Kamis, 15 Juli 2010

KECOA

Oleh Rizky Q.

Atikah terseok pulang. Hari sudah pukul satu. Ia butuh tidur. Setelah menemani tiga orang lelaki tadi. Lumayan, malam ini tidak terlalu sepi. Seratus lima puluh ribu dibawanya pulang. Jumlah yang sudah besar untuknya. A Cin, toke bahan bangunan itu memberinya lebih seperti malam-malam sebelumnya kalau ia melayaninya. Seminggu bisa dua kali ia bertemu A Cin. Duda gemuk tanpa anak itu baik hati walau kadang suka main agak kasar padanya.

‘Kita kawin aja yok?’ Pinta A Cin suatu kali saat mereka selesai main.

Kan kita udah sering kawin?’

‘Nikah. Kamu tahu maksudku.’

Atikah diam saja. Ia tak penah mau diajak menikah. Ia belum siap. Jasman masih suaminya walau hubungan mereka menggantung tak jelas. Dua tahun sudah Jasman menghilang entah kemana. Katanya merantau. Tapi tak ada jejaknya. Sejak itu ia memutuskan mencari pendapatan lain selain berjualan membuka warung dan berjualan keripik singkong. Ia mulai menawarkan tubuhnya sebagai asset usaha pada setiap lelaki yang membutuhkan. Hal lain lagi, ia memiliki Pan, anak satu-satunya yang sedikit ‘lain’. Pikirannya agak terganggu. Terkadang ia bisa sangat normal, tapi terkadang Pan seperti tak mengenal Atikah sebagai ibunya. Ia tak ingin A Cin tak siap padanya lalu membatalkan pernikahan tiba-tiba atau berhenti di tengah jalan. Itu akan lebih sakit lagi terasa.

Atikah lalu pulang ke rumahnya. Rumah setengah batu dan kayu yang sedari dulu tak mengalami perubahan.

‘Mak, mak. Tikah pulang mak. Buka pintunya.’ tak lama pintu dibuka oleh seorang perempuan tua. Yang dipanggilnya mak itu sebenarnya adalah adik dari ibunya yang sudah mengasuhnya sejak 20 tahun, sejak ibunya meninggal dunia.

‘Mana Pan mak? Sudah tidur dia?’ ia melongok ke kamar. Dilihatnya Pan sedang tidur pulas sekali.

‘Sudah dari tadi.’ Mereka lalu duduk di kursi depan. Pandangan Atikah tertuju pada sesuatu di lantai. Di sana seekor kecoa melintas lalu menyelinap hilang melalui celah di antara retakan dinding.

‘Tikah, sudahlah, janganlah kau mengerjakan ini lagi nak? Ingat tuhan.’

‘Mak. Aku juga tak mau seperti ini, tapi kita mau makan apa nanti? Mamak sendiri sudah tua, darah tinggi pula, batuknya juga gak sembuh-sembuh. Jangan Cuma berharap dari jualan keripik singkong aja. Gak cukup mak. Kita tahu itu.’

‘Tadi pan berulah lagi.’

Atikah memperhatikan maknya dengan lekat.

‘Kenapa?’

‘Tadi sore waktu mak ada di dapur, ia keluar rumah dan mencengkram leher seekor kucing di jalan dan lalu membenamkannya ke selokan di depan rumah. Anak-anak lain pada teriak gara-gara itu. Semua jadi rebut. Lalu datang Pak Lih. Diambilnya kucing itu dari tangan Pan, lalu ditariknya Pan ke dalam. Habis mamak dimarahinya. Katanya kalau punya anak harus dijaga. Apalagi anak kayak Pan. Katanya lagi, Pan bukan hanya membuat anak-anak lain jadi takut karena ulahnya, tapi juga bisa membawa pengaruh buruk.’

Atikah hanya diam mendengarkan. Nampak dari matanya bahwa ia tidak setuju anaknya diperlakukan seperti itu, tapi bagaimana lagi. Ia merasa bahwa nasibnyalah sudah begini.

Mak menghela nafas, ia terbatuk kecil sebelum menyuruh Atikah berganti baju dan istirahat. Atikah hanya mengangguk. Pandangannya lurus ke depan. Pada dinding kayu kamarnya merayap dua ekor kecoa.

Makin banyak saja mereka sekarang. Perlahan Atikah bergerak mendekat dan melepas sepatunya.

Plak! Kecoa yang langsung membangkai itu masih menyisakan sisa dirinya di dinding.

‘Mampus!’

* * *

Malam ini terasa dingin sekali. Tak ada seorangpun yang datang untuk menawar dirinya sebagai penghangat sementra. Tak juga A Cin.

Apa mungkin ia kecewa terhadap ucapanku padanya semalam? Atikah hanya bisa bertanya-tanya. Perlahan ia berjalan menjauh dari tempat ia biasa mangkla. Sebuah taksi melintas lalu berhenti di sebelahnya.

Akhirnya, pelanggan pertama. Pikirnya,

Kaca taksi itu lalu turun perlahan, A Ci melonggokkan kepalanya ke dalam.

Tikah?! Sedang apa? Kamu kemalaman ya, mari pulang asama saya.’

Sial. Mas Lais, tetangganya satu kampong. Kenapa ia ada di sini?

‘Ah tidak usah m,as, saya juga lagi menunggu teman? Batinnya berbisaik teman apa pelanggan. Mampus kamu Tikah, setelah ini pasti semakin banyak berita yang beredar di kampung. Walaupun selama ini sudah banyak bisik-bisik mengenai dirinya.

Ah sudahlah. Ia membatin tak peduli.

* * *

Pagi ini terasa buruk bagi Atikah. Sejak bangun pagi Atikah uring-uringan terus. Apalagi Pan berulah. Piring makannya jatuh dan pecah menghamburkannya nasi ke setiap tempat di lantai. Ia membersihkan lantai itu dengan terpaksa. Mamak sendiri belum pulang dari pasar, belanja untuk warung dan dapur.

‘Dasar anak setan! Sama aja kau sama bapakmu. Bikin repot saja bisanya.’ sambil ke dapur ia masih sempat mendorong kepala Pan dengan tangannya. Lalau kembali ke hadapan Pan sambil membawa beberapa singkong untuk dikupas dan diiris.

‘Sudahlah, tak usah sarapan lagi. Ini kerjakan untuk digoreng nanti.’ Lalu ia kembali ke dapur. Di dapur Atikah terus mengoceh tentang pahitnya hidup apalagi saat bersama dengan Jasman. Bapak Pan yang entah kemana. Pan tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan ibunya. Ia tak pernah merasa jelas. Dihadapannya seekor kecoa melintas.

Cess!

Kecoa itu dihantamnya dengan singkong gemuk yang belum dikupas. Sebagian isi perutnya melompat keluar mengenai pipinya. Pan diam saja. Tak disekanya sisa binatang itu dari wajahnya. Atikah masih mengomel di dapur mengingatkannya jangan bermain-main dengan hewan menjijikkan itu. Sama menjijikkannya dengan Jasman. Pan tetap tak gubris.

Seekor lagi melintas di dinding tak jauh darinya. Matanya awas mengawasi gerak-gerik makhluk purba itu. Pisau besar di dekatnya tergenggam sudah. Tak ada lagi sinar lugu pada matanya. Tak ada lagi hampa di sana. Ia angkat pisau dan ia kejar kecoa itu.

Tap! Tap!

Goresan pisau tertanda pada bilah-bilah papan. Pan terus mengejar kecoa itu sampai kena. Sampai ia terpuaskan. Tapi ia seperti pintar menghindar. Dan semakin banyak yang keluar dari celah-celah rumah. Senyumnya mengembang kini tapi matanya tetap sama. Ia semakin bersemangat.

Tap! Cess… Suara gaduh terdengar dari luar. Beberapa orang terdiam dan berpaling. Apa yang menghebohkan. Sebagian berinisiatif melihat.

Pan makin bersemangat. Semua kecoa yang dilihatnya. Makin banyak dan makin banyak. Satu, dua, tiga. Lagi dan lagi. Kepala mereka putus. Kaki-kaki mereka berserakan. Tubuh-tubuh yang terbelah. Dan isi perut yang terburai keluar. Semua mengotori tubuh dan bajunya.

Tapi ia tetap tak berhenti. Pisau masih terayun mengalun.

‘Astagfirullahal’adziiim...’ kata seseorang dari luar pintu.

‘Aaaaaargh! Aaaaa...’ pekik seorang ibu mengundang reaksi yang lain.

Sebentar para tetangga sudah berkumpul di luar dan sebagian menyerbu ke dalam. Sementara di dalam rumah. Tubuh Atikah tertelungkup di lantaibersimbah darah. Tangan dan tubuhnya bergerak perlahan menandakan ia masih bernyawa. Dan Pan, ia terduduk di sana di antara genangan darah dan pisau di tangan tak jauh dari Atikah. Noda darah memercik ke mana-mana. Kursi, lantai, hingga ke dinding di antara kecoa-kecoa yang merayap.

* * *

03062009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar