
‘Sampaikan pamit saya pada bapak ya mak, nanti kalau saya ketemu dengannya di jalan saya akan pamit langsung padanya.’
‘Iya, nak.’
‘Mas bara, kapan-kapan mampir lagi kemari yah.’
‘Iya, bi.’ Lalu iapun pamit pergi.
Ia berjalan menusuri kembali jalan desa untuk menuju suatu pool angkutan umum yang akan membawanya keluar desa. Pool yang sangat sederhana yang sudah ditunggu warga untuk naik angkutan yang akan membawa mereka ke terminal besar atau kota selanjutnya. Bara duduk di atas sebuah batu besar sambil menyalakan rokoknya. Ia taruh ranselnya di samping. Hingga ia mendengar suaranya dipanggil.
‘Nak Bara, pulang hari ini?’ Pak Oyong tetangga depan sudah berada di sampingnya.
‘Eh bapak, iya, saya pamit pulang pak.’
‘Wah saya juga mau ke kota ini. berarti kita sama berangkatnya.’
‘Iya pak, berarti saya ada kawan nih ha ha.’
Sebentar kemudian mereka sudah terlibat percakapan basa-basi mengenai mengapa ia harus pamit, apakah kerasan tinggal di rumah Pak Tun dan sebagainya. Hingga kemudian Pak Oyong membuka cerita,
‘Kasihan Pak Tun, Ia menjadi pendiam semenjak ada kejadian pada keluarga mereka.’
‘Maksud bapak?’
‘Lima tahun yang lalu salah seorang anak mereka, Ina, tinggal bersama suaminya di rumah itu. Mereka memiliki seorang anak yang bernama Tomo yang berusia delapan tahun. Suatu hari Tomo mengalami kecelakaan naas. Ia masuk ke dalam sumur yang ada di samping belakang rumah pak tun. Kepalanya bocor terkena dinding sumur dan hal itu yang menyebabkan kematiannya. Tak ada yang menyadari hal itu setelah dua jam lamanya keluarga mencari kemana hilangnya Tomo. Seluruh keluarga sangat terpukul dengan kepergian anak itu, terutama Pak Tun yang menemukan jenzah Tomo di dalam sumur, ia memang dekat sekali dengan cucunya tersebut. Enam bulan kemudian Ina dan suaminya pindah ke kota karena mereka merasa terus dibayang-bayangi kepergian anak mereka. Mungkin mereka ingin sedikit melupakan duka mereka. Tinggallah Pak Tun dan mak Yah di sana. Tapi Mak Yah bisa lebih tegar menerima kematian cucunya. Hanya Pak Tun yang masih belum bisa melupakan kejadian itu, bahkan sampai saat ini. Pernah tersiar kabar kalau Pak Tun masih sering melihat cucunya tersebut di sekitar sumur tersebut. Sumur itu sendiri telah ditutup, diratakan dan dijadikan sumur pompa di belakang kandang.’
Pak Oyong terus menceritakan kisah masa lalu itu, sedangkan Bara…, Ia diam saja tak bisa berkata apa-apa lagi. Namun kini Ia merasa rindu pada rumah dan kedua keponakan kembarnya, Ren dan Jan.

* * *

For MA – A belated birthday present

November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar